Jumat, 20 Februari 2009

KRITIK MATAN ABU HANIFAH

KRITIK MATAN ABU HANIFAH
A.Pendahuluan
Sebagaimana yang telah umum diketahui hadis merupakan pelengkap al-Qur`an sebagai hukum dan ajaran Islam. Kaum muslimin senantiasa dapat memperoleh jawaban atas berbagai persoalan dari kedua sumber hokum dan ajaran keagamaan yang disebut dengan din al-Islam. Dalam hal ini, pentingnya hadis dapat dirasakan bila orang sungguh-sungguh memikirkan dan berusaha melengkapi dirinya, setiap golongan masyarakat maupun secara individu dengan berbagai petunjuk Nabi SAW yang terpilih (sahih)dalam seluruh gerak hidupnya.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, hadis Nabi Saw telah mengalami proses dinamisasi yang sangat beragam sehingga dengan demikiian ditemukannya berbagai istilah di dalam lapangan ilmu hadis sebagaimana yang telah banyak dikenal dewasa ini. Dengan demikian tidak semua hadis termasuk kedalam kategori terpilih (sahih). Berbagai pendapat pula yang muncul kepermukaan yang dikemukakan oleh para fuqaha baik dari kalangan ahli ilmu hadis maupun dari ahli ilmu fiqih sebagai tanggapan dan reaksi yang dimunculkan dengan berbagai argumentasi yang sangat variatif.
Sekilas Historis Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sdilahirkan pada tahun 80 Hijriyah yamg bertepatan dengan tahun 690 MM, di kota Kuffah1. Nama lengkapnya adalah Nu`man Ibn Śabit ibn Zauta ibn Mah. Kemudian termasyhur dengan gelar Imam Hanafi.
Adapun sebabnya demikian ada tiga pendapat:
Pertama, karena ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Hanafi maka ia diberi julkuan Abu Hanifah. Kedua, karena ia sejak kecil sangat tekun dan menghayatinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (cendrung) kepada agama. Itulah sebabnya dia termasyhur dengan nama Abu Hanifah. Ketiga, Menurut bahsa Persi, hanifah berarti tinta. Imam Abu Hanifah ini sangat rajin menulis hadits-hadits kemana ia pergi selalu membawa tinta, karena itu ia dinamakn Abu Hanifah yang berarti bapak tinta2.
Ayah beliau adalah keturunan dari bangsa Persi yakni Kabul Afganistan, tetapi sebelum dilahirkan ayah belaiu sudah pindah ke Kuffah. Dengan ini teranglah bahwa beliau bukanlah keturunan dari bangsa Arab asli, tetapiu dari bangsa `Ajam dan beliau dilahirkan ditengah-tengah keluarga bangsa Persi, pada masa Abu Hanifah dilahirkan, pemerintah Islam sedang dipegang kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (raja Umayyah kelima)3.
Sejak kecil imam Abu Hanifah suka kepada ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan hukum-hukum agama Islam, oleh karena beliau adalah seorang putra dari seorang saudagar besar di kota Kuffah, maka sudah barang tentu beliau sejak kecil selalu dalam kelapagan dan jarang menderita kekurangan, oleh karena itu waktu-waktunya digunakan semaksimal untuk menuntut ilmu. Para ahli meriwayatkan bahwa tujuh orang sahabat nabi Muhammad Saw yang pernah ditemui oleh Imam Abu Hanifah adalah Ibn Haris, Abdullah ibn Malik, Abdullah ibn Haris, Abdullah ibn Abi `Aufa, Wasilah, Anis dan Abu Tufai4.
Pada perkembangannya Abu Hanifah belajar ilmu qira`at, hadist, nahwu, sastra, syair, teologi, dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam tersebut, karena ketajaman pikirannya, ia sanggup menangkis serangan golongan Khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim. Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqh di Kuffah yang pada masa itu merupakan pusat ulama fiqih yang cendrung rasional5. Diantara guru-guru Abu Hanifah kebanyakan dari para ulma tabi`ain diantaranya adalah Ato` ibn Rabah, Nafi Maula ibn `Umar dll. Adapun ahli fiqh yang menjadi guru beliau yang termasyhur adalah Imam Hammad ibn Abi Sulaiman6.
Dari perjalanan hidupnya itu, Abu Hanifah sempat meyaksikan tragedi-tragedi besar di Kuffah. Di satu segi kota Kuffah memberi makna dalam kehidupannya sehingga menjadi salah seorang ulama besar dan Imam al-A`zim. Disisi lain ia merasakan kota Kuffah sebagai kota terror yang diwaranai dengan pertentangan politik oleh sebab itu pola pemikiran Abu Hanifah dalam menetapkan hukum sudah tentu sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan serta pendidikannya juga tidak lepas dari sumber hukum yang ada7.
B. Konsep Sunnah Abu Hanifah
Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang teradapat dalam al-Qur`an. Kekuatan sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: Pertama, dari segi kebenaran materinya kedua, dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekutan sunnah mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat: yaitu mutawatir, masyhur dan ahad.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meriwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qhat`I dalam arti diyakini kebenarannya bahwa sunnah itu benar-benar dari Nabi.
Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaimana kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara dharuri (tanpa memerlukan pembuktian atau nazhari (memerlukan pembuktian tentang kebenaran).
Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu diantaranya
Adapun khabar masyhur karena yang menerimanya dari Nabi secara perorangan, maka kebenarannya tidak menyakinkan. Namun karena khabar masyhur itu yang menerima dan menyampaikannya dari tingkat sahabat sampai seterusnya dalam jumlah yang mutawatir, maka kebenaranya dari sahabat cukup menyakinkan. Dengan demikian khabar masyhur mempunyai kekuatan yang qhat`I pada tingkat sahabat tetapi kekutannya dari nabi hanya bersifat zhanni. Sedangkan khabar masyhur menurut Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya menimbulkan ilmu yakin, meskipun keyakinan yang ditimbulkannya berada dibawah keyakinan yang ditimbulkan khabar mutawatir8. Hadits masyhur adalah hadits yang pada generasi awal (sahabat) bersifat ahad, kemudian tersebar pada generasi sesudah sahabat secara mutawatir. Seperti hadits:
1.بنى الاء سلام على خمس
2.انما الأعمال با لنيات
Hadits masyhur, sekalipun periwayatannya di zaman sahabat bersifat ahad namun pada generasi sesudah sahabat periwayatannya bersifat mutawatir . Oleh sebab itu, tingkat kekuatan hadits ini hanya bersifat zhanni. Menurut jumhur ulama ushul fiqih, hadits masyhur termasuk kedalam hadits ahad yang bersetatus zhanni dan bisa men-takhshis ayat-ayat yang umum serta men-tayid ayat-ayat yang mutlak. Akan tetapi menurut ulama Hanafiyah hadits ahad tidak bisa men-takhshis ayat-ayat al-Qur`an yang umum, sedangkan hadits masyhur bisa men-tkhshis al-Qur`an, bisa men-taqyid ayat-ayat yang mutlak, persis seperti hadits mutawatir9. Akan tetapi, dalam masalah hukum, para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan hadits sebagi ahad sebagai landasan hukum. Perbedaan ini muncul disebabkan status hadits ahad yang bersifat zhanni dari segi periwayatannya dan dari segi dalalat-nya (kandungannya), sekalipun tidak setiap hadits ahad itu zhanni al-dalalat.
Sedangkan khabar ahad –periwayatan perorangan-pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan yang menyakinkan. Namun bila didukung oleh hal-hal lain yang menguatkannya seperti pribadi yang menyampaikan berita itu adil dan kuat ingatannya maka kahbar itu mempunyai kekuatan10.

C.Kritik Sanad Abu Hanifah
Hadis ahad merupakan salah satu bentuk yang ada dari hasil proses dinamisasi tersebut diatas. Hadis ahad adalah hadis yang hanya diriwayatkan dari satu orang penyampai yang juga disebut dengan khabar wahid. Banyak hadis yang termasuk kategori ini.
Para ulama fuqaha berbeda pendapat dalam menerapkan persyaratan untuk menerima hadis ahad sebagai hujjah. Imam Abu Hanifah adalah seorang yang sering diidentikkan sebagai ulama Ahlu ar-Ra’yi, dikonotasikan banyak menggunakan rasio dibandingkan menggunakan hadis dalam menetapkan hukum, juga menerapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk diterimanya suatu hadis ahad.
Berkaitan dengan hadits ahad, apabila kita menelah pikiran Abu Hanifah maka kita akan menemukan bahwa beliau mengambil hadis Ahad pada sejumlah persoalan, tetapi beliau juga menolak untuk mengamalkan hadis ahad didalam sejumlah persoalan yang lain.
Diantara hadis yang disampaikan kepada imam abu hanifah yang kemudian ditolaknya adalah :
1.Abu hanifah menolak hadis yang dimaksudkan Nabi mengadakan undian terhadap istri-istrinya bila hendak bepergian. Alasan penolakannya karena undian termasuk ke dalam jenis perjudian.
2.Ia juga menolak sebuah hadis yang menyatakan bahwa penjual dan pembeli itu mempunyai hak khiyar sebelum berpisah, yang mana dalam fiqh dikenel dengan nama khiyar majlis.
3.Ibn Abi Syaibah dalam sebuah musanafnya meriwayatkan hadis bahwa Nabi merajam pria dan wanita yahudi karena telah melakukan perbuatan zina. Lalu disebutkan bahwa Abu Hanifah menolak hadist tersebuut karena tidak percaya bahwa rajam itu diberlakukan kepada mereka. Alasanya adalah, untuk dirajam ada dua syarat yaitu islam dan muhasanah /muhsanah.
Dari beberapa contoh ini dapat disimpulkan bahwa tidak sembarang hadits dapat diterima dan menyakinkan beliau sebgai berasal dari nabi. Oleh karena itu, ada dua standar umum yang sangat mendasar yang selalu menjadi acuan oleh abu Hanifah di dalam menerima suatu hadits. Kedua standar tersebut adalah pertama, dari segi sanad dan yang kedua, dari segikandungan hadits ahad ( matan). Adapun dari segi perawi hadits, Imam Abu Hanifah menentukan sejumlah syarat bagi perawi hadits sebagai berikut:
Pertama, berakal. Periwayatan anak kecil yang belum balig tidak bisa diterima karena akalnya belum sempurna, demikian pula periwayatan orang gila orang dungu dan sejenisnya11. Berakal juga berarti bahwa khabar yang diriwayatkan oleh seorang perawi merupakan suatu kalam yang tersusun yang yang mengandung makna yang dapat dipahami dan dpertanggungjawabkan12.
Kedua, cerdas. Kondisi ini berarti bahwa perawi memahami secara benar apa yang yang didengarnya. Kemudian ia mampu menghapal dan meriwayatkan kembali persis dengan apa yang ia dengar dan ia pahami, meskipun zaman telah lama berlalu, sejak pertama kali ia mendengar hingga meriwayatkannya kembali.13
Ketiga, adil. Maksud dari kondisi ini adalah bahwa perawi senantiasa bersikap lurus (istiqamah) di dalam berbagi keadaan, jujur di dalam periwayatan hadits dan tidak memiliki kecendrungan hawa nafsu yang mendorongya untuk berdusta. Keempat, muslim14
D. Kritik Matan Usul Hanafiah
Ulama Hanafiah dalam melakukan kritik matan hadis kelompok ini mengembangkan lima criteria kritik matan hadits:
Pertama, suatu hadits tidak bertentangan dengan teks al-Qur`an.
Rasulullah Saw sebagai pembawa risalah Ilahi berfungsi untuk menjelaskan kepada umat islam ajaran-ajaran yang diturunkan Allah melalui al-Qur`an Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Nahl: 44
        
kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka
Perintah dan ajaran agama yang dimuat dalam al-Qur`an tidak mudah diamalkan tanpa melihat kaifiyat melaksanakannya. Dengan demikian sunnah Rasulullah yang terdapat dalam hadits mempunyai posisi strategis di sisi al-Qur`an.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa disamping standarisasi dari segi perawi hadis, Imam Abu Hanifah dalam menerima hadis ahad juga mensyaratkan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dari segi isi kandungan hadis ahad tersebut (matan). Adapun syarat-syarat yang diterapkan oleh beliau terhadap hadits ahad dari dari segi matan adalah sebagai berikut:
1.Riwayat perawi tidak menyalahi parteknya, kalau berlawanan anatara praktek dan riwayat perawi, maka yang diambil adalah praktek.
2.Riwayat itu bukan mengenai soal-soal yang sudah diketahui secara umum.
3.Riwayat itu tidak menyalahi qiyas15.
Terhdap syarat-syarat hadits ahad yang diatas ini, Abdul Halim `Uways memberikan penjabaran yang komprehensif tentang kriteria yang ditentukan oleh Imam Abu Hanifah berkaitan dengan kandungan hadist ahad tersebut sebagai berikut:
Pertama, kandungan hadits ahad tidak menyalahi kandungan dari salah satu sumber hukum yakni al-Qur`an dan sunnah Nabi-berupa hadits-hadits yang mutawatir dan hadits-hadits yang masyhur-serta prinsip-prinsip penetapan hukum Islam yang telah disepakati, yang diambil dari seluruh nas yang ada. Dengan menerapkan standar ini Abu Hanifah menolak sejumlah hadits ahad yang justru dijadikan hujjah dan diamalkan oleh orang lain. Oleh karena itu, Abu Hanifah menolak hadits ahad tentang at-Tasriyat (mengikat payu dara hewan ternak betina sehingga susunya menumpuk dan peminatnya akan menganggap bahwa hewan itu banyak susunya). Dalam hadits diriwayatkan:
Rasulullah Saw melarang melakukan tsriyah kepada unta dan kambing, siapa yang membelinya (hewan seperti itu) berhak memilih antara menerima hewan itu apa adanya dengan mengembalikannya yang dibarengi dengan satu sha` (2,75 liter) kurma, setelah susu hewan itu ia keluarkan ( Al-Bukhari)
Ulama hanafiyah tidak memberlakukan hukum yang dikandung hadits ini, karena bertentangan dengan kaidah umum yang mengatakan setiap kerugian yang di diderita seseorang harus diganti sama atau senilai dengan kerugian tersebut. Hadits tersebut mengatakan bahwa susu yang telah diambil pembeli diganti dengan kurma. Ini bertentangan dengan kaidah umum tau qiyas karena kurma tidak sama dengan susu unta atau kambing16.
Kedua, sahabat yang meriwayatkan hadits ahad tersebut tidak mengamalkan ataupun mengeluarkan sejumlah fatwa yang bertentangan dengan kandungan hadits ahad yang diriwyatkan itu. Oleh karena itu Abu Hanifah tidak menerima dan mengamalkan hadis yang mengatakan sebagai berikut:
Wanita mana saja yang menikahkan dirinya sendiri, tanpa seizing walinya, maka nikahnya batal.(H.R. Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah).

