Jumat, 20 Februari 2009

KRITIK MATAN ABU HANIFAH

KRITIK MATAN ABU HANIFAH
A.Pendahuluan
Sebagaimana yang telah umum diketahui hadis merupakan pelengkap al-Qur`an sebagai hukum dan ajaran Islam. Kaum muslimin senantiasa dapat memperoleh jawaban atas berbagai persoalan dari kedua sumber hokum dan ajaran keagamaan yang disebut dengan din al-Islam. Dalam hal ini, pentingnya hadis dapat dirasakan bila orang sungguh-sungguh memikirkan dan berusaha melengkapi dirinya, setiap golongan masyarakat maupun secara individu dengan berbagai petunjuk Nabi SAW yang terpilih (sahih)dalam seluruh gerak hidupnya.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, hadis Nabi Saw telah mengalami proses dinamisasi yang sangat beragam sehingga dengan demikiian ditemukannya berbagai istilah di dalam lapangan ilmu hadis sebagaimana yang telah banyak dikenal dewasa ini. Dengan demikian tidak semua hadis termasuk kedalam kategori terpilih (sahih). Berbagai pendapat pula yang muncul kepermukaan yang dikemukakan oleh para fuqaha baik dari kalangan ahli ilmu hadis maupun dari ahli ilmu fiqih sebagai tanggapan dan reaksi yang dimunculkan dengan berbagai argumentasi yang sangat variatif.
Sekilas Historis Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sdilahirkan pada tahun 80 Hijriyah yamg bertepatan dengan tahun 690 MM, di kota Kuffah1. Nama lengkapnya adalah Nu`man Ibn Śabit ibn Zauta ibn Mah. Kemudian termasyhur dengan gelar Imam Hanafi.
Adapun sebabnya demikian ada tiga pendapat:
Pertama, karena ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Hanafi maka ia diberi julkuan Abu Hanifah. Kedua, karena ia sejak kecil sangat tekun dan menghayatinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (cendrung) kepada agama. Itulah sebabnya dia termasyhur dengan nama Abu Hanifah. Ketiga, Menurut bahsa Persi, hanifah berarti tinta. Imam Abu Hanifah ini sangat rajin menulis hadits-hadits kemana ia pergi selalu membawa tinta, karena itu ia dinamakn Abu Hanifah yang berarti bapak tinta2.
Ayah beliau adalah keturunan dari bangsa Persi yakni Kabul Afganistan, tetapi sebelum dilahirkan ayah belaiu sudah pindah ke Kuffah. Dengan ini teranglah bahwa beliau bukanlah keturunan dari bangsa Arab asli, tetapiu dari bangsa `Ajam dan beliau dilahirkan ditengah-tengah keluarga bangsa Persi, pada masa Abu Hanifah dilahirkan, pemerintah Islam sedang dipegang kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (raja Umayyah kelima)3.
Sejak kecil imam Abu Hanifah suka kepada ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan hukum-hukum agama Islam, oleh karena beliau adalah seorang putra dari seorang saudagar besar di kota Kuffah, maka sudah barang tentu beliau sejak kecil selalu dalam kelapagan dan jarang menderita kekurangan, oleh karena itu waktu-waktunya digunakan semaksimal untuk menuntut ilmu. Para ahli meriwayatkan bahwa tujuh orang sahabat nabi Muhammad Saw yang pernah ditemui oleh Imam Abu Hanifah adalah Ibn Haris, Abdullah ibn Malik, Abdullah ibn Haris, Abdullah ibn Abi `Aufa, Wasilah, Anis dan Abu Tufai4.
Pada perkembangannya Abu Hanifah belajar ilmu qira`at, hadist, nahwu, sastra, syair, teologi, dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam tersebut, karena ketajaman pikirannya, ia sanggup menangkis serangan golongan Khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim. Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqh di Kuffah yang pada masa itu merupakan pusat ulama fiqih yang cendrung rasional5. Diantara guru-guru Abu Hanifah kebanyakan dari para ulma tabi`ain diantaranya adalah Ato` ibn Rabah, Nafi Maula ibn `Umar dll. Adapun ahli fiqh yang menjadi guru beliau yang termasyhur adalah Imam Hammad ibn Abi Sulaiman6.