Sebab perawi yang meriwayatkan hadis tersebut ini adalah Siti ‘Aisyah, padahal beliau sendiri tidak mengamalkan hadis itu pada saat menikahkan keponakan perempuannya, yakni putrid Abdurrahman, tanpa diriwayatkannya, menjadikan hadist itu cacat secara jelas. Imam Abu Hanifah juga tidak menerima hadist tentang pensucian bejana yang dijilat oleh anjing harus di basuh dengan tujuh kali dengan air dan salah satunya denga tanah. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
Apabila bejana seseorang dijilat, maka untuk mensucikannya dicuci tujuh kali dengan air dan salah satunya dengan tanah (H.R. Muslim)
Sebab Abu Hurairah sendiri berfatwa bahwa untuk mencuci bejana yang dijilat anjing hanya sebanyak tiga kali, sebagimana yang diriwayatkan al-Daruquthni. Oleh sebab itu ulama Hanfiyyah berpendapat bahwa mencuci bejana yang dijilat anjing itu cukup tiga kali, yang penting bersih.
Ketiga, perawi tidak mengingkari hadis ahad tersebut bahwa memang dia yang meriwayatkannya. Asy-Syarakhsi meriwayatkan bahwa Abu Hanifah, yang kemudian dibenarkan oleh Abu Yusuf, tidak mengamalkan hadits apabila perawinya mengingkari bahwa dialah yang mengamalkan hadis tersebut. Contoh dalam kasus ini adalah sulaiman bin Musa telah meriwayatkan suatu hadis dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari Siti `Aisyah, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ wanita mana saja yang dinikahi tanpa seizing walinya, maka nikahnya itu adalah batil.”
Selanjutnya diriwayatkan bahwa Ibn Jurayz pernah bertanya kepada az-Zuhri tentang hadis tersebut, az-Zuhri ternyata tidak mengetahuinya. Oleh karena itulah, Abu Hanifah tidak mengamalkan hadis tersebut karena pengingkaran oleh salah seorang perawinya, yakni az-Zuhri.
Keempat, Hadits itu tidak menyangkut kepentingan orang banyak dan dilakukan orang banyak secara berulang-ulang, karena menurut ulama Hanafiyah, hal-hal yang menyangkut orang banyak atau dalam kasus yang sering terjadi, tidak mungkin hadits itu disampaikan Rasulullah Saw kepada satu atau dua orang saja.
Berdasarkan prinsip ini, ulama Hanafiyyah tidak mengangkat tangan mereka dalam shalat ketika akan rku` dan ketika i`tidal (kembli dari ruku`). Sekalipun haditsnya ada, tetapi menurut mereka hadits itu bersifat ahad, yang kemungkinan besar adalah palsu karena kebutuhan orang banyak mengenai penjelasan cara shalat merupakan kebutuhan yang tidak meungkin diabaikan Rasulullah Saw, bahkan harus disampaikan kepada orang banyak.
Dari berbagai macam tingkat standarisai yang diterapkan oleh imam Abu Hanifah terdapat hadis ahad ini, maka dengan demikian hal ini mengisyartkan bahwa secara implicit pada dasrnya beliau juga menerima hadis ahad sebagai salah satu istinbat hukumnya dalam memecahkan berbagai persoalan terhadap berbagi masalah.17
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa Imam Abi Hanifah sangat selektif di dalam masalah penerimaan hadits ahad. Satu sisi ia hanya menerima beberapa hadits ahad yang membahas beberapa masalah, namun di sisi yang lain ia juga menolak beberapa hadits ahad dalam beberapa masalah yang lain pula. Penolakan ataupun penerimaan yang dilakukan oleh beliau teradap hadits ahad ini, sangat berkaitan dengan factor sesuai atau tidaknya hadits tersebut dengan qiyas yang merupkan salah satu metode Abu Hanifah dalam menetapkan status hukum terhadap sutu masalah.18
E. Kesimpulan
Disini dapat disimpulkan bahwa Abu Hanifah ketika melakukan kritik matan hadits mempunyai beberapa aturan yang digunakan dalam meneliti matan sebuah hadis, pertama, kandungan hadits ahad tidak menyalahi kandungan dari salah satu sumber hukum yakni al-Qur`an dan sunnah Nabi-berupa hadits-hadits yang mutawatir dan hadits-hadits yang masyhur . Kedua, sahabat yang meriwayatkan hadits ahad tersebut tidak mengamalkan ataupun mengeluarkan sejumlah fatwa yang bertentangan dengan kandungan hadits yang diriwayatkannya. Ketiga, perawi tidak mengingkari hadis ahad tersebut bahwa memang dia yang meriwayatkannya. Keempat, Hadits itu tidak menyangkut kepentingan orang banyak dan dilakukan orang banyak secara berulang-ulang.







DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Asy-Syarakhsy, Usul ash-syarakhsy,Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993

`Uways,Abdul Halim, Fiqih Statis Dinamis , Bandung: Pustaka Hidayah, 1998

Zahra,Muh. Abu, Abu Hanifah Hayatatu wa `Asruhu `ara`aha wa fiqhuhu, Mesir: Dar al-fikr al-Arabi, 1948

az-Zuhaili, Wahbah, Usul al-Fiqh al-Islam ,ttp: Dar al-Fikr, 1986

Sabtu, 14 Februari 2009

The Companion and Their `Adala

The Companion and Their `Adala
Ahmad Mubarok, Pasca UIN Suka, Yogyakarta
The word sahaba is originated from the word subhah which means accompanying someone else in a particular time. Muhammad `Ajjal al-Khatib defenis sahaba as people who accompany or follow someone else for a while or long time.
Among Muslim scholars, there are various opinions about the definition of sahaba. Some Muslim scholars define sahaba by focusing on the time in wich they meet the Prophet for a while, or for a specific period as in one month or one year. The others argue that the most important thing in the definition of sahaba is the acceptance of hadith from the prophet or the participation in a battle lead by the prophet.
The following are some opinions of the ulama about sahaba.
a.al-Bukhari argues that sahaba is a Muslim who accompanied or met the Prophet.
b.Ahmad bin Hanbal says that everyone who meets the Prophet for a while or for some period (one year, one month, or one day) is claimed sahaba.
c.Quating opinions of some scholars, Ibn Sala states that sahaba is everyone who accepts the hadith or the doctrines of Islam from the Prophet.
d.Sa`id ibn Musayyab says that sahaba is a people who live in the period of the Prophet for one or two years and involyed him/herself in a battle lead by the prophet.
e.Ibn Hazm defines sahaba in the following way-by arguing that everyone who sat together in a majlis ( cirle of discussion) with the Prophet and accepted his teachings can be claimed as sahaba.
f.Al-Waqidi says that sahaba is an adult person who met prophet and accepted Islamic teachings by his logic.
g.Ibn al-Jawzi argues that Jarir ibn Abdillah al-bajali was considered sahaba although he became a Muslim in 10 H. he says that every one who mwt or saw the Prophet without involving him/herself in the battle lead by the Prophet, or if he/she was a child when the prophet died is considered sahaba.
h.Ibn Hajar argues that sahaba is everyone who met the Prophet and believed in his teachings and died as a Muslim. This opinion is the opinion of the majority of Muslim scholars (jumhur al-`ulama). The definition covers a wide range of some aspects: everyone who met the prophet, whether he transmitted the the hadith from the Prophet or not, wis involved in the battle or not, was seated together with the Prophet or not. This definition also covers any person who has never seen the prophet due to his blind.
From the definitions above, it can be concluded that everyone who lived in the period of the Prophet, whether he or she was an infant or an adult, who met the prophet for a while, whether or not he or she had time to sit together with the Prophet, who transitted a hadith from the Prophet or not, who joined in the battle with the Prophet or not, or even if he or she has done an apostasy and came back to be Muslim and died as a Muslim, he or she is a sahaba. Meanwhile, a person who lived in the period of the Prophet and never met the Prophet, although he believed in Islamic teachings like Ashamah al-Najasyi, was not considered as sahaba.
Al-Nawawi and al-`Iraqi says that a child who had an ability to understand a story an believed in Islamic teachings and lived in the period of the Prophet was considered sahaba. Al-hasan and al-Husain, the two sons of `Ali and Mahmud ibn al-Rabi` were children and can be considered as belonging to this classification.
A. How to Know the sahabat of the prophet?

There are some wasy to know if a person is sahaba.
a.There is a khabar mutawatir (continuous hadith): Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, `Uthamn ibn `affan and `Ali ibn Talib were sahabat. Another hadith said that 10 people who were guaranteed as the tenants of heaven were sahaba. They were Sa`ad ibn Abi Waqas, Sa`id ibn Zaid, Talhah ibn Ubaidillah, al-Zubair ibn al-`awwam, Abdurrahman ibn `Awf and Abu `Ubaidillah `Amir ibn al-jarrah and the four Caliphs.
b.There is a khabr masyhur (well known hadith) stating that Damam ibn Tha`laba and `Akasyah ibn muhassin were sahaba.
c.A khabar stating that someone is sahaba like the report of Abu Musa al-Asy`ari saying that Hummah ibn Abi Hummah al-Dausi was a sahaba.
d.A. Confession from a good Muslim saying that he or she was a sahaba living in the period of the Prophet.
The confession from a certain Muslim as a sahaba is accepted as long as he or she died before 110 H. Muslims from the clan of `Aus and khazraj living in the period of the Prophet were considered sahaba although they have never been discussed. This also happened to the people who lived in Medina and before 1o H and follwed the prophet and went to Mecca to perfom pilgrimage called hajj wada`. The were sahaba. But if a person claimed he or she was a sahaba and died in 200 H like Ja`far nathur al-Rumi, it is sure that he was liar.

B. `Adala al-Sahaba
`Adala is the good character of a person who insists on obeying the rules made by god (taqwa) by performing whatever God commands and leaving whatever God forbids. Ulamas said that a rawi is `adil if the rawi has a strong commitment to perfom his or her religious pratices and leaves whatever attitudes and practices which make him fall into being a bad person.
Commenting on this, al-Khatib al-Baghdadi argues tahat a person is considered`adil if he has a strong commitment to perform his religious activites and worries about saying any bad word and displaying any attitude which causes him to fall into becoming a bad person. This people is considered `adil and the hadith transmitted from and reported by him is considered valid and authoritative. This opinion is based on the hadith arguing that:
Whoever has never made zalim (cruelty) to other people, has never lied when he talked with them, has never ignored his promises with them, is the best person about whom everyone is forbidden to talk badly about.
Al-Shafi`I said that al-rawi al-`adil is a rawi who is trustworthy in his religious practices, Abu Yusuf argues that averyone who is free from sin punished by hell, and charity is much than his sin, he can be categorized as `adil.
One of the main requirements of the acceptance of the transmission is that it is transmitted by a good person, a person who has never lied. His honesty is a mirror of his piety which pursues him to have a good atcitude (amanah). Telling a lie in the transmission of hadith is a big sin and it is absolutely prohibited as stated by a hadith: The Prophet said; “Whoever says something in the name of me, whereas I have never said, he would be punished by hell”.
Moreover, Al-Shafi`I, Ahmad and Abu Bakar al-Humaidi said that whoever tells a lie in presenting one`s expression and then he or she repents for his sin, he is considered a good person, but if he lies in presenting hadith, although he repents for his sin, he is still considered a bad person. In this case, according to al-Shafi`I, Ibn Salah states: “Everyone who is considered as a person who transmits invalid transmission because of telling a lie, I will never accept his transmission although he repents for his sin.
The falsehood of a transitter in his transmission can be shown from his statement like the statement of a rawi who said that he has transmitted a hadith from his teacher, whereas the teacher had died before the rawi was born. Another example is a rawi who reports a hadith containing contradictory information from the other sources in hadith transmitted by rawi who is well known as a good and authoritative one. It is also possible that transmitted the hadith from a teacher, whereas the teacher has reported different hadith.
In deciding a valid rawi in the chain of the transmission of hadith ulamas have made a specific methodology called `ilm al-Jarh wa t al-ta`dil (the science of criticism of the reporters of hadith). Fachruddin and al-Amidi said that this methodology can be examined by only one person. If a rawi has been examined by a specialist, and the specialist claimed that the rawi is authoritative, the rawi is considered an authoritative ane.

C.Ulama`s view on adala al-Sahaba
The study of adala al-sahaba is one of the important things in ilm al-hadith because it is a decisive requisite of a valid hadith, mukallaf and dabit. Relating to adala al-sahaba, there is a controversial principle: a principle saying that: al-sahaba kulluhum udulun (all companion are `adil). In commenting on this statement, there are varying opinions.
Firstly, there are some `ulama arguing that not all sahaba are `adil, especially who were living after the death of the prophet and after the case of fitna. Sahaba who can be included in this category are:
a.The group of sahaba known as Shi`ite. They argued that all sahaba living in the period of the life of Muhammad are adil, but all sahaba who supported the doctrine of khilafa and involved themselves in the consensus in dar al-Nadwa after the death of Muhammad were not `adil because they seized the khilafa from `Ali ibn Abi Thalib. Sahaba like abu Bakar, `Umar, Uthman, `Aishah, Talhah, `Amr ibn `Ash were not considered `adil. The group of Zaidiyah even argues that Abu Bakar, `Umar and Uthman were infidels. While the group of imamiyya argues that most of sahaba follwing the death of the prophet are people who apostate from Islam except `Ali ibn Talib, his sons and thirteen other people.
b.Mu`tazila which was promoted by Wasil ibn Atha. They doubted `Ali`s capacity, his two sons, Ibn Abbas, Talhah. Al-Zubair, `Aishah and aal sahaba who involved themselves in the battle between `Ali and `Aisha because they have committed serious sin. But Mu`tazila did not know the precise position of these sahaba. Tlha and al-Zubair, especially because they were guranteed as ahl al-janna ( tenants of heaven).
c.Khawarij. They argue that sahaba who accepted arbitration (tahkim) in the battle of siffin ore not `adil, and even that some of them are infidels. Among them who were considered infidels are Ali and his two sons, Uthman, Aisha, Talha, al-Zubair, Ibn Abbas, Abu Ayub al-Ansari and all sahaba who were not willing to separate from `Ali and Muawiyyah. The group of-alKamiliyya argued that Ali was not `adil because he did an apostasy and became an infidel. He also did not want to punish the sahaba who involved themsenes in kelling Uthman.
Secondly, some `ulama argue that all sahaba cannot be considered `Adil. Whether sahaba lived in the time of Muhammad or after they may not have been considered adil. According to them, it is an obligation to examine the circumstances to determine if sahaba transmitted a hadith from the Prophet. Two different opinions can be derived from this group:
a.`Ulama who argues that basically, all sahaba should be examined their `adala except those who are known their `adala based on khabar mashur or mutawatir.
b.`Ulama who say that only sahaba who invoived themselves in the conflict of fitna and who lived after this time.
This opinion is based on the fact that some sahaba were not `adil some of them are fasiq, munafiq, drunker, commited adultery adultery and thievery. Some of then even involved themselves in killing Umar, `Uthman, `Ali and Husain.
It can be determined that if there is a prohibition, there are people who break it. It also happens to the prohibitions stated in the Qur`an. In the period of sahaba, there were some people who broke the law and they were then considered not adil. To explain the validity of sahaba in the transmission of hadith, futher examination is absolutely needed. This examination can be done by guidance of the kitab rijal al-hadith, the kitab of Quranic exegess in which asbab nuzul al-ayat were mentioned and in the kitab syarh al-hadith.
D. Conclusion
From the explanation above, it can be concluded that there are two major opinions among ulama in response to the principle: al-Sahaba kulluhum `udulun. These two opinions cannot be synchronized. Firstly, some ulama argue that not all sahaba were adil. Some of them are fasiq, munafiq and liars and if they reported a hadith from the prophet, their `adala should be examined. If there is evidence that they were not valid reporters, the hadith should be rejecred, let alone if the content of the hadith (matn al-hadth) contradicts the essence of the Qur`an or other more valid hadith. The examination of the validity of sahaba aims to accept the hadith carefully in order to keep the originality of Islamic doctrines. If the examination is conducted on the basis of the fanaticism of particular group, as for example Shi`ite who condemn some sahaba, the result should be rejected.
Secondly, the majority of `ulama (jumhur al-`ulama) say that all sahaba were `adil (al-sahaba kulluhum `udul). All sahaba were authoritative in reporting hadith from the prophet. They were the first generation of Muslim to whom the praise from Allah and His messenger address. It is impossible for them to speak lies in the dissemination of Islamic teachings, because they were the guardians of Islamic teachings and the generation who fully obeyed the Prophet. They disseminated the doctrines of Islam carefully. If mistake were made, they were made outside of their awareness, and not intended as lies.

AL-QUR’AN DALAM PERGUMULAN MUSLIM INDONESIA

Studi al-Qur`an di Pedesaan

A. Pendahuluan
Studi atas kitab suci Al-Qur’an, bisa dilakukan dengan berbagai perspektif, salah
satunya adalah perspektif teologis-hermeneutik. Yakni Al-Qur’an didekati sebagai, dan
dalam konteks, kitab petunjuk untuk dieksplorasi makna, nilai serta tujuan yang
terkandung di dalamnya. Dalam konteks ini kemudian lahir teks-teks turunan yang
demikian luas. Teks-teks turunan itu merupakan teks kedua—bila Al-Qur’an dipandang
sebagai teks pertama—yang berperan sebagai penjelas makna-makna yang terkandung di
dalamnya. Teks kedua ini, dalam khazanah peradaban Islam dikenal dengan kitab tafsir
Al-Qur’an.2
Teks-teks kedua itu tidak sekadar jumlahnya yang banyak, tetapi corak dan model
metode yang dipakai juga beragam.3 Sebagai medan penafsiran, Al-Qur’an tidak saja
melahirkan teks kedua tersebut, tetapi juga beragam epistem, yang kemudian membangun
hermeneutika kitab suci—dari yang klasik hingga kontemporer. Lalu, sekadar contoh,
kita mengenal beberapa nama: Riffat Hassan yang membangun hermeneutik Al-Qur’an
feminis, 4 Amin Khûlî (w. 1966 M.) yang membangun analisis linguistik-filologis, 5
1 Staf Pengajar di STAIN Surakarta. Tesisnyaa telah diterbitkan berjudul Khazanah Tafsir
Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi (Teraju, 2003).
2 Untuk konteks keindonesiaan, baca Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari
Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003).
3 Ada yang sangat kuat dalam merujuk pada data-data riwayat dalam proses pengungkapan
makna-makna teks Al-Qur’an. Inilah yang kemudian dikenal sebagai metode tafsir bil ma’tsûr, seperti
terlihat, pada tafsir al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr karya Jalâluddîn al-Suyûthî (849-911 H.),
Jâmi` al-Bayân `an Ta’wîl Âyah al-Qur’ân karya Abû Ja`far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî (224-310 H.),
dan Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm karya `Imâduddîn Abû al-Fidâ al-Quraysyî al-Dimisyqî ibn Katsîr (700-774
H.). Ada yang mengadopsi disiplin ilmu pengetahuan alam. Ini bisa dilihat misalnya pada al-Jawâhir fî
Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Thanthawî Jawharî (w. 876 H.). Ada juga yang mengorientasikan dirinya
sebagai petunjuk dalam tata kehidupan sosial-kemasyarakatan, seperti terlihat pada Tafsîr al-Qur’ân al-
Hakîm (Tafsîr al-Manâr) karya Rasyîd Ridlâ (1282-1354 H.), yang memfokuskan diri pada tema-tema fiqh,
seperti Ahkâm al-Qur’ân karya Abû Bakr al-Jashshash (w. 981 H), al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân karya Abû
`Abdillâh al-Qurthubî (w. 1272 H.), dan masih banyak lagi corak-cork yang lain.
4Ia menyusun tiga prinsip interpretasi: (1) linguistic accuracy, yaitu melihat terma dengan merujuk
pada semua leksikon klasik untuk memperoleh apa yang dimaksud dengan kata itu dalam kebudayaan di
mana ia dipergunakan, (2) criterion of philosophical consistency, yaitu melihat penggunaan kata-kata
dalam Al-Qur’an itu secara filosofis konsisten dan tidak saling bertentangan, dan (3) ethical criterion,
yakni bahwa praktik etis sesungguhnya harus terefleksikan dalam Al-Qur’an. Riffat Hassan, “Women’s
2
Hassan Hanafî (lahir 1935 M.) mengintrodusisasi hermeneutik Al-Qur’an yang spesifik,
temporal, dan realistik—hermeneutik Al-Qur’an haruslah dibangun atas pengalaman
hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dengan kajian atas problem manusia6—dan
tokoh-tokoh yang lain.
Namun, di luar yang bersifat paradigmatik-hermeneutik itu, ada wilayah-wilayah
lain yang terkait dengan ruang-ruang teks Al-Qur’an yang bersifat kultural dan
antropologis. Perlakuan, sikap dan kreasi umat Islam terhadap Al-Qur’an—yang bukan
digerakkan atas tujuan menggali isinya—adalah termasuk dalam wilayah ini. Sayangnya,
kajian yang bersifat kultural dan antropologis atas posisi Al-Qur’an di tengah pergumulan
umat Islam ini belum banyak disentuh dengan baik oleh para peneliti. Padahal,
meminjam pemetaan Alford T. Welch, studi Al-Qur’an di samping mengarah pada
bidang exegesis (studi teks Al-Qur’an itu sendiri) dan sejarah interpretasinya, juga bisa
kita arahkan pada peran Al-Qur’an dalam kehidupan dan pemikiran umat Islam.7 Kaitan
dengan hal terakhir itulah tulisan ini dikerangkakan dengan mengarahkan analisis pada
konteks keindonesiaan.
B. Al-Qur’an dalam Ekspresi Seni Kaligrafi
Sebagai kitab suci, Al-Qur’an bukan hanya diimani sebagai petunjuk. Lebih dari
itu, dalam sejarah interaksi Muslim Indonesia dengannya—dan ini bisa saja terjadi di
wilayah-wilayah yang lain—telah menciptakan perlakuan-perlakuan yang unik dan khas.
Secara budaya, ini bisa dilihat mula-mula pada wilayah tekstur tekstual Al-Qur’an yang
melahirkan sederet bentuk khathth yang telah melahirkan eksplorasi seni dekorasi atau
yang lebih populer dikenal dengan kaligrafi Islam. Al-Qur’an secara visual di sini lebih
diposisikan sebagai suatu subjek yang menghasilkan potensi seni yang sangat berharga.
Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.), Women and Islam in Muslim Society (The Hague:
Ministry of Foreign Affairs, 1994), hlm. 116.
5 Ia menjadikaan wilayah hermeneutik teks dari unthinkable menjadi thinkable. Ia
memperlakukan teks sakral (Al-Qur’an) sebagai kitab sastra Arab terbesar (Kitâb al-
`Arabiyyah al-akbar), sehingga analisis linguistik-filologis teks merupakan upaya
niscaya untuk menangkap pesan moral Al-Qur’an.Selengkapnya lihat, J.J.G. Jansen, The
Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J.Brill, 1974). Edisi Indonesia, Diskursus Tafsir
Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
6 Hassan Hanafî, Dirasât Islâmiyyah (Kairo: Maktabat al-Anjilu al-Mishriyyah, 1981), hlm. 69.
7 Alford T. Welch, “Studies in Qur’an and Tafsir” JAAR., Vol 47, 1979, hlm. 630.
3
Kaligrafi8 adalah seni menulis indah. Kaitannya dengan tradisi Arab, biasanya
disebut al-khathth al-`Arabî. Menurut sebagian besar sejarawan, kaligrafi Arab ini
berasal dari tulisan Mesir Kuno, yaitu Hieroglyph yang berkembang pada 3.200 SM.
yang huruf-hurufnya berupa gambar (pictograph) dan berjumlah ratusan. Piktograf ini
ditemukan pada relief di kuburan-kuburan Pharao (Fir’aun) atau raja-raja kerajaan Mesir
Purba yang banyak dijumpai di kota Abidos, tak jauh dari Thinis yang menjadi pusat
kerajaan.9
Sebelum Islam datang, bentuk tulisan ini telah berkembang dan beragam, ada
Herotik dan Demotik. Bentuknya tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan paku,
tetapi menyederhanakan diri dalam bentuk gambar sebagai simbol pokok tulisan yang
mengandung isyarat pengertian yang dimaksud.10 Di Libanon dan Lautan Tengah, lahir
tulisan Phunisia¸ yang bentuknya lebih sederhana dan menjadi tulisan bunyi. Jumlah
hurufnya 22, yang diberi nama, pertama alpha (a) yang kedua beta(b) dan seterusnya,
yang kemudian dikenal dengan huruf alphabet atau abjad.11 Dari tulisan Phunisia ini
muncul tulisan `Aramî yang digunakan bangsa Arami—bangsa yang mendiami daerahdaerah
Palestina. Dalam waktu yang bersamaan lahir pula tulisan Musnad, yang hurufhurufnya
terpisah satu sama lain, tidak seperti tulisan Arab yang lahir kemudian.12
Menurut D. Sirajuddin. AR., hanya Musnad dan Nabthî yang benar-benar
dianggap tulisan Arab kuno. Pemakaian Nabthî selanjutnya melahirkan jenis Nabthî
Mutakhir, yang pada pokoknya terdiri dari dua bentuk, yaitu mabsûth (yang bersudutsudut)
dan mudawwar (yang bundar dan lentur). Belakangan model ini dikenal dengan
nama Kûfî.13 Tulisan Kûfî inilah yang kemudian digunakan untuk menulis Al-Qur’an.
8 Kaligrafi secara etimologis berasal dari kata calligraphy (bahasa: Inggris) yang berasal dari dua
suku kata bahasa Yunani, kallos: beauty (indah) dan graphein: to write (menulis) yang berarti tulisan indah
atau seni tulisan indah. Dalam bahasa Arab biasa disebut khathth, artinya: garis atau coretan pena yang
membentuk tulisan indah. Lihat, Webster’s World University Dictionary (Washington DC.:
PublisherCompany, Inc, 1965), hlm. 159; The Encyclopedia Americana (USA: Glorier Incorporated, 1985),
Vol. 5, hlm. 224.
9 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), hlm.
20-21.
10 D. Sirajuddin, AR., Seni Kaligrafi Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), hlm. 8-9.
11 C. Israr, Dari Teks Klasik sampai ke Kaligrafi Arab, hlm. 27-28.
12 Ibid. hlm. 33.
13 D. Sirajuddin AR., “Al-Qur’an dan Reformasi Kaligrafi Arab”, dalam Ulumul Qur’an, Vol. I,
1989, hlm. 37-38.
4
Kaligrafi Arab memang telah dijadikan sebagai tempat menumbuhkan
kerinduan estetis para seniman Muslim waktu itu. Sebab, Al-Qur’an mempunyai peran
penting dalam proses transformasi kaligrafi Arab: di samping ada perintah untuk belajar
menulis (QS. `Alaq [96]: 1-5 dan Al-Qalam [68]: 1), ada juga larangan pemujaan
terhadap patung (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 58), dan hadis-hadis yang secara tekstual
"mengancam" para pelukis (tashwîr) serta sikap fuqaha yang memberi
tanggapan reaktif terhadap seniman lukis dan pematung.14 Namun, secara terselubung
seni kaligrafi Arab ternyata juga tidak bisa mengelak secara total dari keterlibatannya
dalam gambar-gambar figuratif. Ini dapat dilihat pada seni figurasi yang materi goresangoresannya
berasal sepenuhnya dari tulisan Arab. Misalnya, do`a Syiah, dengan
memakai khathth Tsuluts, ditulis dalam model seekor elang, oleh Muhammad Fatiyah, di
Persia, pada abad ke-19.15
Lepas dari penyelewengan terselubung itu, pada perkembangannya Al-Qur’an
menjadi sumber inspirasi dan dijadikan ajang perburuan kreasi yang tak ada habishabisnya
oleh para kaligrafer Muslim. Sebagai bagian dari ekspresi jiwa seni, kaligrafi
Islam telah berkembang mengikuti kekuatan imajinasi para kaligrafer di setiap zaman.
Tulisan Arab yang mulanya tanpa tanda baca, yang membedakan antara satu huruf
dengan huruf lain,16 setelah gerakan penyempurnaan yang lebih bersifat praktis di atas,
dunia kaligrafi menuju dunia baru, yaitu dunia seni.17
Perkembangan kaligrafi, sebagai sebuah tulisan, tidak lagi sekadar menjadi
medium penjelas ide-ide dalam medan komunikasi. Lebih dari itu, karakteristik seni
menjadi bagian signifikan dari sebuah ekspresi komunikasi artistik. Oleh karena itu,
dalam beberapa segi, keindahan kaligrafi seringkali justru menjadi "problem"
14 Larangan atas bentuk karya cipta yang bersifat figuratif, seperti patung atau seni pahat,
yang berbentuk manusia, binatang atau benda-benda mati, menurut Nasr karena dalam
pemikiran Islami tidak membolehkan adanya reduksi dari atas ke bawah, yang intelektual ke tingkat
korporeal, atau yang suci ke tingkat yang duniawi. Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni
Islam, terj. Drs. Sutejo (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 15.
15 Untuk contoh-contoh ini, lihat, Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam, terj. Abdul Hadi W.M.
(Jakarta: PT. Pantja Simpati, 1986), hlm. 138-139; D. Sirajuddin A.R, Seni Kaligrafi Islam, hlm. 155.
16 D. Sirajuddin A.R., Seni Kaligrafi Islam, hlm. 65-67.
17 Lihat, D. Sirajuddin AR, "Memahami ‘Lompatan’ Aziz" dalam Abd. Aziz Ahmad,
Ragam Karakter Kaligrafi Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. vi.
5
tersendiri bagi sebagian orang. Misalnya, khathth Naskhî18 dan Tsuluts dari segi bentuk,
lebih mudah dibaca dibanding khathth Diwani dan Diwani Jali yang
cenderung rumit dan kompleks.
Di sini muncul makna spesifik dan kepuasan tersendiri dalam konteks seni
yang mulai dipresentasikan oleh para kaligrafer Muslim selanjutnya. Mereka terusmenerus
melakukan pencarian, yang kadang terkesan "memerkosa" berbagai bentuk
huruf yang selama ini telah dibakukan.19
Dalam konteks Indonesia, pada periode awal Islam masuk di Nusantara,
kaligrafi Islam belum begitu berkembang, apalagi menonjol sebagai karya seni rupa, jika
dibandingkan dengan yang terjadi di beberapa negara lain, seperti Mesir, Iran, dan Turki.
Penerapan kaligrafi Islam sebagai hiasan masih sangat terbatas. Bangunan-bangunan
tertua pada zaman permulaan kerajaan Islam tampaknya tidak memberi peluang yang
cukup berarti bagi penerapan hiasan kaligrafi Islam. Masjid-masjid lama, seperti di
Banten, Cirebon, Demak dan Kudus, menerapkan kaligrafi hanya sebagai pelengkap
motif hias yang bersumber pada tradisi seni hias Indonesia-Hindu.
Kita bisa menduga, penyebabnya adalah masjid-masjid kuno di Indonesia tersebut
konstruksi bangunannya didominasi oleh kayu, yang tidak memberi peluang besar bagi
hadirnya hiasan kaligrafi Islam yang kaya dengan aura keindahan itu. Yang kita
temukan sebatas pada hiasan mimbar masjid, pada batu nisan dan kadang disatukan
dengan aksara Jawa dalam bentuk candra sengkala, yang hanya berfungsi sebagai
tanda peringatan berdirinya masjid, seperti yang terdapat di Masjid Mantingan, Masjid
Sumenep, Sendang Duwur dan Masjid Keraton Yogyakarta.20
18 Khathth Naskhî adalah jenis khathth yang pada umumnya dipakai untuk menulis mushhaf Al-
Qur’an. Penggunaan khathth Naskhî ini, menurut hasil penelitian Kazhim Mudhir Syanehchi terhadap
mushhaf Al-Qur’an di Astanah-ye Quds-e Radhawi dan di Dar al-Kutub Kairo, jauh sebelum masa Ibnu
Muqlah (885-939 M), kaligrafer terkenal yang memberikan perhatian khusus terhadap perbaikan gaya
tulisan Arab, termasuk gaya Naskhî. Lihat, Kazhim Mudhir Syanehchi, “Manuskrip-manuskrip Kuno Al-
Qur’an” terj. Abdi M. Soeherman, dalam Hikmah Jurnal Studi-studi Islam, No. 7, November-Desember
1992, hlm. 19.
19 Yang dilakukan Naja al-Mahdani dari Tunisia menjadi salah satu bukti dalam kecenderungan
ini. Al-Mahdani, lewat kreasinya oleh Charbal Dagir dianggap telah melakukan pemaksaan terhadap
huruf-huruf yang telah berkaidah dengan permainan gila (al-la`bah al-majnûnah). Mengenai "kegilaan"
al-Mahdani ini, lihat, ibid., hlm. vii.
20 Wiyoso Yudoseputro, Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia (Bandung:
Angkasa, 1986), hlm. 116-117.
6
Alam pikiran kosmis-magis di Jawa yang terus berpengaruh hingga zaman
Islam juga memengaruhi tampilan kaligrafi Islam. Seni kaligrafi Islam di Indonesia saat
itu tidak ditujukan untuk mengembangkan nilai keindahan tulisan Arab—tulisan yang
digunakan menulis teks Al-Qur’an—sebagai karya seni tulis, tetapi lebih digerakkan
sebagai perlambang atau metafor yang mempunyai bidang dan motif lukisan, seperti
dalam bentuk tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan atau bentuk-bentuk makhluk
hidup. Fungsi dekoratifnya hanya dapat kita temukan di beberapa objek yang
mengandung unsur magis, seperti keris, tombak, pedang, perisai, baju dan sebagainya.
Kegairahan kaligrafi Islam sebagai seni di Indonesia mulai bangkit pada era
1970-an. Kegairahan ini, kemudian memunculkan dua aliran besar dalam kaligrafi Islam
di Indonesia: kaligrafi murni dan lukisan kaligrafi.21 Yang pertama mengikuti pola-pola
kaidah yang sudah ditentukan secara ketat oleh rumus-rumus baku kaligrafi. Pada model
pertama ini dapat dibedakan dengan jelas ragam aliran, seperti Naskhi, Tsuluts, Raihani,
Diwani, Diwani Jali, Ta`liq, Farisi, Kufî dan Riq`ah. Penyimpangan atau pun
pencampuradukan satu dengan yang lain dipandang sebagai suatu "kesalahan". Tokohtokohnya,
misalnya, Darami Yunus, Hardyono, Azhari Noer, M. Abdur Razzak Muhili,
Amir Hamzah dan yang lain.
Sedangkan yang kedua, adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil
karya lukis, atau coretan kaligrafi yang dilukis sedemikian rupa, dengan kombinasi
warna yang beragam, bebas dan tanpa terikat dengan rumus-rumus baku yang telah
ditentukan. Tokoh-tokohnya, misalnya, Affandi, Abas Alibasyah, Amang Rahman,
Bachri Makhfudz, Batara Lubis, But Mukhtar, Damas, Fadjar Sidik, Motinggo Busye,
Hasanuddin, Saifullah M. Aziz dan yang lain.
Fenomena kegairahan tersebut menemukan momentumnya terutama setelah
digelar Pameran Seni Kaligrafi Islam pada momentum MTQ-XI di Semarang dan
Pameran pada Muktamar Media Massa Islam Sedunia I di Jakarta 1-3 September 1980.
Dari tokoh-tokoh dalam aliran yang kedua di atas—praktis mereka adalah pelukis
tulen yang hanya mencoba mengguratkan kaligrafi Islam dalam lukisannya, jadi bukan
seorang kaligrafer—memunculkan berbagai bentuk gaya yang beragam. Seperti Amri
21 D. Sirajuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, hlm. 9.
7
Yahya, bentuk khathth yang dia bangun secara umum mirip bentuk Naskhi, tetapi
karakternya memanjang dan tidak banyak lekukan yang menyudut, seperti
yang ada dalam karakter Farisi; Saiful Adnan, bentuk khathth yang dia bangun juga
mirip bentuk Naskhi, namun di setiap huruf cenderung diakhiri dengan bentuk runcing
yang mengecil dan memanjang, sehingga karakter Naskhi tidak lagi dominan.22
Di era 90-an, `Abdul Aziz Ahmad, alumni Jurusan Seni Murni Fakultas Seni
Rupa dan Desain ISI Yogyakarta dan Pengajar Tamu pada Lembaga Kaligrafi
Jakarta, menyusun karakter-karakter huruf Arab yang berbeda dengan rumus-rumus
baku yang selama ini kita kenal. Ada sembilan karakter yang ia ciptakan: (1) karakter
api dengan nuansa ekspresi seperti kobaran api, (2) karakter air dengan
kesejukan dan kelembutan yang ada dalam sifat air, (3) karakter tajam, (4) karakter
gemuk, (5) karakter kurus, (6) karakter tali, (7) karakter bambu, (8) karakter lipatan
dan (9) karakter balok. Semua karakter ini mengambil sifat yang ada dalam nama-nama
karakter tersebut.23
Meskipun D. Sirajuddin AR. menganggap bahwa geliat dinamis yang terjadi
tersebut belum menjadi “isme” tersendiri dalam konteks Indonesia24—lahirnya khathth
Indonesiawi—namun fenomena itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an bagi umat Islam
Indonesia tidak hanya sebagai sesuatu yang mesti dibaca, tetapi juga diungkapkan dalam
keindahan bentuk-bentuk tulisan. Semangat dan citra teks kitab suci dieksploitasi dalam
bentuk tulisan dan dekorasi yang melatarinya. Ini artinya bahwa kaligrafi, tidak saja
diletakkan sebagai suatu ekspresi seni, tetapi lebih dari itu, ia juga digunakan sebagai
ungkapan kesadaran spiritual atas makna ayat-ayat Al-Qur’an. Menggeluti kaligrafi,
seperti yang dialami Amri Yahya, bukan sekadar ekspresi kegelisahan kreatif, tetapi juga
merupakan aktualisasi spirit Islam.25
C. Mushhaf Al-Qur’an Berukuran Besar
22 Lihat, Islah Gusmian, “Kaligrafi Islam, dari Nalar Seni hingga Simbolisme Spiritual” Makalah,
dipresentasikan dalam diskusi kelas Program Magister IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999.
23 Untuk detail-detail dari sembilan karakter tersebut, lihat, Abdul Aziz Ahmad, Ragam Karakter
Kaligrafi Islam (Jakarta: Bumi Akasara, 1996).
24D. Sirajuddin A.R. Seni Kaligrafi Islam, hlm. 10.
25 Lihat, Majalah Amanah, No. 18 Th XI, Mei 1997, dalam Rubrik Budaya, “Zikr Amri, Zikir
Seniman”, hlm. 48-49.
8
Bukan hanya interpretasi keindahan yang terwujud dalam keragaman karakter
khathth, Al-Qur’an dalam konteks wujud materialnya juga telah menjadi medan
arsitektural dengan menulisnya dalam ukuran raksasa.26 Gagasan ini muncul dari K.H.
Muntaha al-Hafizh, 27 Pengasuh Pondok Pesantren Al-Asy`ariyah, Kalibeber,
Mojotengah, Wonosobo, Jawa Tengah. 28 Dua santrinya terlibat langsung dalam
mewujudkan gagasan spektakuler ini: Hayatuddin—kelahiran Grobogan, Purwodadi, 6
April 1967—sebagai penulis teks Al-Qur’an, dan Abdul Malik—kelahiran Sleman
Yogyakarta, 25 Nopember 1968—merancang desainnya, serta melukis dan menghiasnya.
Sedangkan pentashhih-nya diserahkan kepada santri senior, Waros dan Taufik.
Al-Qur’an dalam ukuran raksasa ini ditulis dengan khathth Naskhi—sebuah jenis
khathth yang lumrah dipakai dalam penulisan ayat Al-Qur’an, karena mudah dibaca—
dengan warna hitam. Kemudian di pinggir ayat-ayat Al-Qur’an tersebut diberi hiasan
sebagaimana Al-Qur’an cetakan Beirut. Bedanya, warna yang dipakai untuk Al-Qur’an
ukuran besar ini adalah hijau dan emas. Hijau adalah lambang kesejukan sedangkan emas
adalah lambang kebanggaan.
Media yang digunakan untuk proyek spektakuler ini adalah kertas ukuran 120
cm/80 cm. Namun, setelah Harmoko—Menpen waktu itu—memberi bantuan kertas,
proyek itu kemudian dihentikan dan beralih pada kertas jenis BC (semacam karton
manila), produk pabrik kertas Leces, ukuran 2 meter/1.5 meter. Penulisan yang kedua ini
diawali pada tanggal 16 Oktober 1991 dan selesai pada 30 Desember 1992. Al-Qur’an
raksasa ini terdiri 306 lembar, yang bila disatukan ketebalannya mencapai 22 cm.
Pengerjaannya dibarengi dengan usaha-usaha penjernihan batin. Abdul Malik dan
Hayatuddin, waktu mengerjakan tugas ini, selalu berpuasa dan setiap mengawalinya
26 Uraian tentang Al-Qur’an berukuran raksasa ini diambil dari hasil liputan Majalah Amanah.
Lihat, “Lahir Sudah Quran Terbesar” Amanah, No. 175, 22 Maret - 5 April 1993, hlm. 26, 27 dan 100-
101.
27Tentang KH. Muntaha, lihat Elis Suyono dan Samsul Munir Amin, Biografi KH. Muntaha al-
Hafidz, Ulama Multidimensi (Wonosobo: Unsiq Jawa Tengah, 2004).
28 Gagasan K.H. Muntaha ini dimaksudkan untuk meneruskan apa yang pernah dilakukan oleh
kakeknya, K.H. Abdurrahim. Ketika menunaikan haji dengan naik kapal laut, K.H. Abdurrahim
memanfaatkan waktunya, sampai dua tahun, untuk menulis Al-Qur’an. Sekembalinya di tanah air, Al-
Qur’an yang ditulisnya itu sudah selesai, dan kemudian disimpan di masjid Asy`ariyah, Wonosobo.
Namun, ketika Belanda masuk ke Kalibeber, tahun 1948—waktu itu desa itu sudah ditinggalkan
penduduknya—Belanda membakar semua fasilitas yang ada, termasuk masjid. Akhirnya, beberapa kitab,
termasuk Al-Qur’an yang ditulis K.H. Abdurrahim tersebut ikut terbakar. Lihat, penjelasan K.H. Muntaha
dalam Majalah Amanah No, 175, 22 Maret – 5 April 1993, hlm. 26.
9
mereka selalu salat hajat terlebih dahulu. Ini merupakan tradisi khas umat Islam dalam
melakukan berbagai pekerjaan besar; selalu disertai dengan ritus-ritus tertentu, seperti
salat dan puasa, sebagai bentuk doa agar pekerjaan itu berjalan lancar. Sama dengan
Imam Bukhari pada saat menulis kitab hadis shahih, ketika hendak menulis hadis-hadis
yang diriwayatkan dia selalu memulai dengan salat hajat.
Tinta yang digunakan merupakan ramuan dari tinta rotering dicampur tinta bak
(Cina) lalu dimasak dan diberi air teh sebagai perekat. Tinta ini diperoleh dari Nur Aufa,
mantan juara kaligrafi nasional, asal Kudus. Untuk proyek ini diperlukan 15 botol tinta,
ukuran botol Aqua kecil, dan 11 pena yang terbuat dari bambu Wuluh. Sedangkan untuk
menghiasinya menghabiskan 20 kilogram cat warna kuning, 1,5 kilogram bubukan warna
emas, 10 kilogram terpentin, dan 15 liter minyak sebagai pencampur.
Ide kreatif kiai K.H. Muntaha al-Hafizh ini memperlihatkan bahwa Al-Qur’an
menjadi demikian penting bagi umat Islam Indonesia, bukan hanya dalam konteks
makna-makna yang dikandungnya sebagai petunjuk. Lebih dari itu tekstur visual
arsitektural yang secara kreatif ditulis dengan ukuran besar memperlihatkan bahwa Al-
Qur’an secara material ditelakkan sebagai karya seni yang agung.
D. Al-Qur’an Berwajah Puisi
Al-Qur’an yang beredar di seluruh dunia saat ini di tulis berdasarkan model
tulisan mushhaf `Utsman yang telah mengalami modifikasi tersebut. Pola penulisan inilah
yang kemudian dikenal sebagai rasm `Utsmani.29
Pola penulisan rasm `Utsmani ini memiliki perbedaan dengan kaidah dan standar
penulisan bahasa Arab yang baku. Beberapa contoh bisa dikemukakan: (1) pengurangan
huruf al-, misalnya: سمعون للكذب سمعون لقوم أخرين لم يأتوك (al-Mai’dah [5]: 41), kata سمعون
yang pertama seharusnya ditulis: 2) ; سماعون ) penambahan huruf, seperti huruf al-,
misalnya: ولا تقولن لشائ إنى فاعل ذلك غدا (Al-Kahfi [18]: 23), kata: لشائ seharusnya, ; لشئ
(3) penggantian satu huruf ke huruf lain, misalnya mengganti huruf al- dengan huruf
29 Majma` al-Buhûts al-Islâmiyyah, Buhûts Qur’âniyyah (Mesir: Al-Syirkah al-Mishriyyah, 1971),
hlm. 150.
10
wawu. Contoh: وأقيمواالصلوة واتواالزآوة (QS. Al-Baqarah [2]: 43), kata الصلوة mestinya
ditulis 30 . الصلا ة
Di Indonesia, pada tahun 1990-an, muncul kreasi unik dari HB. Jassin, sastrawan
terkenal, 31 yang menampilkan Al-Qur’an dalam wajah yang puitis. Kedengarannya,
kreasi ini memang menarik, tapi pada akhirnya melahirkan kontroversi.32 Kreasi Jassin
muncul ketika dia memeriksa kembali karyanya, Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia
cetakan ketiga untuk cetak ulang. Sejak semula Jassin memang menerjemahkan Al-
Qur’an dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik, dan hal ini telah melahirkan
terjemahan dengan bahasa yang puitis.33
Dalam proses pemeriksaan ulang atas karyanya itu, Jassin melihat berbagai
mushhaf Al-Qur’an—baik terbitan Indonesia, Turki, Mesir maupun Arab—semua
susunannya, menurutnya berbentuk prosa. Belum ada yang susunannya berbentuk puisi.34
Bentuk prosa yang dimaksud adalah dalam model penulisan terpaku pada kepentingan
memenuhi ruang bidang yang telah ditentukan untuk ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat yang satu
kesatuan pikiran itu, kadangkala, dan ini biasa, disambung saja untuk kepentingan
memenuhi ruang kosong yang ada di belakangnya, meskipun hanya sedikit, kemudian
disambung dengan baris berikutnya. Model penulisan macam ini bisa mengganggu
konsentrasi pembaca pada isi dan arti ayat.
30Selengkapnya lihat, Muhammad Thâhir `Abd Qadîr, Târikh al-Qur’ân (Mesir: Mushthafâ al-
Bâbî al-Halabî, 1953), hlm. 150.
31 HB. (Hans Bague) Jassin, dikenal sebagai “Paus Sastra Indonesia”. Lahir, di Gorontalo,
Sulawesi Utara, 31 Juli 1917. Di samping dikenal sebagai kritikus sastra, Jassin juga pengarang ulung.
Beberapa karyanya, di antaranya: Gema Tanah Air, Tifa Penyair dan Daerahnya, Kesusastraan Indonesia
Baru Masa Jepang.
32 Sebelumnya, pada tahun 1978, Jassin telah menyusun Al-Qur’anul Karim Bacaan
Mulia yang penerbitannya juga mengundang polemik, bahkan ada yang membakarnya. Reaksi
sebagian umat Islam, bisa dipahami dalam konteks bahwa Jassin dikenal sebagai orang
yang tidak menguasai bahasa Arab. Padahal bagi orang yang ingin menerjemahkan Al-
Qur’an tentu harus menguasai bahasa Arab. Tapi, itulah Jassin, ia tetap bertahan dan
berjalan terus, meskipun dihujat dan pernah juga diadili oleh MUI DKI Jakarta, atas
permintaan Gubernur DKI Jakarta waktu itu. Toh karyanya tetap dicetak. Pada tahun 1992
mengalami cetak ulang ketiga dengan jumlah 75.000 eksemplar. Lihat, Republika Minggu, 24
Januari 1993.
33HB. Jassin, et al. Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi H.B. Jassin Penyusun (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1995), hlm. viii.
34 “Proyek H.B. Jassin: Al-Qur’an Berbentuk Puisi”, Suara Karya, 4 Desember 1992, dan
Singgalang, 21 Desember 1992, kemudian dimuat dalam HB. Jassin, et al. Kontroversi Al-Qur’an
Berwajah Puisi H.B. Jassin Penyusun, hlm. 9.
11
Bagi Jassin, pada baris pertama berhenti dalam satu kesatuan makna yang bisa
diresapi oleh pembaca. Ruang yang kosong-kosong itu bukan berarti mubazir, karena
memang cara membacanya diresapi maknanya,35 sehingga lebih indah dan enak dibaca.
Lay out atau tata cara penyusunan ayat Al-Qur’an pada Al-Qur’an berwajah Puisi hasil
kreasi Jassin ini didasarkan pada pertimbangan unit masalah untuk setiap baris, bukan
banyaknya ruang yang telah disediakan, seperti kebanyakan Al-Qur’an yang beredar
selama ini. Misalnya, dalam ayat 8-9 surah Al-Baqarah, tertulis sebagai berikut:
وَمِنَ النّاَسِ مَنْ يَقُوْلُ امَنّاَبِاللهِ وَ باِلْيَوْمِ اْلأخِرِ
 وَمَاهُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ
يُخَادِعُوْنَ الله وَالَّذِيْنَ امَنُوْا
 وَمَا يَخْدَعُوْنَ إِلاَّ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ
Dalam mushhaf standar Indonesia model penulisannya sebagai berikut:
وَمِنَ النّاَسِ مَنْ يَقُوْلُ امَنّاَبِاللهِ وَباِلْيَوْمِ اْلأخِرِ وَمَاهُمْ
يخدِعُوْنَ الله وَالَّذِيْنَ امَنُوْا وَمَا يَخْدَعُوْنَ إِلاَّ  بِمُؤْمِنِيْنَ
فِي قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ الله مَرَضًا  اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ
Dari contoh di atas terlihat bahwa Mushhaf standar Indonesia menggoreskan ayatayat
secara berkesinambungan, memenuhi kepadatan bidang dan ruang kertas yang
tersedia. Karena itu, pada baris ketiga, tersisa potongan ayat 10 yang belum tuntas.
Dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya Departeman Agama, terbitan/hadiah
Khadimul Haramain tahun 1411 H ditulis sebagai berikut:
وَمِنَ النّاَسِ مَنْ يَقُوْلُء امَنّاَبِاللهِ وَ باِلْيَوْمِ
 اْلأخِرِ وَمَاهُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ
يُخَدِعُوْنَ الله وَالَّذِيْنَ امَنُوْا وَمَا
 يَخْدَعُوْنَ إِلاَّ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ
35 Ibid.
12
Tafsir Al-Furqan, 36 karya A. Hassan model penulisannya bahkan keluar dari
keumuman mushhaf yang ada di Indonesia tersebut, yaitu dengan menerangkan angkaangka
ayat sebelum masuk ke awal teks. Lihat contoh berikut ini:
وَمِنَ النّاَسِ مَنْ يَقُوْلُ امَنّاَبِاللهِ
 وَ باِلْيَوْمِ اْلأخِرِ وَمَاهُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ
يُخَادِعُوْنَ الله وَالَّذِيْنَ امَنُوْا وَمَا
 يَخْدَعُوْنَ الاَّ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ
Model penulisan yang dipakai dalam Tafsir Al-Furqan ini juga kelihatan tidak
efektif, ketika di ujung ayat diberi silinder yang tidak diberi nomor ayat. Jelas ini
pemborosan dan tidak mempunyai fungsi apa-apa bagi pembaca, sebab penomoran ayat
sudah diberikan di awal ayat.37
Persoalannya adalah apakah upaya Jassin ini bertentangan dengan model Mushhaf
`Utsmani. Menurut D. Siradjuddin AR., kaligrafer yang menulis khathth-nya, Al-Qur’an
Berwajah Puisi sepenuhnya mengacu kepada mushhaf `Utsmani dan juga tunduk kepada
rumus mushhaf standar Indonesia. Namun, tidak dalam hal tata lay out-nya. Jika tata lay
out-nya dimasukkan, sesungguhnya seluruh mushhaf yang ada sekarang ini tidak ada
yang mengikuti jejak mushhaf `Utsmani. Sebab, dalam tata lay out mushhaf `Utsmani
banyak pemenggalan kata, yang bagi pembaca awam cukup berbahaya. Misalnya, dalam
surah Al-An`am ditulis sebagai berikut:
اَلَّذِيْ خَلَقَكُمْ
مِنْ طِيْنٍ ثُمَّ قَضى اَ
جَلاً وَاَجَلٌ مُسَ  مى عِنْدَ
هُ ثُمّ اَنْتُمْ تَمْتَرُوْنَ وَ
هُوَاللهُ فِى السَّمَوَا
تِ وَفِى الاَرْ
36 Yang saya jadikan acuan dalam perbandingan ini adalah Tafsir Al-Furqan terbitan Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, cetakan ke-10, tanpa tahun.
37 Perbandingan ini diadaptasi dari analisis D. Sirajuddin. AR. Lihat, D. Sirajuddin. AR., “Al-
Qur’an Berwajah Puisi: Dibenarkan tapi Tidak Diakui” dalam Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV Th. 1993,
hlm. 61-62.
13
ضِ يَعْلَمُ سِرَّآُمْ وَجَهْرَآُمْ 38
Contoh di atas memperlihatkan bahwa mushhaf `Utsmani yang dihasilkan oleh
tim yang dipimpin Zayd ibn Tsabit, dengan memakai khathth kufi belum menentukan tata
lay out. Kata-kata: الارض , السموات , عنده , اجلا yang dipenggal-penggal seperti di atas
sangat membahayakan bagi para pembaca awam. Persoalan yang muncul kemudian
adalah bila menyangkut tata lay out mushhaf `Utsmani ini diklaim sebagai tauqifi dan
mutlak, tentu akan terjadi kerancuan dalam mushhaf kita sekarang ini, karena mushhaf
yang beredar di dunia Muslim sekarang jelas berbeda tata lay out-nya dengan mushhaf
`Utsmani.
Gagasan mengenai tata lay out dengan segala tanda baca yang sempurna, seperti
yang kita lihat sekarang, sebetulnya muncul pada periode Bani `Abbas yang dipelopori
oleh Abu Hasan, yang dikenal dengan Ibn Bauwab (w. 413 H/1022M). Karya-karyanya
kemudian bermunculan pada masa kekuasaan Turki `Utsmani dan kerajaan-kerajaan
Islam Persia. Pengaturan halaman mushhaf sekarang, umumnya mengacu pada periode
Bagdad dan para Sultan Ikhaniyah, bukan lagi pada `Utsman ibn `Affan.39
Dari uraian di atas tampak bahwa Al-Qur’an Berwajah Puisi kreasi Jassin
mempunyai kekhasan tersendiri. Pertama, dalam masalah lay out-nya disusun secara
38 Contoh ini mengacu pada satu mushhaf `Utsmânî—jumlah keseluruhannya 5 buah, ada yang
mengatakan 7 buah—yang potretnya tersimpan di Dâr al-Kutub Douha (Qatar), sedangkan aslinya
tersimpan di Samarkand. Pemotretan ini berlangsung pada 1905 di kota Petersburg, atau Leningrad
sekarang, di masa Julius Kaisar. Lihat, ibid. Di antara pagina mushhaf ini tidak bertanda baca, baik harakah
maupun naqt-nya dan ditulis dengan khathth kufî. Contoh di atas sengaja ditulis dengan khathth naskhî dan
diterakan tanda baca untuk memudahkan.
39 D. Sirajuddin. AR., “Al-Qur’an Berwajah Puisi: Dibenarkan tapi Tidak Diakui” dalam Ulumul
Qur’an, No. 5, Vol. IV Th. 1993, hlm. 61-62. Mengenai harus-tidaknya menulis mushhaf dengan gaya
Utsman, sebenarnya telah dijelaskan dalam buku Pedoman Pentashih Mushaf Al-Qur’an tentang Penulisan
dan Tanda Baca susunan Puslitbang Lektur Agama Departemen Agama RI 1976, yang mengambil tiga
pendapat. Pertama, tulisan Al-Qur’an harus mengikuti khathth mushhaf `Utsmânî, meskipun khathth
tersebut menyalahi kaidah nahwiyyah dan sharfiyyah, serta meskipun khathth tersebut mudah
mengakibatkan salah bacaannya bila tidak diberi harakat. Kedua, tulisan Al-Qur’an boleh mengikuti
kaidah `arabiyyah nahwiyyah dan sharfiyyah, meskipun menyalahi khathth `Utsmânî. Sebab hal itu
memudahkan pembaca, terutama bagi yang belum mengenalnya. Dasar hukum keharusan mengikuti
khathth `Utsmâni hanyalah `aqliyyah ijtihâdiyyah semata. Ketiga, Al-Qur’an yang merupakan bacaan
umum harus ditulis menurut kaidah `arabiyyah nahwiyyah dan sharfiyyah, namun tetap harus ada yang
ditulis menurut khathth `Utsmânî sebagai pelestarian warisan sejarah. Pendapat pertama dirujukkan pada
ulasan Al-Suyûthî. Lihat, Al-Suyûthî, Al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, I: 166-167, pendapat kedua dan ketiga
merujuk pada Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, I: 13-14.
14
simetris dengan mempertimbangkan makna puitis di setiap ayat, sedangkan dalam
mushhaf standar disusun biasa dengan pertimbangan luas bidang kertas yang disediakan.
Oleh karena itu, ia sering memenggal ayat meskipun masih ada ruang tersedia, demi
pertimbangan makna tadi. Hal yang sama, sebetulnya juga dilakukan dalam mushhaf
standar, hanya saja pertimbangannya lebih pada keserasian dan pemenuhan bidang ruang
yang tersedia, bukan makna. Namun, keduanya dalam pemenggalan tersebut sama-sama
tidak mengingkari kaidah nahwiyyah.
Kedua, dalam Al-Qur’an Berwajah Puisi keseluruhannya menggunakan khathth
tuntas nahwiyyah, sedangkan dalam Al-Qur’an standar beberapa kaidah `Utsmani kadang
masih terpakai. Namun, keduanya tetap menggunakan khathth naskhi bukan kufi,
sebagaimana bentuk asli mushhaf `Utsmani.
Ketiga, dalam Al-Qur’an Berwajah Puisi tidak ada ketentuan berapa ayat dalam
setiap satu wajah halaman (shahifah), sedangkan dalam Al-Qur’an standar, dengan tujuan
mempermudah hafalan, biasanya setiap shahifah terdiri atas 13, 15, 20 baris atau bahkan
lebih.
Gagasan spektakuler Jassin yang dimulai sejak tahun 1991 ini, 40 penulisan
kaligrafinya diserahkan kepada Drs. D. Sirajuddin A.R., kaligrafer dan dosen IAIN
Jakarta. Obsesinya ini memerlukan biaya yang tidak sedikit: untuk membuat kaligrafi Rp.
500.000 per juz, kali 30 juz, sehingga mencapai Rp. 15 juta, untuk biaya mentashhih
diperlukan anggaran sekitar Rp. 10.000,- serta anggaran-anggaran yang lain. Jumlah
keseluruhan memerlukan biaya Rp. 150 juta. Semua biaya ini diperoleh dari sumbangan
pribadi B.J. Habibie—waktu itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi Republik
Indonesia.41
Berbagai pihak, waktu itu, telah dihubungi, seperti Prof. Hasymi, BJ. Habibie,
Abdurrahman Wahid, Bismar Siregar, M. Amien Rais, dan beberapa tokoh lain, untuk
40Lihat, “Qur’an itu Puisi” Wawancara dengan HB. Jassin dalam Panji Masyarakat, No. 742,
XXXIV, 1-10 Januari 1993, hlm. 76.
41 “Al-Qur’an Berwajah Puisi Menjadi Obsesi H.B. Jassin” Angkatan Bersenjata, 22 Desember
1992, dan “Al-Qur’an Dilarang Berwajah Puisi” Forum Keadilan No. 22, 18 Pebruari 1993, kemudian
dimuat dalam HB. Jassin, et al. Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi H.B. Jassin Penyusun, hlm. 14 dan
85.
15
dimintai tanggapan. Gus Dur, bahkan siap memperjuangkan jika nanti muncul ributribut.
42 Pekerjaannya itu selesai tepat pada ulang tahunnya yang ke-76, 31 Juli 1993.43
Sayangnya, sebelum mengetahui bagaimana sesungguhnya model Al-Qur’an
Berwajah Puisi ini, waktu itu, masyarakat telah terjebak pada isu Al-Qur’an yang
dipuisikan, sehingga yang tercipta adalah prasangka yang tidak sehat. KH. Hassan Basri,
Ketua MUI waktu itu, misalnya, menolak terbitnya Al-Qur’an berwajah Puisi karena
dianggapnya mempermainkan Al-Qur’an. 44 Bahkan, dalam acara studium general di
Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta bersama HB. Jassin, 17 Mei 1993, Dr. H. Fuad Moh.
Fachruddin menghubungkan penulisan Al-Qur’an berwajah Puisi ini dengan perilaku
orang Syi’ah.45
Di samping beberapa tokoh yang menyerang Jassin dengan nada emosional
tersebut, ada beberapa tokoh yang mengungkapkan kekurangsetujuannya dengan
pertimbangan demi umat, seperti yang diungkapkan Ali Yafie, atau dengan alasan bahwa
cara penulisan Al-Qur’an itu merupakan petunjuk langsung dari Tuhan (tauqifi), sehingga
tidak bisa diubah, seperti yang disampaikan oleh Dr. K.H. Ma`ruf Amin, Katib Am
Syuriah PBNU, waktu itu.46
Namun, bukan berarti secara intelektual Jassin tanpa pendukung. Prof. H.
Chatibul Umam (Guru Besar pada Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Ali
Audah (satrawan dan penerjemah sejumlah literatur Arab), dan Abdurrahman Wahid
(ketua PBNU) adalah di antara intelektual yang secara konseptual mendukung kreasi
Jassin. Sejauh tidak ada tanda baca yang diubah dan kedudukan ayat juga tidak diubah
mereka tidak mempermasalahkan upaya itu.47
Kontroversi itu semakin menajam setelah MUI dan Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an Departemen Agama, menolak format Al-Qur’an versi Jassin tersebut. MUI
lewat surahnya No. U-1061/MUI/XII/1992 yang ditandatangani K.H. Hasan Basri dan
42 Ibid.
43 HB. Jassin, et al. Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi H.B. Jassin Penyusun, hlm. viii.
44 Pernyataan ini sebagaimana dikutip Media Indonesia Minggu, 29 Agustus 1993.
45 Sebagaiman diuraikan D. Sirajuddin AR. Lihat, D. Sirajuddin. AR., “Al-Qur’an Berwajah Puisi:
Dibenarkan tapi Tidak Diakui” dalam Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV Th. 1993, hlm. 61.
46 Wawasan, 26 Januari 1993, dikutip dalam HB. Jassin, et al. Kontroversi Al-Qur’an Berwajah
Puisi H.B. Jassin Penyusun, hlm.48.
47 Republika, 28 Januari 1993, dikutip dalam HB. Jassin, ibid., hlm.50.
16
Sekretaris Umum, Prodjokusumo, dan Departemen Agama lewat surah No. P
III/TL.02/1/242/1179/1992 ditandatangani Ketua Badan Litbang Agama Puslitbang
Lektur Agama Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Depag, H.A. Hafizh Dasuki, yang
ditujukan kepada Jassin, menolak permintaan rekomendasi Jassin sehubungan dengan
penerbitan Al-Qur’an Berwajah Puisi itu. Alasannya, menurut Hasan Basri, karena
susunan naskahnya tidak sesuai dengan mushhaf Al-Imam. Sedangkan Depag,
berdasarkan rapat pleno Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, pada 17 September 1992,
memutuskan bahwa Al-Qur’an versi Jassin dinilai lebih besar mudaratnya ketimbang
manfaatnya.48
Sebenarnya, perdebatan tentang apakah Al-Qur’an cenderung pada garis putitis
atau prosa dalam literatur Islam telah muncul jauh sebelum H.B. Jassin memuitisasikan
ayat-ayat Al-Qur’an. Mayoritas ulama, menyatakan bahwa tanpa dipuitisasikan,
sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur’an telah mengandung nilai puisi yang sangat agung, tapi
ia sendiri bukanlah puisi.49
Beberapa contoh bisa diuraikan. Misalnya, dalam surah Al-Ikhlash, keempat
ayatnya berirama –ad dengan mengesampingkan bunyi-bunyi nada, surah Al-Fil, ayatayatnya
berirama il dengan mengesampingkan vokal-vokal akhir dan membolehkan -ul
pada salah satu akhir ayat. Begitu juga yang terjadi pada surah Al-Dluha. Ini
mendeskripsikan bahwa Al-Qur’an sebenarnya bukan puisi dan juga bukan prosa secara
total. Struktur bahasa Al-Qur’an dengan perubahan rima yang tiba-tiba; pengulangan kata
rima yang sama dengan penggandengan ayat; pencampuran pokok bahasa asing ke dalam
suatu bagian Al-Qur’an yang homogen, keterputusan dalam konstruksi gramatikal,
perubahan yang tiba-tiba dalam panjang ayat; peralihan mendadak dalam suasana
48 Harian Terbit, 21 Januari 1993, Media Indonesia, 21 Januari 1993, Pelita, 21 Januari 1993,
dikutip kembali dalam HB. Jassin, ibid., hlm. 17-22.
49 Thaha Husein, sastrawan Mesir, membagi perkataan pada: puisi, prosa, dan Al-Qur’an, sehingga
memisahkan bahasa Al-Qur’an sebagai bahasa yang khas: bukan puisi dan bukan prosa. Sebab, Al-Qur’an
tidak tunduk pada aturan puisi maupun prosa. Zaki Mubarak, berpendapat sebaliknya. Dalam kitab al-
Nashr al-Fanni dia mengatakan bahwa Al-Qur’an sebagai prosa Arab yang berbeda dari prosa sebelum dan
sesudah kedatangannya. Mushthafa Anani menyebut Al-Qur’an tergolong prosa dengan perbedaan dari
kelaziman prosa mursal dan kata bersanjak Arab biasa: kadang berwajah prosa, tapi di bagian lain berwajah
sajak, dan bahkan kombinasi antarkeduanya. Sedangkan al-Baqillani menolak wajah sajak dalam Al-
Qur’an. Alasannya, dalam puisi harus ada minimal 4 bait dengan penyeragaman ujung-ujung qafiyah-nya,
sedangkan Al-Qur’an tidak demikian. Lihat, D. Sirajuddin. AR., “Al-Qur’an Berwajah Puisi: Dibenarkan
tapi Tidak Diakui” dalam Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV Th. 1993, hlm. 62.
17
dramatis dari kata ganti tunggal ke jamak adalah di antara beberapa keunikan dan
kekhasan Al-Qur’an.50
Lepas dari pro kontra di atas, kreasi HB. Jassin ini merupakan khazanah baru di
Indonesia: seorang Muslim telah mengekspresikan kecintaannya terhadap Al-Qur’an
dengan menampilkannya dalam wajahnya yang puitis, meskipun Al-Qur’an bukanlah
puisi. Jassin sadar benar bahwa dirinya tidak sedang menjadikan Al-Qur’an sebagai puisi.
Dia hanyalah menampilkan Al-Qur’an dalam wajah yang puitis.
E. Seni Tilawah Al-Qur’an
Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah (al-muta`abbad bi tilawatih), demikian visi
normatif dalam Islam.51 Sebab, seperti disampaikan dalam sebuah hadis, bahwa Al-
Qur’an mempunyai kelebihan dibanding perkataan-perkataan yang lain. Orang yang
membaca Al-Qur’an diibaratkan seperti buah jeruk, rasa dan baunya enak. Sedangkan
orang yang tidak membaca Al-Qur’an ibarat buah kurma, rasanya enak tetapi tidak ada
baunya.52 Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an secara tartil
sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ilmu tajwid.53 Bahkan, lebih dari itu, dianjurkan juga
untuk dilantunkan dengan suara dan lagu yang baik. Dalam beberapa hadis dikatakan,
misalnya, hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu yang baik;54 Tidak termasuk umatku yang
50 Lihat, W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an Penyempurnaan atas Karya Richard
Bell, terj. Taufik Adnan Amal (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. 109-131. Dari segi bahasa Al-Qur’an
memang menyimpan kekuatan stilistik. Untuk kajian soal ini lihat, Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-
Qur’an, Pengantar Orientasi Studi Al-Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997).
51 Para ulama studi Al-Qur’an mendefinisikan bahwa Al-Qur’an adalah Kalâmullâh al-munazzal
`alâ Muhammad shallâhu `alaihi wa sallam, al-muta`abbad bitilâwatih. Lihat, Mannâ` al-Khalîl al-
Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, hlm. 21.
52 Lihat, hadis yang diriwayatkan oleh Hudbah ibn Khâlid Abû Khâlid dari Qatâdah dari Anâs dari
Abû Mûsâ dari Nabi Muhammad SAW. dalam Abû `Abdullâh Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî
(selanjutnya disebut al-Bukhârî), Matn Al-Bukhârî bi Hâsyiah al-Sindî (Bandung: Ma’arif, t.th.), bab Fadll
al-Qur’ân `alâ Sâ’ir al-Kalâm, III: 231; Imâd al-Dîn Abî Fidâ’ Ismâ’îl ibn Katsîr, Fadlâ’il al-Qur’ân di
halaman akhir Tafsîr Al-Qur’ân al-`Azhîm (Semarang: Toha Putra, t.th.), IV: 32. Allah sendiri pun
mengklaim tentang keistimewaan Al-Qur’an. Lihat, QS. Al-Takwîr [81]: 19-24, Al-Wâqi`ah [56]: 77-79,
Al-Hijr [15]: 9, Al-Ahqâf [46]: 29-31.
53Al-Qur’an memang harus dibaca dengan tartil (QS. Al-Muzammil [73]: 4) dan ketika Al-Qur’an
dibaca, Tuhan memerintahkan umat Islam untuk mendengarnya dengan baik, dan memperhatikan dengan
tenang agar mendapat rahmat (QS. Al-A`râf [7]: 204).
54 Hadis ini diriwayatkan Abû Dâwud, Al-Nasâ’î, Ibn Mâjah, dari Syu`bah dari Thalhah dari `Abd
al-Rahmân dari ibn `Usajah dari Barrâ’ ibn `آzib, dengan sanad yang baik (jayyid). Lihat, Ibn Katsîr,
Fadlâ’il al-Qur’ân di bagian akhir Tafsîr Al-Qur’ân al-`Azhîm, IV: 35.
18
tidak melagukan bacaan Al-Qur’an; 55 Segala sesuatu mempunyai perhiasan, adapun
perhiasan Al-Qur’an adalah suara yang baik.56
Visi normatif yang demikian itu, menjadi cikal bakal munculnya budaya seni baca
Al-Qur’an, di mana salah satu bentuk kecintaan seorang Muslim terhadap kitab sucinya
(Al-Qur’an) diekspresikan dalam bentuk lantunan indah dengan nada-nada tertentu ketika
membaca Al-Qur’an. Di sini, Al-Qur’an tidak saja dibaca secara tartil, tetapi juga
dilagukan dengan nada-nada yang telah ditentukan. Dalam tradisi seni baca Al-Qur’an,
telah disusun berbagai tausih yang mengatur bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an dilantunkan
secara indah, seperti: bayati, shaba, hijaz, nahawan, syikah, raus, dan jiharka.57
Bentuk-bentuk lagu bacaan semacam itu, di Indonesia secara besar-besaran
diambil dari Mesir, dan—menurut dugaan Howard—mungkin juga berasal dari kebiasaan
Ummi Kultsum yang merupakan salah seorang pendiri praktik penyesuaian ayat-ayat Al-
Qur’an terhadap musik. Budaya seni baca Al-Qur’an ini dalam perkembangannya
memperoleh dukungan dari pemerintah Indonesia dengan diadakan Musabaqah Tilawatil
Qur’an, sejak tahun 1968.58
Di Indonesia, MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) sesungguhnya mempunyai
sejarah yang cukup panjang. Secara embrional kegiatan seni membaca Al-Qur’an telah
banyak dilakukan masyarakat, hanya saja masih bersifat lokal. Sejak awal kemerdekaan,
telah muncul gagasan untuk mengangkat kegiatan MTQ secara nasional. Setidaknya ini
terlihat dari keinginan KH. A. Wahid Hasyim—waktu itu Menteri Agama RIS—yang
melontarkan gagasan tentang perlunya membentuk sebuah lembaga yang menaruh
perhatian terhadap Al-Qur’an. Pada tanggal 17 Ramadlan 1370 H (1950), di rumah KH.
A. Wahid Hasyim Jl. Jawa 12 Jakarta, pada acara buka bersama, tercetus gagasan untuk
membentuk sebuah organisasi yang menghimpun para ahli qira’at, qari, dan huffazh Al-
55 Dari Abû al-Qâsim al-Bagâwî dari Muhammad ibn Hâmid dari Salamah ibn al-Fadll dari
`Abdullâh ibn `Abd al-Rahmân ibn Abî Malîkah dari al-Qâsim ibn Muhammad dari al-Sâ’ib dari Sa`d.
Lihat, ibid.
56 Dari Abû Bakr al-Bazzâr dari Salamah ibn Syabib dari `Abd al-Razzâq dari `Abdullâh ibn
Muharrar dari Qatâdah dari Anas. Ibid. hlm. 54. Sebagian ulama, ada yang memakruhkan membaca Al-
Qur’an dengan dilagukan, sejauh proses itu mengarah pada permainan, berlebih-lebihan yang
mengedepankan hawa nafsu. Tentang soal ini, lihat, ibid. hlm. 37.
57 Uraian tentang bentuk-bentuk tausih ini lihat, Khadidjatus Shalihah, Perkembangan Seni Baca
Al-Qur’an dan Qiraat Tujuh di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983).
58 Howard H. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia, hlm. 201.
19
Qur’an, dengan nama Jamiyatul Qurra wal Huffazh (JHQ).59 Pada tahun 1951 Jamiyah
ini diresmikan oleh KH. A. Wahid Hasyim dalam rangkaian acara Maulid Nabi
Muhammad di rumah H. Hasmuni, Sawah Besar Jakarta.60
Kegiatan MTQ yang diselenggarakan pertama kali pada tahun 1968 kini menjadi
kegiatan rutin. Dalam setiap acara MTQ ini, berbagai macam lomba yang berkaitan
dengan Al-Qur’an digelar—tidak hanya yang berkaitan dengan seni tilawah al-Qur’an—
misalnya: Tilawah al-Qur’an, Hifzh al-Qur’an, Fahm al-Qur’an, Khathth al-Qur’an,
Syarh al-Qur’an, dan Tafsir al- Qur’an. Bahkan, pada tanggal 25 – 27 April 1992 untuk
pertama kalinya digelar lomba MTQ untuk TKA, di TMII yang melibatkan anak-anak di
bawah lima tahun di seluruh Indonesia. Acara ini diselenggarakan oleh BKPMI (Badan
Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia), LPPTKA (Lembaga Pembinaan dan
Pengembangan Taman Kanak-kanak Al-Qur’an) dan PT. Humpuss.61
Acara MTQ macam ini, dalam perkembangannya tidak hanya menjadi sebuah
fenomena relegius semata yang berkaitan dengan perintah Nabi agar umat Islam
membaca kitab sucinya dengan baik dan merdu, tetapi juga telah berkembang menjadi
sebuah budaya yang penyelenggaraannya menelan biaya yang tidak sedikit dan
melibatkan peran-peran strategis pemerintah serta beberapa instansi yang menjadi
sponsor. Acara MTQ ini memang mempunyai fungsi simbolis, integratif, dan ekonomis,
persis dengan pesta olah raga.62 Dengan diadakannya MTQ yang melibatkan pemerintah,
akan memberikan kesan bahwa pemerintah Indonesia mempunyai perhatian besar
terhadap kepentingan Islam, bukan negara sekular. Bagi umat Islam sendiri acara ini
merupakan simbol kekuatan umat, syiar Islam, yang memberikan kesan bahwa umat
Islam di Indonesia tetap merupakan umat yang dominan, dan juga gema ayat suci ini
59 Gagasan Menteri Agama yang hafizh Al-Qur’an ini diterima oleh beberapa ulama, misalnya, Dr.
KH. Aboebakar Atjeh dan K.H. Wahab Hasbullah
60 Peresmian ini menghasilkan susunan pengurus besar (sementara): Penasehat, KH. Abdul Wahab
Hasbullah, KH. A. Wahid Hasyim, KH. Abdul Karim dan KH. Djamhur; Pengurus Harian, Ketua Umum
Dr. KH. Aboebakar Atjeh, Ketua I KH. Darwis Amini, Ketua II KH. Nazaruddin Latif, Sekretaris
Muhammad Nur, Sekretaris I KH. Tb. Manshur Ma’mun, Bendahara H. Hasmuni dibantu H. Abdul Rahim
Martam. Lihat, “MTQ, Riwayatmu Dulu” Laporan dalam Pesantren, No. 1/Vol. VIII/1991, hlm. 47-48.
61 Untuk detail penyelenggaraan MTQ Anak-anak ini lihat, “Pertama Kali di Dunia MTQ Anakanak
Balita”, Laporang Khusus dalam Amanah, No. 153, 18-31 Mei 1992, hlm. 16-18, dan 98.
62 Jalaluddin Rahmat, “Jangan Lepas Burung di Tangan” dalam Pesantren, No. 1/Vol.
VIII/1991, hlm. 54.
20
mempunyai daya terapeutik, di mana orang merasa saleh dan dekat dengan Tuhan
meskipun pada kehidupan sosial mereka mengabaikan firman Tuhan.
Fungsi integratifnya dapat dilihat dari kebersatuan pemerintah dan umat Islam,
juga faksi-faksi yang ada dalam Islam, dalam menyelengarakan acara MTQ tersebut,
sehingga tradisi ini tidak lagi menjadi proyek umat Islam, tetapi proyek nasional.
Sedangkan fungsi ekonomis tampak dalam berbagai peluang kerja yang muncul di
sekitar proyek MTQ ini.
Fenomena budaya ini tampak menjadi demikian unik, yang sulit ditemukan di
dalam tradisi agama-agama lain: ayat-ayat kitab suci dibaca dan lagukan dengan nadanada
tertentu, keindahan dan ketepatan bacaan tersebut kemudian dilombakan, dan dalam
perkembangannya telah melahirkan berbagai fungsi di tengah masyarakat.
F. Bacaan Al-Qur’an sebagai Ritus
Sebuah kenyataan bahwa Al-Qur’an dibaca berulang-ulang oleh umat Islam,
meskipun orang yang bersangkutan tidak mengetahui makna yang dibacanya, baik dalam
salat, maupun upacara ritual tertentu, seperti pernikahan, khitanan, dan pengajian.
Bahkan, secara teologis, khusus di bulan Ramadlan dianjurkan untuk melaksanakan acara
tadarrus Al-Qur’an. Di samping dibaca dengan berulang-ulang tersebut, ayat Al-Qur’an
juga dihafal, sebagai salah satu bentuk peran dalam pemeliharaan orisinalitas dan
kesinambungan ayat-ayat Al-Qur’an dari generasi ke generasi. Hal ini sangat terkait
dengan kepentingan tradisi tahfîzh Al-Qur’an di dalam umat Islam.63
Tradisi mengafal sesungguhnya merupakan suatu yang khas pada masyarakat
Arab pada masa sebelum Nabi Muhammad SAW. Sebab, bangsa Arab pada umumnya
adalah masyarakat pengembara yang tidak begitu memperhatikan budaya tulis. Untuk
kepentingan penyebaran berita, komunikasinya masih bertumpu pada tradisi lisan.64
63 Kata tahfîzh berasal dari akar kata hifzh yang berarti menjaga atau menghafal. Dari sini orang
yang hafal Al-Qur’an disebut al-hâfizh, jamaknya huffazh atau hafazhah. Tetapi dalam literatur klasik dan
beberapa hadîts, al-hâfizh sering disebut dengan istilah hâmil (pembawa) Al-Qur’ân. Hâmil al-Qur’ân ini
mempunyai kedudukan yang mulia, asyraf ummatî hamalat al-Qur’ân. Lihat, Abû Zakaria ibn Syarafuddîn
al-Nawawî, al-Tibyân fî Adab Hamalât al-Qur’ân (t.tk: t.p, t.th), hlm. 29.
64 Mannâ` al-Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, hlm. 119.
21
Pada abad ke-6 M, sebelum Islam datang, merupakan zaman kesusastraan yang
penuh semangat kepahlawanan bagi bangsa Arab. Puisilah, waktu itu, yang akrab dengan
mereka. Namun, mereka sepenuhnya tetap bertumpu pada tradisi lisan dalam
mengabadikan sajak-sajak mereka,65 sehingga daya hafalan mereka begitu kuat. Itulah
sebabnya, pada waktu lahirnya Islam sekitar awal abad ke-7, Al-Qur'an sebagai kitab
suci, disiarkan pertama kali di kalangan orang Islam tidak melalui
tulisan, tetapi dengan tradisi lisan kemudian dihafal, sebagaimana tradisi yang ada
dalam masyarakat Arab pada saat itu. Dari sinilah muncul tradisi menghafal Al-Qur’an
yang dipelopori oleh para sahabat Nabi.
Secara kultural, tradisi menghafal (tahfîzh) Al-Qur’an di Indonesia tumbuh dan
berkembang dalam kultur kepesantrenan. Namun, dari segi sejarah kelahiran dan
perkembangannya, jika pesantren secara umum lahir dan berkembang bersama datangnya
Islam di bumi Nusantara, maka menghafal Al-Qur’an muncul di Indonesia baru pada
abad ke 18 M.66
Sulit dipastikan kapan tradisi ini mulai ada di Indonesia. Namun, secara historis
kita bisa melihat bahwa budaya menghafal Al-Qur’an ini terbentuk pada saat para pelajar
Indonesia menuntut ilmu di Mekkah dan menjadi muqimîn untuk beberapa tahun.
Biasanya, sebagian mereka ini kemudian menjadi kiai atau ulama dan mendirikan
pesantren.67 Jika para kiai yang telah hafal dan mendirikan pesantren tahfîzh Al-Qur’an,
tentu mereka itu sebelumnya menghafalkannya secara talaqqî (belajar langsung) kepada
syaikh di Mekkah. Sebab, sebelum mereka mampu mengkhatamkan hafalannya dengan
baik, tentu tidak akan memperoleh restu (ijâzah) mengajarkannya kepada orang lain, dan
belum mendapat sanad—silsilah guru tahfîzh yang bersambung secara berantai.
65 Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam), hlm. 7; D. Sirajuddin AR, Al-Qur'an dan Reformasi
Kaligrafi Arab dalam Ulumul Qur'an, No. 3 Vol. I, Th. 1989, hlm. 52.
66 Muntaha Azhari, “Tahfizh Al-Qur’an di Indonesia” Makalah disampaikan pada Sarasehan
Perspektif Hâfizh dan Tahfîzh Al-Qur’an di Indonesia, diselenggarakan oleh Jam`iyyah Hafazhah Al-
Qur’an di Demak, 7 Mei 1990; Muntaha Azhari, “Tradisi Tahfzih: Ilmiah atau ubudiah” dalam Pesantren,
No. 1/Vol.VIII, 1991.
67 Tradisi tahfîzh Al-Qur’an di Indonesia ini lebih dekat dengan dunia pesantren. Dari sekian
banyak lembaga yang mengembangkan tradisi ini, setidaknya hingga kini, hampir bisa dipastikan
mempunyai latar belakang pesantren, dan kalau dikerucutkan secara ideologis mereka adalah orang-orang
NU. Dalam Muhammadiyah, tradisi tahfîzh Al-Qur’an ini tidak banyak berkembang, meskipun ada tokohtokoh
Muhammadiyah, di tahun 1920-an yang hafîzh Al-Qur’an, misalnya H.M. Rasyidi. Untuk keterangan
soal H.M. Rasyidi ini lihat, Endang Basri Ananda (peny.), 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi (Jakarta:
Harian Umum Pelita, 1985), hlm. 14-15.
22
Contohnya, K.H. Munawwir, pendiri pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta—
pembuka tradisi tahfîzh Al-Qur’an di Yogyakarta dan Jawa Tengah—pernah bermukim
di Mekkah selama 21 tahun, setelah memperoleh izin untuk mengajarkan tahfîzh Al-
Qur’an, pada tahun 1911 ia pulang ke Indonesia dan mendirikan pesantren tahfîzh Al-
Qur’an. Juga Syaikh As`ad, seorang hâfizh Al-Qur’an keturunan Sulawesi Selatan yang
besar di Mekkah, pada tahun 1927 pulang ke Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan, dan
kemudian mendirikan pesantren As`adiyah.68
Dalam dunia pesantren, pesantren tahfîzh Al-Qur’an dikategorikan sebagai
program khusus takhashshush (spesialisasi). Bila pesantren pada umumnya membentuk
keulamaan dengan program pengajaran yang bervariasi dan berjenjang, maka pesantren
tahfîzh khusus mencetak hâfizh dengan program tunggal tahfîzh Al-Qur’an. Namun, ada
beberapa pesantren huffâzh yang tarjetnya tidak sekadar menghafal Al-Qur’an, tetapi
juga memahami arti kandungannya. Mendidik santri menguasai Al-Qur’an, lafzhan,
ma’nan wa `amalan. Oleh karena itu, santri juga diwajibkan mengikuti kegiatan belajar
disiplin keilmuan lain, seperti tafsir, hadis, fiqh, bahasa Arab, serta ilmu-ilmu yang
khusus berkaitan dengan Al-Qur’an. Model inilah yang diterapkan di Madrasatul Qur’an,
Tebuireng, Jombang sejak era K.H. Yusuf Masyhar. Keberadaan ISIQ dan IIQ, yang ada
di Jakarta dan Wonosobo, juga diorientasikan untuk memenuhi kehendak tersebut.
Beberapa buku telah ditulis untuk kepentingan tahfîzh Al-Qur’an ini, misalnya, Tata
Cara Problematika Menghafal Al-Qur’an dan Petunjuk-petunjuknya disusun oleh H.A.
Muhaimin Zen.69
68 Sekarang ini, selain yang dipimpin oleh dua tokoh tersebut, pesantren tahfîzh Al-Qur’an di
Indonesia telah tersebar di seluruh wilayah. Beberapa kiai yang dianggap sesepuh di kalangan hâfizh—
sebagiannya telah wafat—adalah, K.H. Arwani Amin (pengasuh pesantren Yanbu`ul Qur’an, Kudus),
K.H. Adlan Ali (pengasuh Pesantren Walisongo, Cukir, Jombang), K.H. Abdullah Umar (pengasuh
Pesantren Tahaffuzul Qur’an, Kauman, Semarang), K.H. Muntaha (pengasuh Pesantren Asy`ariyah,
Kalibeber, Wonosobo), K.H. Yusuf Masyhar (alm) (pengasuh Madrasatul Qur’an, Pesantren Tebuireng,
Jombang), K.H. Abdurrahman Ambodalle (pengasuh Pesantren Darud Da`wah wal Irsyad, Bone, Sulawesi
Selatan), K.H. Abdullah Salam (pengasuh Pesantren Mathaliul Huda, Kajen, Pati), K.H. Mufizh Mas`ud
(pengasuh Pesantren Pandanaran, Kaliurang, Yogyakarta). Tentu saja, di setiap daerah dari yang disebut di
atas telah lahir kiai huffâzh yang melakukan kaderisasi melalui pesantren. Bahkan di pesantren Sedayu,
Gresik melakukan pengajaran tahfîzh Al-Qur’an ini khusus untuk anak-anak balita.
69 H.A. Muhaimin Zen, Tata Cara Problematika Menghafal Al-Qur’an dan Petunjuk-petunjuknya
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985).
23
Di tengah dinamika umat Islam Indonesia, tradisi tahfîzh Al-Qur’an ini pada
perkembangannya kemudian diperlombakan dalam Musabaqah Hifzhul Qur’an 70 dan
telah melahirkan tradisi sema`an, yaitu membaca Al-Qur’an dengan hafalan—biasanya
dilakukan oleh dua hingga lima orang hâfizh—dalam satu majelis yang didengarkan dan
disimak oleh banyak orang. Tradisi sima`an ini dilakukan, biasanya dalam rangka
kepentingan tertentu, misalnya, akan ada acara pernikahan, tasyakuran, khaul
(memperingati kematian seseorang), dan beberapa acara yang lain. Tradisi ini semakin
meluas dan merambah ke wilayah di luar pesantren, ketika K.H. Hamim Jazuli (Gus
Mik), 71 pengasuh Pesantren Ploso, Kediri, sekitar tahun 1990-an memopulerkannya
dengan mendirikan Majlis Istima`i Al-Qur’an.72
Dari prakarsa Gus Mik ini, tradisi sima`an menjadi populer dan go public, tidak
hanya menjadi suatu tradisi khas pesantren—yang mulanya digunakan untuk
memperlancar tahfîzh santri—tetapi juga telah menjadi semacam “ritus” baru73 di tengah
gersangnya kehidupan kota. Acara sima`an yang dipopulerkan Gus Mik ini, dalam
perkembangannya tidak hanya diikuti oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah,
tetapi juga kalangan elite, pengusaha, pejabat negara dan intelektual kampus. Bahkan
Kasultanan keraton Yogyakarta, dalam usianya ke 234, pada 17 Desember 1990
menyelenggarakan acara tasyakuran dalam bentuk sima`an, yang diprakarsai oleh Gus
70 Indonesia mempunyai prestasi yang baik dalam acara Musabaqah Hifzhul Qur’an. Sejak
diadakannya Musabaqah Hifzhul Qur’an tingkat internasional di Makkah, pada tahun 1980, prestasi
Indonesia cukup menggembirakan. Pada tahun 1980, Indonesia yang diwakili oleh Hafizh dari Pesantren
Kudus berada dalam urutan ke VI dalam kelompok sepuluh hafizh terbaik, dari peserta 57 negara dan 26
organisasi. Tahun 1981, dengan diwakili oleh Ulil Abshor, seorang hafizh dari Pondok Pesantren
Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang, Indonesia meraih juara II. Lihat, Dirjem Bimas Islam dan Urusan
Haji, Pedoman Pembinaan Tahfizhul Qur’an (Jakarta: Pusat Ditjen Islam dan Urusan Haji Departemen
Agama RI, 1984), hlm. 3.
71 Gus Mik dikenal sebagai kiai kharismatik sekaligus nyeleneh. Jama’ah atau santrinya meliputi
juga orang-orang jalanan serta kelompok masyarakat yang selama ini dianggap sebagai sampah
masyarakat. Dia juga terkenal sebagai kiai yang banyak dimintai orang untuk menamai anak-anaknya.
72 Pada mulanya, Majlis Istima`i Al-Qur’an ini oleh Gus Mik diberi nama Jantiko (Jama’ah Anti
koler), kemudian diubah menjadi jama’ah mantab (bahasa Arab: man tâba).
73 Kegiatan yang dikendalikan oleh Gus Mik ini dilakukan dalam waktu yang telah ditentukan dan
dengan daerah yang telah ditentukan pula. Untuk wilayah Malang diadakan pada setiap Sabtu Pahing,
Nganjuk, Blitar dan sekitarnya setiap Ahad Pon, Trenggalek setiap Jumat Pon, Surabaya, Gresik dan
sekitarnya setiap Ahad Kliwon, Pare setiap Rabu Pon, Bayuwangi setiap Ahad Wage, Ponorogo setiap
Rabu Paing, dan wilayah Yogyakarta dan sekitarnya pada Ahad Legi. Di luar dari koordinasi Gus Mik,
banyak acara sima`an lain yang diselenggarakan oleh berbagai pihak dengan beberapa kepentingan dan
tujuan.
24
Mik dan GBPH Joyokusumo, salah seorang kerabat keraton. Tradisi sima`an ini, dalam
lalu dilestarikan oleh anggota keluarga keraton Yogyakarta.74
G. Al-Qur’an sebagai bahasa Doa hingga Kekuatan Magis
Ayat-ayat Al-Qur’an dalam tradisi umat Islam juga digunakan sebagai medium
dalam berdoa. Model dan cara penggunaan ayat atau sûrah Al-Qur’an sebagai medium
berdoa ini sangat beragam. Memang ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang
keutamaan beberapa surah tertentu, misalnya keutamaan sûrah Al-Baqarah, sûrah Al-
Kahfi, sûrah Al-Fath, dan seterusnya, yang tidak terkait langsung dengan modus
pengobatan atau terapi penyakit yang menggunakan ayat atau sûrah Al-Qur’an. Imâm
Al-Bukhârî misalnya, memberikan bab tersendiri dalam kitab Shahîh-nya untuk uraian
tentang hadis keutamaan beberapa sûrah tertentu. 75
Selain dalam kitab hadis, beberapa ulama juga telah menulis kitab khusus
menguraikan masalah keutamaan (fadhîlah) sûrah atau ayat tertentu yang didasarkan
pada beberapa riwayat (ma’tsur). Misalnya, Muhammad Hafîy al-Nâzilî menulis
Khazînah al-Asrâr Jalîlah al-Adzkâr, Muhammad Jûrah Shuwwân menulis al-Iqtidâ’ fî
al-Dzikr wa al-Du`â’, dan Ridwân Muhammad Ridwân menulis, Al-Ma’tsurât al-Hizb
al-Yawmiy. Dari buku-buku tersebut kita temukan beberapa riwayat yang menguraikan
tentang keutamaan beberapa ayat atau pun sûrah tertentu dari Al-Qur’an. Misalnya, orang
yang membaca sepuluh ayat dari sûrah Al-Baqarah pada awal siang, setan tidak berani
mendekat hingga sore tiba;76 barangsiapa membaca sûrah al-Dukhân dalam suatu malam,
74 Lihat, Laporan Majalah Kiblat, No. 46, 28 Desember 1990-10 Januari 1991, hlm. 19-25. Untuk
soal pelestarian tradisi sima`an di keraton Yogyakarta, lihat laporan Majalah Panji Masyarakat, No. 691,
1-10 Agustus 1991.
75Lihat, Al-Bukhârî, Matn al-Bukhârî bi Hâsyiyah al-Sindî, III: 229-230. Dalam beberapa riwayat
juga dijelaskan bahwa Nabi sendiri dalam berbagai kesempatan terlihat mempunyai berbagai keajaiban
(mukjizat). Misalnya, suatu saat di hari Hudaibiyah orang-orang kehausan. Mereka lari menuju Nabi yang
sedang membawa ceret dan bermudlu darinya. Nabi kemudian meletakkan kedua tangannya di ceret itu dan
mengalirlah air dari sela-sela tangan Nabi, seperti mata air. Dengan air itulah para sahabat minum dan
berwudlu. Padahal jumlah mereka 500 orang. Kisah-kisah macam ini yang diriwayatkan dari beberapa
hadîts Bukhârî, Muslim, Al-Nasâ’î, Baihaqî dan Ibn Katsîr telah dihimpun oleh Walîd al-A`zhamî, dalam
Al-Mu`jizât al-Muhammadiyyah (Beirût: Dâr al-`Arabiyyah, 1970).
76 Lihat riwayat al-Dârimî, Baihâqî dalam Al-Sya`bi dari ibn Mas`ûd. Juga riwayat al-Thabranî
dalam Al-Kabîr dan al-Hâkim dari ibn Mas`ûd, sebagaimana dijelaskan kembali oleh Ridwan Muhammad
Ridwan, Al-Ma’tsurât al-Hizb al-Yawmiy (Jeddah: Muthabi` al-Fath, t.th), hlm. 8-9.
25
maka esok harinya dia dimintakan ampun kepada Allah oleh delapan puluh ribu
Malaikat.77
Memang, di dalam sejarah umat Islam, di luar dari berbagai bentuk
eksperimentasi ulama di atas, pemanfaatan ayat atau pun sûrah Al-Qur’an sebagai
medium berdoa dan sekaligus sebagai terapi penyembuhan penyakit telah terjadi sejak
zaman Nabi. Pernah suatu ketika, saat menjalankan salat Nabi disengat kalajengking.
Usai salat Nabi minta kepada para sahabat untuk mengambilkan bejana yang berisikan air
yang dicampur dengan garam. Lalu, beliau merendam jari yang tersengat itu ke dalam air
garam tersebut, seraya membaca sûrah Al-Ikhlâsh, Al-Falaq, dan Al-Nâs. Lalu,
sembuhlah tangan beliau dari bisa kalajengking.78
Dalam perkembangannya, pemanfaatan ayat atau sûrah Al-Qur’an oleh sebagian
umat Islam sebagai medium berdoa dan terapi pengobatan penyakit menjadi beragam,
dan banyak yang tidak lagi terpaku pada riwayat (ma’tsûr) dari Nabi dan sahabat. Di
sinilah kemudian terjadi proses eksperimentasi para ulama dalam rangka memanfaatkan
ayat atau sûrah Al-Qur’an sebagai medium doa dan terapi pengobatan berbagai penyakit.
Dalam beberapa kasus, lalu terjadi kreasi baru, di mana teks Al-Qur’an
ditampilkan tidak lagi terkait dengan makna bahasa yang ada dalam suatu ayat atau sûrah
tertentu, tetapi telah menyangkut pula mekanisme pengucapannya, berbagai hitungan
bacaan, waktu yang tertentu dan model penulisan yang tertentu pula. Muncul wifiq, yaitu
penulisan ayat Al-Qur’an dalam bentuk-bentuk khusus, ada ayat yang ditulis dalam
bentuk persegi empat, lingkaran dengan huruf terpotong-potong dan seterusnya.
Fenomena ini juga berkembang di masyarakat Muslim Indonesia, terutama di
kalangan pesantren. Banyak buku telah ditulis, dalam berbagai versi dan bahasa,
77 Riwayat al-Nasâ’î dan Tirmîdzî. Lihat, Muhammad Jûrah Shuwwân, al-Iqtidâ’ fî al-Dzikr wa
al-Du`â’ (Beirût: Maktabah `Ilmiyyah, 1981), hlm. 45.
78 Hadîts ini diriwayatkan oleh Sahabat `Abdullâh ibn Mas`ûd dalam kitab Musnad Abî Syaybah,
sebagaimana dikutip HS. Mansur Projodikoro dan Aba Firdaus al-Halwani, Pengobatan-pengobatan
Rasulullah, Kajian Kitab Tibbun-Nabawi (Yogyakarta: Sumbangsih, 1994), hlm. 118. Menurut dua penulis
buku ini, hadîts Nabi di atas menjelaskan tentang dua terapi pengobatan: alamiah dan ilahiah. Pengobatan
alamiah dilakukan Rasul dengan menggunakan larutan garam. Larutan garam ini berkhasiat untuk
menawarkan racun kalajengking. Sebab, konsentrasi garam tersebut mampu menyedot racun tersebut,
sekaligus menawarkannya. Dan karena sengatan kalajengking itu juga mengandung unsur api yang
membutuhkan pendinginan, maka digabungkanlah garam tersebut dengan air sebagai pendingin.
Sedangkan terapi ilahiah adalah membaca sûrah Al-Ikhlâsh, Al-Falaq, dan Al-Nâs, sebagai tindakan kuratif
dan prefentif.
26
mengacu pada beberapa kitab yang tulis oleh ulama Timur Tengah dan ada yang hanya
terjemah. Misalnya, buku Mujarrabat yang ditulis oleh `Abd al-Rahmân ibn `Abdul
`Azîz, telah diterjemah ke dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon.79 Abû `Abd al-
Hâmid Zakhwân Anwâr Ngemplak Pati, Jawa Tengah menulis al-Mujarrabât al-Kubrâ fî
Khawâsh Kalâm Rabb al-Warâ merujuk pada kitab Syams al-Ma`ârif karya Abû `Abbâs
Ahmad ibn `Alî al-Bûnî, Durr al-Nazhîm karya Abû Muhammad `Abdillah ibn As`ad al-
Yamanî, dan Fawâ’id karya Syihâb al-Dîn Ahmad ibn `Abd al-Lathîf al-Syarji al-
Yamanî.80
KH. Bisri Musthafa Rembang menulis Perimbon Imâm al-Dîn.81 Buku ini ditulis
dalam bahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon. Diorientasikan kepada para Modin
(penghulu agama) di kampung-kampung yang menghadapi persoalan keumatan secara
langsung. Materi yang diuraikan dalam buku ini meliputi berbagai soal: tentang
mengurus orang yang meninggal, salat mayit, talqin, membagi warisan, tentang
pernikahan dan khutbah nikah, serta beberapa hal yang berkaitan dengan suwuk dan
awrâd yang digunakan untuk mengatasi berbagai masalah di kampung.
Ada 8 suwuk atau awrad yang dipaparkan KH. Bisri Musthafa di buku ini, yaitu:
(1) suwuk untuk menyapih anak. Suwuk ini diperolehnya dari Ijazah Syeikh Khalil
Rembang, (2) Suwuk untuk menghentikan anak yang sedang rewel (munthah). Suwuk
ini diperolehnya dari Syeikh Khalil Rembang, (3) suwuk untuk orang yang disengat
kalajengking, atau sakit panas. Suwuk ini diperoleh dari ijazah KH. Ma`ruf Kediri, (4)
doa untuk kekuatan dalam berpidato. Ijazah doa ini diperolehnya dari KH. Khalil
Rembang, (5) wirid untuk menjauhkan diri dari penyakit. Ijazahnya diperoleh dari Kiai