Dari perjalanan hidupnya itu, Abu Hanifah sempat meyaksikan tragedi-tragedi besar di Kuffah. Di satu segi kota Kuffah memberi makna dalam kehidupannya sehingga menjadi salah seorang ulama besar dan Imam al-A`zim. Disisi lain ia merasakan kota Kuffah sebagai kota terror yang diwaranai dengan pertentangan politik oleh sebab itu pola pemikiran Abu Hanifah dalam menetapkan hukum sudah tentu sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan serta pendidikannya juga tidak lepas dari sumber hukum yang ada7.
B. Konsep Sunnah Abu Hanifah
Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang teradapat dalam al-Qur`an. Kekuatan sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: Pertama, dari segi kebenaran materinya kedua, dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekutan sunnah mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat: yaitu mutawatir, masyhur dan ahad.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meriwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qhat`I dalam arti diyakini kebenarannya bahwa sunnah itu benar-benar dari Nabi.
Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaimana kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara dharuri (tanpa memerlukan pembuktian atau nazhari (memerlukan pembuktian tentang kebenaran).
Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu diantaranya
Adapun khabar masyhur karena yang menerimanya dari Nabi secara perorangan, maka kebenarannya tidak menyakinkan. Namun karena khabar masyhur itu yang menerima dan menyampaikannya dari tingkat sahabat sampai seterusnya dalam jumlah yang mutawatir, maka kebenaranya dari sahabat cukup menyakinkan. Dengan demikian khabar masyhur mempunyai kekuatan yang qhat`I pada tingkat sahabat tetapi kekutannya dari nabi hanya bersifat zhanni. Sedangkan khabar masyhur menurut Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya menimbulkan ilmu yakin, meskipun keyakinan yang ditimbulkannya berada dibawah keyakinan yang ditimbulkan khabar mutawatir8. Hadits masyhur adalah hadits yang pada generasi awal (sahabat) bersifat ahad, kemudian tersebar pada generasi sesudah sahabat secara mutawatir. Seperti hadits:
1.بنى الاء سلام على خمس
2.انما الأعمال با لنيات
Hadits masyhur, sekalipun periwayatannya di zaman sahabat bersifat ahad namun pada generasi sesudah sahabat periwayatannya bersifat mutawatir . Oleh sebab itu, tingkat kekuatan hadits ini hanya bersifat zhanni. Menurut jumhur ulama ushul fiqih, hadits masyhur termasuk kedalam hadits ahad yang bersetatus zhanni dan bisa men-takhshis ayat-ayat yang umum serta men-tayid ayat-ayat yang mutlak. Akan tetapi menurut ulama Hanafiyah hadits ahad tidak bisa men-takhshis ayat-ayat al-Qur`an yang umum, sedangkan hadits masyhur bisa men-tkhshis al-Qur`an, bisa men-taqyid ayat-ayat yang mutlak, persis seperti hadits mutawatir9. Akan tetapi, dalam masalah hukum, para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan hadits sebagi ahad sebagai landasan hukum. Perbedaan ini muncul disebabkan status hadits ahad yang bersifat zhanni dari segi periwayatannya dan dari segi dalalat-nya (kandungannya), sekalipun tidak setiap hadits ahad itu zhanni al-dalalat.
Sedangkan khabar ahad –periwayatan perorangan-pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan yang menyakinkan. Namun bila didukung oleh hal-hal lain yang menguatkannya seperti pribadi yang menyampaikan berita itu adil dan kuat ingatannya maka kahbar itu mempunyai kekuatan10.