79 `Abd al-Rahman ibn `Abdul `Azîz, Mujarrabat (Semarang: Toha Putra, t.th). Tidak jelas, pada
tahun berapa buku ini diterjemah, tetapi berdasarkan lacakan yang saya lakukan pada beberapa tokoh yang
mendalami masalah-masalah hizb ini, yaitu orang-orang generasi 1970-an telah menyimpan buku ini. Pada
akhir tahun 2001 ketika saya melakukan wawancara dengan salah seorang kiai di Pati, ternyata dia
menyimpan buku ini dalam kondisi yang sudah sangat lusuh, bahkan sampul depannya sudah tidak ada
lagi. Di lihat dari kondisinya, buku ini tampaknya memang sudah lama diterjemah.
80 Abû `Abd al-Hâmid Zakhwân Anwâr, al-Mujarrabât al-Kubrâ fî Dzikr Khawâsh Kalâm Rabb
al-Warâ (Semarang: Toha Putra, t.th), hlm. 2. Buku ini memuat lebih dari 140 hizb yang dikreasikan dari
ayat-ayat Al-Qur’an. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Ali Chasan Umar.
Lihat, M. Ali Chasan Umar, Mujarrobat Besar (Semarang: Toha Putra, t.th). Kitab lain yang setema yang
ditulis oleh Zahwan adalah Doa Jaljalut Soho Nutur Tarikatipun lan Khasiyatipun (Semarang: Toha Putra,
t.th). Buku ini ditulis dalam bahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon berisi tentang khasiat doa Jaljalut yang
ditulis dalam bentuk bait-bait.
81 KH. Bisri Musthafa Rembang, Perimbon Imâm al-Dîn (Kudus: Menara, t.th.).
27
Nawawi Kajen, (6) Wirid agar rezkinya lancar. Ijazahnya diperoleh dari Kiai Dimyati
Kedawung Jumal, (7) Wirid untuk yang lanjut usia agar tetap sehat dan kuat. Ijazahnya
dari Kiai Ma`ruf Kediri, dan (8) Wirid untuk orang yang sedang susah,82 dan soal-soal
yang lain.
K.H. Makhfûzh Sya`rani, Salaman Magelang menulis Silâh al-Mu’min, sebanyak
15 jilid,83 Kiai Musyaffa` `Alî menulis al-Khashâ’ish al-Kâfiyah sebanyak 10 jilid,84
K.H. Abû Muhammad Miftâh `Abdul Hannan Ma`shûm menulis Sullam al-Futuhât fî al-
Awrât al-Ad`iyyah wa al-Shalawât,85 K.H. `Alwy Shafwan Semarang menulis Al-A`mâl
al-Yawmiyyah,86 Ahmad Sakhâwî Amîn menulis, Perimbon Du`a Jawahi al-Ad`iyyah,87
dan Ahmad Mawardî menulis Yâsîn Sifâ’.88
Buku-buku yang disebutkan di atas, di samping ditulis dalam bahasa Jawa dengan
huruf Arab pegon, kebanyakan dicetak dalam format buku saku. Melihat format dan
bahasa yang dipakai, buku dengan beragam judul itu tampak lebih diarahkan untuk
kepentingan masyarakat pedesaan yang berbasis agraris.
Model-model hizb maupun awrad yang ditulis dalam buku-buku tersebut secara
keseluruhan ternyata tidaklah hasil eksperimen otentik dari penulisnya, tetapi diperoleh
melalui transmisi dari beberapa kiai yang telah memberi ijazah. Kiai Mahfudz Sya`rani
82 Ibid., hlm. 66-74.
83 K.H. Makhfûzh Sya`rânî, Silâh al-Mu’min (Magelang: Cahaya, 1971). Buku ini ditulis dalam 15
juz dengan formaat buku 10 cm x 14 cm dengan bahasa Jawa Arab Pegon yang menguraikan tentang
beberapa hizb dan mantra yang digunakan dalam berbagai kepentingan. Dalam juz-juz tersebut berisi
beraneka ragam doa dan manfaat ayat tertentu. Dalam juz 1, 2, 3, 8,11, 12,13, 14, 15 terdiri dari 25 faedah;
juz 10 terdiri dari 24 faedah, juz 4, 5, 6 terdiri dari 27 faedah, dan juz 6, 7 terdiri dari 28 faedah. Di antara
terapi penyembuhan dengan ayat Al-Qur’an di sini adalah untuk menyembuhkan anak nakal, sakit mata,
sakit perut, agar cepat dapat membayar hutang, menyembuhkan orang gila dan masalah-masalah yang lain.
84Kiai Musyaffa` `Alî, al-Khashâ’ish al-Kâfiyah (Magelang: Mukhtar ibn Sya`rani, 1992). Seperti
Silâh al-Muslim, buku ini terdiri dari 10 juz dan secara keseluruhan berisi 491 terapi dan masalah, ditulis
dalam bahasa Jawa dengan tulisan Arab pegon serta format 10 cm x 14 cm.
85K.H. Abû Muhammad Miftâh `Abdul Hannan Ma`shûm menulis Sullam al-Futûhât fî al-Awrât
al-Ad`iyyah wa al-Shalawât, (Kediri: Surya Pesantren Fath al-`Ulum, t.th.). Buku ini terdiri dari 5 Jilid.
Ditulis dengan huruf Arab Pegon berbahasa Jawa serta format 10 cm x 14 cm. Tidak seperti umumnya
buku, dalam buku ini tidak ada daftar isi.
86 K.H. `Alwi Shafwan, Al-A`mâl al-Yaumiyyah (Semarang: Al-Alawiyyah, 1990). Buku ini ditulis
dengan huruf Arab Pegon. Berisi beberapa hizb dan doa. Sebagiannya ada yang berkaitan dengan ayat-ayat
Al-Qur’an.
87 Ahman Sakhawi Amin, Perimbon Du`a Jawahi al-Ad`iyyah (Semarang: Munawwar, t.th). Buku
ini menggunakan format 15 cm x 21 cm. Ditulis dengan huruf Arab pegon dengan bahasa Jawa.
88 Ahmad Mâwardî, Yâsîn Sifâ’ (t.tp.: t.p., 1410 H). Buku ini menguraikan tentang keutamaan
surah Yasin serta manfaat-manfaatnya yang kajiannya dirujukkan pada riwayat-riwayat yang ma’tsûr dari
Nabi.
28
ketika menulis buku Silâh al-Mu’mîn, banyak awrad dan hizb yang diperoleh dari para
gurunya. Seperti yang ditulisnya di pendahuluan buku itu, ada sembilan guru yang telah
memberikan ijazah kaitannya dengan isi buku yang ditulisnya, yaitu: Syaikh Ma`shum
Magelang, Syaikh Dalhar Watucongol Magelang, Syaikh Fakhrurrazi Bulu Salaman,
Syaikh Muhajir Pare Kediri, Syaikh Khalil Kasingan Rembang, Syaikh Abdul Manaf
Lirboyo Kediri, Syaikh Fathullah Mangunsari Nganjuk, Syaikh Hasyim Asy`ari
Tebuireng Jombang, dan Syaikh Khalil Bangkalan Madura.89
Sekarang ini tidak sedikit buku-buku serupa yang ditulis dalam bahasa Indonesia
dengan huruf latin dalam format buku 15 cm x 21 cm. Misalnya, Ustadz Ahmad LMS
dan ustadz Munawar Elhsany BA. Menulis Perguruan Al-Hikmah Agung;90 Mahfudli
Sahli, Himpunan Ayat-ayat Al-Qur’an dan Khasiatnya,91 Labib Mz, menulis Primbon
Mujarobat Perisai Mukmin,92 Ahmad Qusyairi, menulis Mujarobat Lengkap,93 Labib Mz
dan Maftuh Ahnan, Saripati Mujarobat, 94 K. Agung Ismoyo, Primbon Mujarobat
Kubro,95 Drs. Warno Hamid, Penyembuhan Berbagai Penyakit,96 Ms. Mariyah, Rahasia
Mujarobat Lengkap, 97 M. Mudlofir Aulia, Rahasia Keampuhan Khasiat Surah Al-
Fatihah, 98 `Abdul Hâmid Zahwan, Fadlilah dan Khasiat Al-Mu`awwidatain, 99 M.
Mudlofir Aulia, Inti Kehebatan dan Keampuhan Surah Al-Ikhlash,100 Drs. KH. Edham
Syifa’i dan Rafiuddin bin Suparman, Khasiat Shalawat dan Ayat-ayat Al-Qur’an,101 H.
Mudlofir Aulia, Kemuliaan Basmallah dan Khasiatnya,102 dan saduran buku Syamsul
89 Lihat “Keterangan” dalam Mahfudz Sya`rani Punbuh, Silah al-Mu`min (Magelang: t.tp., t.th), I:
1.
90 Ustadz Ahmad LMS dan ustadz Munawar Elhsany BA., Perguruan Al-Hikmah Agung
(Pekalongan”: CV. Bahagia, 1987).
91 Mahfudli Sahli, Himpunan Ayat-ayat Al-Qur’an dan Khasiatnya (Semarang: Mujahidin, t.th).
92 Labib Mz, Primbon Mujarobat Perisai Mukmin (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, t.th.).
93 Ahmad Qusyairi, Mujarobat Lengkap (Jakarta: Bintang Terang, t.th.).
94 Labib Mz dan Maftuh Ahnan, Saripati Mujarobat (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, t.th.).
95 K. Agung Ismoyo, Primbon Mujarobat Kubro (Surabaya: CV. Anugerah, t.th.).
96 Drs. Warno Hamid, Penyembuhan Berbagai Penyakit (Surabaya: Arkola, t.th.).
97 Ms. Mariyah, Rahasia Mujarobat Lengkap (Surabaya: Mahkota, t.th.).
98 M. Mudlofir Aulia, Rahasia Keampuhan Khasiat Surah Al-Fatihah (Demak: Media Ilmu,
2001).
99 `Abdul Hâmid Zahwan, Fadlilah dan Khasiat Al-Mu`awwidatain (Demak: Kota Wali, 2001).
100 M. Mudlofir Aulia, Inti Kehebatan dan Keampuhan Surah Al-Ikhlash (Demak: Media Ilmu,
2001).
101 Drs. KH. Edham Syifa’i dan Rafiuddin bin Suparman, Khasiat Shalawat dan Ayat-ayat Al-
Qur’an (Jakarta: Pustaka Dwipar, 2001).
102 H. Mudlofir Aulia, Kemuliaan Basmallah dan Khasiatnya (Demak: Media Ilmu, 2001).
29
Ma`arif Kubra, oleh Achmad Sunarto, Perisai Mukmin dalam Kehidupan.103 Bahkan
Yasin Fadlilah dicetak dalam berbagai versi yang dilengkapi dengan beberapa dua dan
ayat-ayat tertentu.104
Selain buku-buku yang khusus berisi tentang hizb, wirid dan wifiq di atas,
penggunaan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai medium dalam berdoa juga dapat ditemukan
dalam beberapa teks-teks istighatsah yang disusun oleh para kiai di Indonesia. Misalnya,
dapat dilihat dalam istighâtsah al-Kubrâ yang disusun oleh Habîb Muhammad Luthfî
`Alî ibn Yahyâ.105
Bagi Muslim yang berpikir rasional, terapi yang memanfaatkan ayat-ayat maupun
surah tertentu dari Al-Qur’an yang dikreasikan dalam beberapa buku tersebut, bisa jadi
terasa aneh. Bagaimana penjelasannya, misalnya, mengenai model terapi dengan menulis
Basmalah dalam jumlah tertentu, lalu dilebur dengan air dan diminum dengan soal
kecerdasan otak. Pertanyaan ini mungkin saja karena ukuran pemahaman bagi rasio,
mengharuskan adanya prosedur-prosedur ilmiah yang rasional dan dapat dan telah diuji.
Itulah sebabnya, ayat-ayat Al-Qur’an yang di tempel di dinding rumah maupun di
beberapa tempat usaha, bisa jadi bukan sekadar sebagai ornamen, tetapi sebagai mantra
penangkal dari kekuatan jahat, atau sebagai pelarisan bagi usaha mereka. Itulah yang
terjadi. Banyak di antara umat Islam Indonesia yang mempercayai benar bahwa Al-
Qur’an mengandung daya magis lewat mekanisme hizb-hizb maupun awrad tersebut.
Di Indonesia, kepercayaan macam ini banyak berkembang di masyarakat yang
berkultur agraris yang menjadi basis pesantren.106 Budaya feodal yang berkembang di
masyarakat Jawa di satu sisi dan tradisi rasionalisme yang belum berkembang dengan
signifikan, posisi kiai menjadi demikian penting. Sosok kiai, dianggap tidak saja
103 Achmad Sunarto, Perisai Mukmin dalam Kehidupan (Surabaya: Mutiara Ilmu, t.th.).
104 Berdasarkan pelacakan yang saya lakukan, setidaknya ada tiga versi terbitan tentang yasin
fadlilah ini di samping beberapa cetakan yang dimasukkan dalam majmu` syarif, yaitu: Yasin Fadlilah
(Semarang: Pustaka Alawiyyah, t.th), di dalamnya dilengkapi dengan ayat tujuh, haikal, asma al-husna dan
beberapa doa yang lain; Yasin Fadlilah (Kudus: Menara, t.th), dilengkapi ayat tujuh dan shalawat nariyyah;
Yasin Fadlilah (Surabaya: Apollo-Cahaya Ilmu, t.th), dilengkapi dengan terjemah surah dalam bahasa
Indonesia, ayat tujuh, doa nisf sya`ban, dan asma al-husna; dan Terjemah Yasiin Fadhilah disusun oleh
Muhammad Bagir (Surabaya: Nur. t.th). Di dalamnya disertai tujuh ayat munjiyat dengan dilengkapi
terjemah bahasa Indonesia, dan edisi huruf Arab dan latin.
105Habîb Muhammad Luthfî `Alî ibn Yahyâ, Istighâtsah al-Kubrâ. Selebaran yang diedarkan oleh
Nahdlatul Ulama Cabang Pati, Muharrahm, 1415.
106 Beberapa fakta bisa kita saksikan dalam soal ini. Lihat penuturan KH. Saifuddin Zuhri dalam
Otobiografinya. KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 97.
30
mumpuni dalam soal-soal keagamaan, tetapi juga mempunyai kemampuan di bidangbidang
yang lain. Ujungnya, orang akan mendirikan rumah minta petunjuk pada kiai;
ketika hama tikus merajalela petani minta obat ke kiai; anak sakit perut pun, bapaknya
datang ke kiai. Praktis, kiai akhirnya tidak saja ditempatkan sebagai sosok yang pandai
dalam ilmu-ilmu agama, tetapi juga sebagai “dokter”, “ahli pertanian”, “arsitektur
bangunan” dan ahli-ahli yang lain.
Ini terjadi, karena mulanya ilmu pengetahuan ilmiah yang bersifat positivistik
belum berkembang di masyarakat agraris—di mana kiai berperan sebagai sosok rujukan
masyarakat. Dalam kondisi semacam itu, kiai dipaksa mampu mengatasi problemproblem
yang ada di masyarakat, tak terkecuali problem-problem yang terkait dengan
dunia kesehatan dan pertanian. Konsepsi bahwa Al-Qur’an mempunyai daya magis
kemudian menemukan posisinya dalam situasi macam itu, dan kiai sangat “berjasa”
dalam sosialisasi konsepsi itu.
Namun toh demikian, berbagai terapi kesehatan atau pun psikologis yang
menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an, hingga kini masih tetap menjadi alternatif yang
dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Abah Anom, di Pesantren Suryalaya,
misalnya, menggunakan terapi ayat-ayat Al-Qur’an dan berbagai aktivitas batiniah lain,
seperti dzikir, mandi tengah malam, dan salat malam untuk menyembuhkan korban
narkotika. Hal yang sama juga dilakukan oleh kiai Subakir di Pesantren Gebok, Kudus,
KH. Hambali di Pesantren Al-Frustasi di Lasem, Rembang dan beberapa kiai lain.107
H. Penutup
Beragam bentuk pergumulan Muslim Indonesia dengan Al-Qur’an di atas
memperlihatkan bahwa di luar tradisi exegesis, Al-Qur’an telah ditempatkan pada posisi
yang tidak terkait langsung dengan fungsi-fungsi fundamental dan teologis. Faktor-faktor
budaya, antropologi dan pikiran magis masyarakat telah menariknya dalam suatu medan
budaya yang sangat khas dan unik.
107 “Pesantren Al-Frustasi Memadukan Fikir dan Dzikir, Laporan Panji Masyarakat No. 846, 1-15
Januari 1996, hlm. 81-82. Kemudian dimuat ulang dalam Tetesan Embun Suluhan Santri, Kumpulan
Pencerahan Hati dari Desa Gayang Karangrejo Bonang Demak (Rembang: Pontren Al-Frustasi, 1997),
hlm. 18.
31
Sebagaimana tergambar di muka, visual ayat-ayat Al-Qur’an yang terwujud
dalam ragam karakter khathth Arab telah membangkitkan gairah seni yang luar biasa.
Bukan hanya menyangkut teknis dan karakter khathth Arab sebagai medan keindahan
seni tulis. Lebih dari itu, citra keindahan tersebut berkembang juga akibat ruang-ruang
spiritual subjek-subjek pelaku seni, sebagai momentum membangkitkan spiritualitas diri.
Dalam konteks ini, mengguratkan pena, menelusuri lekukan karakter beragam tulisan
Arab, merupakan kerja dinamik yang digerakkan oleh kekuatan ruhani.
Tata suara bacaan dalam melantunkan teks-teks Al-Qur’an juga telah melahirkan
berbagai ragam tata cara bacaan, yang semua itu terpatri sebagai dimensi estetik dalam
ruang seni tarik suara. Juga tradisi tahfidz dan pemosisian Al-Qur’an sebagai doa, hizib,
dan wirid, telah menjadikannya sebagai kitab suci yang multi fungsi.
Tanpa berniat mengecilkan kitab suci-kitab suci yang lain, dari analisis di atas
terlihat bahwa Al-Qur’an telah melejitkan apreasiasi umat Islam dalam ruang budaya
yang sangat luas dan penuh dengan kebebasan ekspresi seni, meskipun secara teologis,
Al-Qur’an diimani harus tetap dijaga, tulisan bacaan, dan susunannya.[]