C.Kritik Sanad Abu Hanifah
Hadis ahad merupakan salah satu bentuk yang ada dari hasil proses dinamisasi tersebut diatas. Hadis ahad adalah hadis yang hanya diriwayatkan dari satu orang penyampai yang juga disebut dengan khabar wahid. Banyak hadis yang termasuk kategori ini.
Para ulama fuqaha berbeda pendapat dalam menerapkan persyaratan untuk menerima hadis ahad sebagai hujjah. Imam Abu Hanifah adalah seorang yang sering diidentikkan sebagai ulama Ahlu ar-Ra’yi, dikonotasikan banyak menggunakan rasio dibandingkan menggunakan hadis dalam menetapkan hukum, juga menerapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk diterimanya suatu hadis ahad.
Berkaitan dengan hadits ahad, apabila kita menelah pikiran Abu Hanifah maka kita akan menemukan bahwa beliau mengambil hadis Ahad pada sejumlah persoalan, tetapi beliau juga menolak untuk mengamalkan hadis ahad didalam sejumlah persoalan yang lain.
Diantara hadis yang disampaikan kepada imam abu hanifah yang kemudian ditolaknya adalah :
1.Abu hanifah menolak hadis yang dimaksudkan Nabi mengadakan undian terhadap istri-istrinya bila hendak bepergian. Alasan penolakannya karena undian termasuk ke dalam jenis perjudian.
2.Ia juga menolak sebuah hadis yang menyatakan bahwa penjual dan pembeli itu mempunyai hak khiyar sebelum berpisah, yang mana dalam fiqh dikenel dengan nama khiyar majlis.
3.Ibn Abi Syaibah dalam sebuah musanafnya meriwayatkan hadis bahwa Nabi merajam pria dan wanita yahudi karena telah melakukan perbuatan zina. Lalu disebutkan bahwa Abu Hanifah menolak hadist tersebuut karena tidak percaya bahwa rajam itu diberlakukan kepada mereka. Alasanya adalah, untuk dirajam ada dua syarat yaitu islam dan muhasanah /muhsanah.
Dari beberapa contoh ini dapat disimpulkan bahwa tidak sembarang hadits dapat diterima dan menyakinkan beliau sebgai berasal dari nabi. Oleh karena itu, ada dua standar umum yang sangat mendasar yang selalu menjadi acuan oleh abu Hanifah di dalam menerima suatu hadits. Kedua standar tersebut adalah pertama, dari segi sanad dan yang kedua, dari segikandungan hadits ahad ( matan). Adapun dari segi perawi hadits, Imam Abu Hanifah menentukan sejumlah syarat bagi perawi hadits sebagai berikut:
Pertama, berakal. Periwayatan anak kecil yang belum balig tidak bisa diterima karena akalnya belum sempurna, demikian pula periwayatan orang gila orang dungu dan sejenisnya11. Berakal juga berarti bahwa khabar yang diriwayatkan oleh seorang perawi merupakan suatu kalam yang tersusun yang yang mengandung makna yang dapat dipahami dan dpertanggungjawabkan12.
Kedua, cerdas. Kondisi ini berarti bahwa perawi memahami secara benar apa yang yang didengarnya. Kemudian ia mampu menghapal dan meriwayatkan kembali persis dengan apa yang ia dengar dan ia pahami, meskipun zaman telah lama berlalu, sejak pertama kali ia mendengar hingga meriwayatkannya kembali.13
Ketiga, adil. Maksud dari kondisi ini adalah bahwa perawi senantiasa bersikap lurus (istiqamah) di dalam berbagi keadaan, jujur di dalam periwayatan hadits dan tidak memiliki kecendrungan hawa nafsu yang mendorongya untuk berdusta. Keempat, muslim14
D. Kritik Matan Usul Hanafiah
Ulama Hanafiah dalam melakukan kritik matan hadis kelompok ini mengembangkan lima criteria kritik matan hadits:
Pertama, suatu hadits tidak bertentangan dengan teks al-Qur`an.
Rasulullah Saw sebagai pembawa risalah Ilahi berfungsi untuk menjelaskan kepada umat islam ajaran-ajaran yang diturunkan Allah melalui al-Qur`an Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Nahl: 44
        
kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka
Perintah dan ajaran agama yang dimuat dalam al-Qur`an tidak mudah diamalkan tanpa melihat kaifiyat melaksanakannya. Dengan demikian sunnah Rasulullah yang terdapat dalam hadits mempunyai posisi strategis di sisi al-Qur`an.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa disamping standarisasi dari segi perawi hadis, Imam Abu Hanifah dalam menerima hadis ahad juga mensyaratkan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dari segi isi kandungan hadis ahad tersebut (matan). Adapun syarat-syarat yang diterapkan oleh beliau terhadap hadits ahad dari dari segi matan adalah sebagai berikut:
1.Riwayat perawi tidak menyalahi parteknya, kalau berlawanan anatara praktek dan riwayat perawi, maka yang diambil adalah praktek.
2.Riwayat itu bukan mengenai soal-soal yang sudah diketahui secara umum.
3.Riwayat itu tidak menyalahi qiyas15.
Terhdap syarat-syarat hadits ahad yang diatas ini, Abdul Halim `Uways memberikan penjabaran yang komprehensif tentang kriteria yang ditentukan oleh Imam Abu Hanifah berkaitan dengan kandungan hadist ahad tersebut sebagai berikut:
Pertama, kandungan hadits ahad tidak menyalahi kandungan dari salah satu sumber hukum yakni al-Qur`an dan sunnah Nabi-berupa hadits-hadits yang mutawatir dan hadits-hadits yang masyhur-serta prinsip-prinsip penetapan hukum Islam yang telah disepakati, yang diambil dari seluruh nas yang ada. Dengan menerapkan standar ini Abu Hanifah menolak sejumlah hadits ahad yang justru dijadikan hujjah dan diamalkan oleh orang lain. Oleh karena itu, Abu Hanifah menolak hadits ahad tentang at-Tasriyat (mengikat payu dara hewan ternak betina sehingga susunya menumpuk dan peminatnya akan menganggap bahwa hewan itu banyak susunya). Dalam hadits diriwayatkan:
Rasulullah Saw melarang melakukan tsriyah kepada unta dan kambing, siapa yang membelinya (hewan seperti itu) berhak memilih antara menerima hewan itu apa adanya dengan mengembalikannya yang dibarengi dengan satu sha` (2,75 liter) kurma, setelah susu hewan itu ia keluarkan ( Al-Bukhari)
Ulama hanafiyah tidak memberlakukan hukum yang dikandung hadits ini, karena bertentangan dengan kaidah umum yang mengatakan setiap kerugian yang di diderita seseorang harus diganti sama atau senilai dengan kerugian tersebut. Hadits tersebut mengatakan bahwa susu yang telah diambil pembeli diganti dengan kurma. Ini bertentangan dengan kaidah umum tau qiyas karena kurma tidak sama dengan susu unta atau kambing16.
Kedua, sahabat yang meriwayatkan hadits ahad tersebut tidak mengamalkan ataupun mengeluarkan sejumlah fatwa yang bertentangan dengan kandungan hadits ahad yang diriwyatkan itu. Oleh karena itu Abu Hanifah tidak menerima dan mengamalkan hadis yang mengatakan sebagai berikut:
Wanita mana saja yang menikahkan dirinya sendiri, tanpa seizing walinya, maka nikahnya batal.(H.R. Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah).

Sebab perawi yang meriwayatkan hadis tersebut ini adalah Siti ‘Aisyah, padahal beliau sendiri tidak mengamalkan hadis itu pada saat menikahkan keponakan perempuannya, yakni putrid Abdurrahman, tanpa diriwayatkannya, menjadikan hadist itu cacat secara jelas. Imam Abu Hanifah juga tidak menerima hadist tentang pensucian bejana yang dijilat oleh anjing harus di basuh dengan tujuh kali dengan air dan salah satunya denga tanah. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
Apabila bejana seseorang dijilat, maka untuk mensucikannya dicuci tujuh kali dengan air dan salah satunya dengan tanah (H.R. Muslim)
Sebab Abu Hurairah sendiri berfatwa bahwa untuk mencuci bejana yang dijilat anjing hanya sebanyak tiga kali, sebagimana yang diriwayatkan al-Daruquthni. Oleh sebab itu ulama Hanfiyyah berpendapat bahwa mencuci bejana yang dijilat anjing itu cukup tiga kali, yang penting bersih.
Ketiga, perawi tidak mengingkari hadis ahad tersebut bahwa memang dia yang meriwayatkannya. Asy-Syarakhsi meriwayatkan bahwa Abu Hanifah, yang kemudian dibenarkan oleh Abu Yusuf, tidak mengamalkan hadits apabila perawinya mengingkari bahwa dialah yang mengamalkan hadis tersebut. Contoh dalam kasus ini adalah sulaiman bin Musa telah meriwayatkan suatu hadis dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari Siti `Aisyah, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ wanita mana saja yang dinikahi tanpa seizing walinya, maka nikahnya itu adalah batil.”
Selanjutnya diriwayatkan bahwa Ibn Jurayz pernah bertanya kepada az-Zuhri tentang hadis tersebut, az-Zuhri ternyata tidak mengetahuinya. Oleh karena itulah, Abu Hanifah tidak mengamalkan hadis tersebut karena pengingkaran oleh salah seorang perawinya, yakni az-Zuhri.
Keempat, Hadits itu tidak menyangkut kepentingan orang banyak dan dilakukan orang banyak secara berulang-ulang, karena menurut ulama Hanafiyah, hal-hal yang menyangkut orang banyak atau dalam kasus yang sering terjadi, tidak mungkin hadits itu disampaikan Rasulullah Saw kepada satu atau dua orang saja.
Berdasarkan prinsip ini, ulama Hanafiyyah tidak mengangkat tangan mereka dalam shalat ketika akan rku` dan ketika i`tidal (kembli dari ruku`). Sekalipun haditsnya ada, tetapi menurut mereka hadits itu bersifat ahad, yang kemungkinan besar adalah palsu karena kebutuhan orang banyak mengenai penjelasan cara shalat merupakan kebutuhan yang tidak meungkin diabaikan Rasulullah Saw, bahkan harus disampaikan kepada orang banyak.
Dari berbagai macam tingkat standarisai yang diterapkan oleh imam Abu Hanifah terdapat hadis ahad ini, maka dengan demikian hal ini mengisyartkan bahwa secara implicit pada dasrnya beliau juga menerima hadis ahad sebagai salah satu istinbat hukumnya dalam memecahkan berbagai persoalan terhadap berbagi masalah.17
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa Imam Abi Hanifah sangat selektif di dalam masalah penerimaan hadits ahad. Satu sisi ia hanya menerima beberapa hadits ahad yang membahas beberapa masalah, namun di sisi yang lain ia juga menolak beberapa hadits ahad dalam beberapa masalah yang lain pula. Penolakan ataupun penerimaan yang dilakukan oleh beliau teradap hadits ahad ini, sangat berkaitan dengan factor sesuai atau tidaknya hadits tersebut dengan qiyas yang merupkan salah satu metode Abu Hanifah dalam menetapkan status hukum terhadap sutu masalah.18
E. Kesimpulan
Disini dapat disimpulkan bahwa Abu Hanifah ketika melakukan kritik matan hadits mempunyai beberapa aturan yang digunakan dalam meneliti matan sebuah hadis, pertama, kandungan hadits ahad tidak menyalahi kandungan dari salah satu sumber hukum yakni al-Qur`an dan sunnah Nabi-berupa hadits-hadits yang mutawatir dan hadits-hadits yang masyhur . Kedua, sahabat yang meriwayatkan hadits ahad tersebut tidak mengamalkan ataupun mengeluarkan sejumlah fatwa yang bertentangan dengan kandungan hadits yang diriwayatkannya. Ketiga, perawi tidak mengingkari hadis ahad tersebut bahwa memang dia yang meriwayatkannya. Keempat, Hadits itu tidak menyangkut kepentingan orang banyak dan dilakukan orang banyak secara berulang-ulang.







DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Asy-Syarakhsy, Usul ash-syarakhsy,Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993

`Uways,Abdul Halim, Fiqih Statis Dinamis , Bandung: Pustaka Hidayah, 1998

Zahra,Muh. Abu, Abu Hanifah Hayatatu wa `Asruhu `ara`aha wa fiqhuhu, Mesir: Dar al-fikr al-Arabi, 1948

az-Zuhaili, Wahbah, Usul al-Fiqh al-Islam ,ttp: Dar al-Fikr, 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar