Sabtu, 29 September 2012

ETIKA DIALOG DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN

ETIKA DIALOG DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN 
Oleh : Supriyatmoko
 Pendahuluan Keragaman dan perbedaan merupakan salah satu ketentuan Tuhan (sunnatullâh) yang menjadikan kehidupan di dunia ini penuh dengan warna-warni. Perbedaan pandangan, keyakinan, sikap dan perilaku manusia merupakan sebuah keniscayaan seperti disinyalir dalam firman Allah yang maknanya berbunyi, "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat (QS. Hud : 118). Menarik dicermati, perselisihan dan perbedaan manusia dalam ayat tersebut diungkapkan dengan kata kerja (al-fi`l) al-mudhâri` (present tense) yang menunjukkan keberlangsungannya pada masa kini dan masa mendatang, yaitu "walâ yazâlûna mukhtalifîna". Artinya, Tuhan tidak berkehendak menciptakan manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka akan senantiasa dan terus selalu dalam perbedaan, dan memang untuk itu mereka diciptakan seperti dinyatakan pada ayat berikutnya (ayat 119) yang maknanya, "dan untuk itulah Allah menciptakan mereka". Pakar tafsir al-Razi memahami perbedaan dimaksud pada ayat di atas bersifat umum, meliputi perbedaan agama, perilaku, perbuatan, warna kulit, bahasa, rezeki dan lainnya. Keragaman menjadi lazim jika dilihat dari kenyataan adanya siklus kehidupan yang menuntut adanya interaksi dan kompetisi. Al-Qur`an mengistilahkannya dengan tadâwul (QS. Ali Imran/3 : 140) dan tadâfu` (QS. Al-Baqarah/2 : 251). Tadâwul yang berarti pergiliran/saling bergiliran atau siklus kehidupan terjadi karena adanya perbedaan dalam hal kesiapan dan kemampuan. Sedangkan tadâfu` menunjukkan adanya proses saling menolak atau mendorong dalam bentuk interaksi dan kompetisi. Kesinambungan kehidupan di bumi, seperti diisyaratkan dalam ayat tersebut, sangat ditentukan oleh proses tadâfu`, yang dapat dimaknai dengan pula dengan persinggungan dan akulturasi pemikiran, budaya dan peradaban yang beragam. Berangkat dari realita semacam ini perlu ada jembatan yang menghubungkan perbedaan dan keragaman tersebut untuk bersama-sama merumuskan dan membangun kehidupan di dunia yang harmonis. Keragaman akan menjadi indah bila dapat dikelola dengan baik dalam wadah kebersamaan. Fungsi manusia sebagai khalîfah Tuhan yang bertugas memakmurkan bumi menuntut adanya kebersamaan walau terdapat perbedaan. Kebersamaan itu dirumuskan dalam sebuah ungkapan Al-Qur`an seperti dalam QS. Al-Hujurât : 13, yaitu lita`ârafû (agar mereka saling mengenal). Dengan saling mengenal, manusia akan saling memahami dan menghormati perbedaan, dan selanjutnya bekerjasama mewujudkan kemaslahatan bersama. Salah satu cara untuk saling mengenal adalah dialog. Selain merupakan konsekuensi logis dari keragaman dan perbedaan, dialog juga merupakan bagian dari perintah agama agar saling mengenal dan bekerjasama dalam kebaikan (QS. Al-Hujurât : 13 dan Al-Ma`idah/5 : 2). Karena itu Islam memberikan perhatian besar terhadap dialog dengan meletakan kaidah dan etikanya. Tidak berlebihan jika dikatakan Islam adalah agama dialog. Tidak kurang dari 120 sikap dialogis ditunjukkan dalam Al-Qur`an dengan menggunakan sekitar 1000 ayat Al-Qur`an, atau sekitar 1/6 kandungannya. Kata qâla dengan segala bentuk derivasinya; qâlû, yaqûlu, qul, qûlû, yaqûlûna, dan lainnya yang menunjukkan bentuk-bentuk dialog disebut dalam Al-Qur`an tidak kurang dari 1700 kali. Obyek dan pelaku dialognya pun beragam. Antara lain; dialog antara para rasul dengan kaumnya, antara kekuatan baik dan jahat, atau intern kekuatan jahat dan baik; dialog dengan Ahlikitab, kaum munafik, pengikut fanatis tradisi buruk nenek moyang; dialog tentang wujud Allah dan keesaan-Nya, hari kebangkitan dan sebagainya. Satu hal yang menujukkan bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan realistis, serta mampu menyesuaikan diri di setiap ruang dan waktu. Keberadaan dialog dalam kehidupan semakin penting jika melihat perkembangan dunia modern yang diwarnai dengan berbagai pertikaian, permusuhan dan peperangan antar berbagai kelompok karena kepentingan-kepentingan tertentu. Karena itu perlu dibangun sikap saling memahami eksistensi masing-masing, meningkatkan kerja sama dan mendekatkan perbedaan yang ada, melalui dialog konstruktif. Berikut ini akan dibahas beberapa prinsip dan etika yang ditekankan oleh Al-Qur`an dalam berdialog. Namun sebelum itu akan diurai beberapa term dalam Al-Qur`an yang terkait dengan dialog. Term Dialog dalam Al-Qur`an Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dialog diartikan percakapan. Berdialog artinya bersoal jawab secara langsung; bercakap-cakap. Sedangkan dialogis artinya bersifat terbuka dan komunikatif. Padanan kata ini yang biasa digunakan dalam bahasa Arab yaitu al-hiwâr. Selain itu, terkait dengan dialog juga dikenal istilah al-jadal, al-mirâ, al-mahâjjah dan al-munâzharah yang pengertiannya lebih dekat kepada perdebatan. Dalam Kamus Besar, debat diartikan : pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Kata al-hiwâr, al-jadal, al-mirâ dan al-mahâjjah dengan segala derivasinya dapat ditemukan dalam Al-Qur`an, sedangkan al-munâzharah tidak disebut dalam Al-Qur`an dengan pengertian seperti di atas, tetapi sangat populer dalam tradisi keilmuan Islam sebagai bentuk adu argumentasi. Pengertian makna kata-kata tersebut dalam bahasa Arab dan bagaimana Al-Qur`an menggunakannya dapat dilihat dalam uraian berikut. 1. Al-Hiwâr Al-Hiwâr berasal dari akar kata yang terdiri dari huruf ha wa ra yang memiliki tiga makna dasar yaitu warna, kembali dan berputar. Bagian mata yang sangat putih dengan paduan bola mata yang sangat hitam disebut al-hawar. Wanita-wanita berkulit putih disebut al-hawâriyyât. Kata al-hawariyyûn disandangkan kepada para pengikut Nabi Isa karena, menurut salah satu pendapat, mereka selalu menggunakan pakaian berwarna putih. Makna kembali digunakan dalam QS. Al-Insyiqâq/84 : 14 ; innahu zhanna an lan yahûr (Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali kepada Tuhannya). Demikian pula doa Rasulullah yang berbunyi, na`ûdzu billâhi minal hawri ba`dal kawri, diartikan kami berlindung kepada Allah dari keadaan kembali (karunia) berkurang setelah sebelumnya bertambah. Dialog diungkapkan dengan kata hiwâr karena di dalamnya terdapat pembicaraan dan proses soal jawab secara bergantian dengan argumentasi masing-masing, dan tidak jarang kemudian salah seorang peserta dialog menarik pandangannya yang ternyata keliru untuk kembali kepada kebenaran yang terpampang secara benderang (putih) di hadapannya. Seseorang yang berdialog hendaknya bersikap kooperatif dan memiliki kesiapan untuk kembali kepada kebenaran bila ternyata pandangan yang dianutnya terbukti keliru. Hiwâr dengan pengertian seperti ini hanya disebut tiga kali, sedangkan kata yang terbentuk dari akar kata ha wa ra disebut sebanyak 13 kali. Yang bermakna dialog ditemukan dua kali dalam bentuk kata yuhâwiruhu, yaitu dalam QS. Al-Kahf/18 : 34 dan 37, dan satu kali dalam bentuk kata tahâwurakumâ seperti dalam QS. Al-Mujâdalah/58 : 1. Redaksi yuhâwir dan tahâwur dalam bahasa Arab mengesankan adanya keikutsertaan pihak lain (al-musyârakah), tetapi redaksi yuhâwir lebih mengesankan keunggulan pihak yang melakukannya, sedangkan redaksi tahâwur menunjukkan kesejajaran pihak-pihak yang terlibat. 2. Al-Jidâl Berasal dari akar kata yang terdiri dari huruf ja da la. Maknanya, menurut pakar bahasa Ibnu Faris, berkisar pada menguasai sesuatu dengan segala yang terurai darinya, memperpanjang permusuhan dan berdialog atau mendebat pembicaraan. Al-Jurjâni, seorang pakar yang menulis definisi berbagai istilah dalam tradisi keilmuan Islam, menjelaskan, "al-jadal/ aljidâl adalah penggunaan nalar dan analogi yang berasal dari beberapa ketetapan, yang bertujuan mengalahkan lawan bicara atau orang yang belum mengerti premis pembicaraan. Dengan kata lain, al-jadal adalah upaya seseorang untuk mematahkan dan mementahkan argumentasi lawan bicaranya, atau dengan tujuan meluruskan ungkapannya. Ada unsur permusuhan di dalamnya". Dalam sejarah keilmuan Islam, al-jadal menjadi disiplin ilmu tersendiri yang didefinisikan oleh al-Qanûji, dengan "ilmu yang membahas berbagai cara untuk menetapkan atau membatalkan sebuah sikap atau pandangan. Tujuannya adalah memperkuat kemampuan untuk meruntuhkan dan mematahkan argumentasi lawan bicara". Definisi tersebut menunjukkan, al-jadal berangkat dari prinsip-prinsip yang telah diyakini kebenarannya, dan dipegang teguh, tanpa ada keinginan untuk mundur darinya. Berbeda dengan dengan kata hiwâr yang mengesankan adanya keinginan untuk meninjau ulang kembali pandangan-pandangan yang sebelumnya dipegang. Al-Jadal biasanya dilakukan dalam hal perbedaan pemikiran dan keyakinan, sedangkan kata al-hiwâr cakupannya lebih luas dari itu yang meliputi berbagai aspek kehidupan. Dalam Al-Qur`an, kata al-jadal dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 29 kali. Mencermati ayat-ayat yang memuat kata al-jadal dapat disimpulkan bahawa kata ini digunakan untuk banyak hal di dunia dan akhirat (QS. Al-Nisa : 109); kadangkala dengan menggunakan kebenaran untuk mengalahkan kebatilan (QS. Al-Ankabut : 46), dan di lain kali menggunakan sarana kebatilan untuk menolak kebenaran (QS. Ghafir : 5); kadangkala menggunakan cara-cara yang terpuji (QS. Al-Nahl : 129), dan kadangkala menggunakan cara-cara kotor (QS. Al-Hajj/22 : 3). Dalam QS. Al-Kahf/18 : 54, disebutkan, bahwa salah satu watak atau tabiat dasar manusia adalah menyukai jadal (suka membantah). Menurut pakar tafsir Ibnu Asyur, setiap manusia berkecenderungan untuk meyakinkan orang yang berbeda dengannya bahwa keyakinan dan perbuatannya adalah yang paling benar. 3. Al-Mirâ Berasal dari akar kata yang terdiri dari huruf mim-ra-ya. Makna dasarnya menurut Ibnu Faris yaitu mengusap sesuatu dan memerasnya. Mârâ yumârî mirâ`an berarti membantah atau mendebat, sebab dengan cara itu ia memeras dan mengerahkan segala argumentasi yang dimilikinya. Atau karena mereka yang berdebat atau berbantahan saling berusaha mematahkan argumentasinya sehingga seakan saling memeras. Kata ini juga bisa bermakna ragu, karena masing-masing pihak berusaha membuat lawannya ragu terhadap keyakinan yang dianutnya. Kata yang terbentuk dari akar kata ini disebut dalam Al-Qur`an sebanyak 20 kali, antara lain dalam QS. Al-Kahf/18 : 22 yang berisi perintah untuk tidak berbantah-bantahan dalam hal bilangan pemuda yang menghuni gua, sebab itu persoalan ghaib, dan tidak mendatangkan manfaat. Dalam bahasa Indonesia, padanan untuk kata mirâ yang lebih tepat agaknya debat kusir, yang artinya debat yang tidak disertai dengan alasan yang masuk akal. Atau dapat juga dapat dikatakan sebagai sikap mengeyel, yaitu tidak mau mengalah dalam berbicara; ingin menang sendiri. Menurut pakar bahasa Arab, al-Fayyumi, kata mirâ lebih bersifat sanggahan atau bantahan, berbeda dengan jidâl yang dapat berupa sanggahan atas argumentasi lawan dan juga mendatangkan pandangan dengan argumentasi baru. 4. Al-Mahâjjah/ al-Muhâjajah Kata ini berasal dari kata hujjah yang berarti argumentasi/ alasan. Bentuk kata al-mahâjjah menunjukkan adanya keikutsertaan pihak lain, sehingga bermakna saling berargumentasi dalam rangka melemahkan lawan bicara. Tidak kurang dari 13 kali kata ini digunakan untuk makna membantah atau mendebat argumentasi, misalnya dalam QS. Al-Baqarah/2 : 258 yang mengisahkan orang yang mendebat Nabi Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan), yaitu Namrud. Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Selain empat istilah di atas yang digunakan Al-Qur`an untuk menunjukkan makna dialog dan yang sejenis dengannya, dalam tradisi keilmuan Islam juga dikenal ilmu al-munâzharah yang fungsinya sama dengan dialog atau debat. Sejarah mencatat berbagai bentuk munâzharah antara ulama Islam, atau antara Muslim dan non-Muslim, tentang sejumlah persoalan, dengan tujuan menunjukkan kebenaran. Ulama besar, Muhammad Amin al-Syanqithi mendefinisikan al-munâzharah dengan dialog atau perdebatan antara dua orang/ kelompok yang berbeda pandangan, di mana masing-masing pihak berusaha menguatkan pandangannya dan melemahkan pandangan lawannya, dengan satu keinginan agar kebenaran dapat diperoleh. Disiplin ilmu ini menjadi salah satu materi perkuliahan di program pascasarjana universitas Al-Azhar. Karena setiap pihak yang berdialog dan berdebat berusaha untuk memenangkan argumentasinya dengan berbagai cara, maka perlu ada ketentuan yang mengaturnya sehingga tujuan yang ingin dicapai agar kebenaran tampak dapat terwujud. Ketentuan ini juga diperlukan agar dialog atau perdebatan yang diharapkan dapat mempertemukan perbedaan, tidak berubah menjadi benturan dan permusuhan. Berikut ini akan diurai beberapa etika dialog yang sarikan dari Al-Qur`an dan pandangan para ulama. Etika Dialog Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dengan demikian yang dimaksud dengan etika dialog adalah sejumlah ketentuan moral tentang apa yang baik dan buruk untuk dilakukan dalam dialog. Pakar sosiologi Muslim kenamaan, Ibnu Khaldun dalam karyanya, Al-Muqaddimah, mengingatkan pentingnya meletakkan dasar-dasar dan kode etik dialog dan debat. Ia menulis, "mengingat kemungkinan suatu pandangan diterima atau ditolak dalam debat sangat besar sekali, dan masing-masing pihak yang berdebat mengerahkan segala argumentasi dan kekuatan yang dimilikinya untuk memenangkan perdebatan dan dialog, padahal ada di antaranya argumentasi yang keliru meski ada juga yang benar, maka para ulama merasa perlu meletakkan aturan dan etika yang harus dipatuhi oleh mereka yang berdialog dan berdebat. Aturan itu antara lain tentang bagaimana seharusnya sikap seseorang yang berdalil/ berargumentasi dan yang menjawab; kapan saatnya diam dan mempersilahkan lawan berbicara; kapan dia harus menyanggah, dan sebagainya. Pendek kata, diperlukan kode etik dalam berargumentasi yang dapat mempertahankan pendapat dan mematahkan pandangan lawan". Aturan dan etika itu juga diperlukan karena manusia pada dasarnya memiliki sifat dan kecenderungan untuk merasa bahwa yang diyakininya adalah yang paling benar. Allah berfirman : وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْءَانِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا(54) Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah (Al-Kahf/18 : 54). Suatu malam, saat orang tertidur lelap, Rasulullah mendatangi kediaman putrinya, Fatimah dan suaminya, Ali bin Abi Thalib. Rasulullah bertanya, "tidakkah kalian berdua melaksanakan salat?" Seketika Ali menjawab, "jiwa kami sedang berada di tangan Allah (ketika tidur). Kalau Dia mengirimkannya kembali kami akan bangun". Dalam sebuah riwayat, Ali mengucapkan itu sambil duduk mengusap-ngusap mata. Rasulullah tidak menanggapinya, dan sambil meninggalkan tempat dan seraya menepuk pahanya beliau bergumam dengan mengutip penggalan ayat di atas yang maknanya, "Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah". Apa yang dikatakan Sayyidina Ali itu benar, apalagi itu amalan sunah, tetapi dengan cara itu sebenarnya Rasulullah ingin mengajak mereka untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah melalui salat malam. Memang selalu saja ada alasan untuk berdalih. Kecenderungan ini bila tidak diatur dengan sebuah kode etik akan menjadi liar, sama persis dengan para pengguna jalan raya yang selalu ingin cepat sampai tujuan. Bila tidak diatur dengan rambu-rambu lalu lintas maka akan terjadi kekacauan. Berdasarkan pengamatan terhadap bentuk-bentuk dialog dalam Al-Qur`an dapat disimpulkan beberapa etika yang harus dipegang oleh mereka yang berdialog atau berdebat, antara lain : 1. Bersih niat dan bertujuan mencari kebenaran Ketulusan seseorang dalam berdialog atau berdebat sangat menentukan hasil yang akan dicapai. Maka sepatutnya ia menjauhi sifat pamer, merasa besar kepala (`ujub) dan mengejar popularitas sehingga menghalalkan segala cara. Menurut al-Ghazali, hendaknya ia seperti orang yang mencari ternak yang hilang. Dia tidak peduli siapa yang menemukannya kembali; apakah dia atau orang lain. Dia akan memandang orang lain sebagai partner/ teman dalam mencari ternak yang hilang, bukan sebagai pesaing atau musuh/ lawan. Dan manakala orang lain telah menemukannya ia pun mengucapkan terima kasih. Salah satu tanda ketulusan seseorang dalam mencari kebenaran, dia merasa senang bila orang lain berhasil menunjukkan kebenaran dengan argumentasi yang kuat. Imam Syafi`i berkata, "Setiap kali saya berdebat atau berdialog dengan orang lain, saya selalu berharap Allah menampakkan kebenaran melalui orang itu". Sikap tulus hanya karena Allah ditunjukkan oleh Nabi Syu`aib misalnya setelah ia berdebat dan berdialog dengan kaumnya seputar seruan untuk menyembah Allah dan agar mereka meninggalkan perilaku yang menyimpang. Ia menutup seruannya itu dengan mengatakan : قَالَ يَاقَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ(88) Syu`aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku daripada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali (Hud/11 : 88). Ibnu Asyur menjelaskan, kaum Nabi Syu`aib curiga kalau-kalau dengan ajakannya itu ia hanya ingin tampil beda, bahkan sekadar hanya untuk menyalahkan mereka, tanpa ada maksud baik lain. Penggalan akhir ayat di atas menghilangkan kecurigaan tersebut, sebab semua itu dilakukan Nabi Syu`aib semata-mata untuk perbaikan dan kebaikan mereka sendiri sesuai dengan yang digariskan Tuhan. Dari ayat ini dapat disimpulkan, mereka yang mengkritik atau mendebat suatu masalah dapat dikelompokkan dalam dua kategori; pertama : mengkritik sesuatu hanya sekadar mengkritik, tanpa menjelaskan apa yang seharusnya; kedua : mengkritik untuk menjelaskan kekeliruan suatu masalah, dengan disertai penjelasan yang meluruskannya. Ungkapan "wamâ urîdu an ukhâlifakum ilâ mâ anhâkum `anhu", selain dapat diartikan seperti di atas dapat juga juga dimaknai dengan, "Dan aku tidak berkehendak melalui larangan yang aku sampaikan itu untuk menyalahi kamu, atau karena aku senang berbeda dengan kamu". Dalam berdialog atau berdebat seseorang hendaknya bisa melepaskan diri dari berbagai kepentingan sesaat, sebab bila ada masud-maksud tertentu akan sulit menjaga obyektifitas. Keinginannya dapat mengalahkan kejernihan dalam berpikir, bahkan tidak jarang ada pra-konsepsi terlebih dahulu menyangkut hasil dialog yang akan terus dipertahankannya, sehingga bila berhasil mengalahkan lawan bicaranya ia akan senang, dan bila kalah dia akan berpaling. Demikian Ibnu al-Qayyim mengingatkan. 2. Memperhatikan dan mendengarkan lawan bicara dengan baik Dialog merupakan arena tukar pikiran, bukan sekadar mengirim pesan oleh satu pihak dan menerima pesan tersebut di pihak lain. Karena itu masing-masing pihak harus mau memperhatikan dan mendengarkan pandangan pihak lain. Tidak berlebihan jika dikatakan, dialog merupakan seni mendengarkan orang lain, bukan memonopoli pembicaraan. Jangan sampai terjadi seperti yang digambarkan dalam sebuah syair Arab : أقول له عمرا فيسمعه سعدا ويكتبه حمدا وينطقه زيدا Aku mengatakan kepadanya Amr, tapi yang didengar Sa`d. Dia menulis Hamd tapi yang diucapkan Zaid. Para nabi telah memberi contoh bagaimana bersikap di hadapan lawan bicara. Mereka memberikan kesempatan terlebih kepada lawan bicara untuk mengemukakan dalil dan dakwaan yang dimilikinya dan memperhatikannya. Ketika para ahli sihir berkata kepada Nabi Musa : قَالُوا يَامُوسَى إِمَّا أَنْ تُلْقِيَ وَإِمَّا أَنْ نَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَلْقَى(65) (Setelah mereka berkumpul) mereka berkata: "Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamikah orang yang mula-mula melemparkan?" Nabi Musa mempersilahkan mereka terlebih dahulu menyampaikan bukti-bukti yang dimilikinya dengan mengatakan : قَالَ بَلْ أَلْقُوا (Berkata Musa: "Silakan kamu sekalian melemparkan"). Dialog Nabi Muhammad shallallâhu `alayhi wasallam dengan Abu al-Walid (Utbah bin Rabi`ah) dalam sejarah Islam begitu populer. Yaitu ketika Utbah, yang mewakili tokoh-tokoh kafir Mekkah, menghadap Rasulullah dan menawarkan kepada beliau harta yang melimpah, kehormatan/ ketokohan dan kekuasan dengan harapan Nabi meninggalkan misi dakwah yang dilakukannya. Atau kalau ternyata dengan dakwahnya itu Nabi dalam keadaan kerasukan jin, mereka siap untuk mengobatinya. Saat pertama kali Utbah datang, dan berkata ingin memberikan beberapa tawaran, Rasulullah mempersilahkannya untuk berbicara terlebih dahulu. Qul yâ abal walîd asma` (katakan hai Abu al-Walid, saya akan mendengarkannya), demikian kata Rasulullah. Meskipun sesuatu yang ditawarkannya hanya seperti lelucon jika dibanding besarnya tanggungjawab dakwah yang diemban Rasulullah, beliau tetap mendengarkannya sampai selesai dan tidak memotongnya. Baru ketika telah selesai, Rasulullah berkata, "afaraghta yâ abal walîd?" (Sudah selesai hai Abu al-Walid?). Setelah diperkenankan, Rasulullah memulainya dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur`an dalam surah Fushshilat. Mendengar itu, Abu al-Walîd yang sebelumnya begitu percaya diri, berubah wajahnya dan terpengaruh dengan bacaan Nabi sampai rekan-rekannya menduga ia telah disihir. Benar apa yang yang disampaikan seorang pakar, "Mendengarkan orang lain dan memberikannya kesempatan sampai ia menyelesaikan pembicaraan, serta menanyakan hal-hal yang kurang jelas hendaknya mewarnai dialog-dialog kita. Jika ada yang keliru dalam ucapan lawan bicara, maka dengan tetap mendengarkannya, tanpa menyanggah atau memotong pembicaraanya sudah merupakan langkan awal untuk membuat orang itu kembali kepada kebenaran yang ingin kita sampaikan. Sekeras-keras orang dalam berbicara akan melunak dan terpengaruh dengan menghadapi lawan bicara yang sabar, lemah lembut dan memilih diam ketika dipancing emosinya. Penyair klasik Arab Muslim, Abu al-`Atâhiyyah menulis : إذا كنت عن أن تحسن الصمت عاجزا فأنت عن الإبلاغ فى القول أعجز يخوض أناس فى المقال ليوجزوا وللصمت عن بعض المقالات أوجز Artinya : Kalau Anda tidak mampu mendengar dengan baik, maka Anda lebih tidak mampu lagi untuk berkata dengan baik. Banyak orang berusaha menyingkat pembicaraan, tetapi mendiamkan sebagian pembicaraan itu lebih singkat lagi. 3. Bersikap adil, obyektif dan proporsional Salah satu konsekuensi dari sikap ini tidak menggeneralisir masalah dan memisahkan antara pemikiran dan pribadi orang yang mengemukakannya. Tujuan dari dialog adalah bertukar pikiran, bukan membunuh karakter orang. Perbedaan harus dipandang hanya sebatas pemikiran atau pandangan, tidak sampai pada kepribadian. Pemikiran yang baik harus dipuji, siapapun yang menyampaikannya, sebaliknya yang keliru harus diluruskan terlepas dari siapa penyampainya. Perhatikan ketika Al-Qur`an menjelaskan keadaan Ahlul kitab yang dinyatakan tidak semuanya ingkar dan memusuhi dakwah Rasul. Allah berfirman : لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ(113)يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ(114) Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh (Ali Imran/3 : 113-114). Kebencian kita kepada orang lain hendaknya tidak membuat kita tidak berlaku adil kepada mereka yang berbeda. Allah berfirman : وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (Al-Ma`idah/5 : 8). Prinsip obyektifitas dalam dialog ditunjukkan dalam QS. Saba/34 : 24. Allah berfirman : قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ(24) Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Dialog di atas sebelumnya dimulai dengan pertanyaan tentang siapa yang memberi rezeki di langit dan di bumi. Jawabannya pasti, yaitu Allah. Namun demikian, Al-Qur`an tidak memaksa mereka untuk langsung percaya, tetapi menggugah hati mereka dengan memposisikan diri sejajar dengan mereka, yaitu dengan mengatakan, "kami atau kamu (orang-orang musyrik), yang berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata". Kata atau tidak menunjukkan keraguan tentang siapa yang benar dan siapa yang sesat, tetapi semata-mata untuk memosisikan diri sejajar dengan lawan bicara, sehingga tidak terkesan memaksakan. Ungkapan ini sama dengan ucapan seseorang kepada lawan bicaranya, "salah seorang dari kita bohong", padahal dia tahu yang benar dirinya, dan lawan bicaranya bohong. Ini merupakan salah satu bentuk sikap obyektif dan proporsional. Dialog harus didasari atas pengakuan terhadap eksistensi orang lain, sebab bila lawan bicara telah dipersalahkan terlebih dahulu, akan sulit untuk dapat merebut hatinya yang telah terluka. 4. Berbekal ilmu dan argumentasi yang kuat Dialog yang konstruktif hanya dapat dilakukan oleh mereka yang menguasai materi dialog atau debat. Di banyak tempat Al-Qur`an mengingatkan agar tidak berdialog atau berdebat tanpa berbekal ilmu, sebab akan mudah tergelincir kepada jalan setan. Allah berfirman : وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ(3) Di antara manusia ada orang yang membantah/ mendebat tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat (Al-Hajj/22 : 3). Dalam setiap dialog, setiap pihak yang terlibat hendaknya mengajukan argumentasi dan bukti yang dimilikinya. Sikap emosional akan berdampak kontraproduktif dalam dialog. Perhatikan sikap Al-Qur`an dalam mengahadapi dakwaan Ahlulkitab bahwa merekalah yang paling layak masuk surga. Allah berfirman : وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(111) Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar" (Al-Baqarah/2 : 111). Sikap senada juga dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran/3 : 93 dan QS. Al-Naml : 64. Karena itu tidak diperkenankan melakukan dialog atau debat bagi mereka yang tidak menguasai masalah. Al-Qur`an mengingatkan : وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36) Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya (Al-Isra/17 : 36). Pentingnya ilmu untuk meyakinkan orang dalam dialog dinyatakan oleh Nabi Ibrahim ketika berdialog dengan sang ayah dalam rangka berdakwah. Allah berfirman : يَاأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا(43) Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus (Maryam/19 : 43). Dalam kaitan ini, ulama besar, Ibnu Taimiyah, mengatakan, "Kadangkala orang tidak boleh berdebat atau berdialog kalau tidak memiliki argumentasi yang kuat dan tidak menguasai masalah dengan baik. Dikhawatirkan mereka yang keliru atau sesat akan mengalahkannya". Jika salah satu pihak yang terlibat tidak menguasai masalah, maka itu pertanda dialog tidak akan produktif, dan justru akan melemahkan pihak yang menguasai masalah. Imam Syafi`i pernah mengeluh dan berkata, "Setiap kali aku berhadapan dengan lawan bicara yang pandai aku berhasil mengalahkannya, tapi kalau yang menghadapiku orang bodoh aku malah kalah". 5. Menggunakan retorika yang jelas dan singkat Dialog yang baik berlangsung dengan pembicaraan yang jelas, lugas dan tegas. Memperpanjang kalam yang tidak menentu arahnya akan membuat dialog kehilangan arah. Demikian pula bila terlalu singkat. Pentingnya retorika yang baik dalam menghadapi lawan bicara menjadi perhatian Nabi Musa ketika akan mendakwahi Fir`aun. Menyadari akan kekurangannya, Nabi Musa meminta kepada Allah agar dakwahnya diperkuat dengan sepupunya, Harun, dengan alasan Harun memiliki kefasihan dan kemampuan retorika yang lebih darinya (QS. Al-Qashash : 34). Nabi Musa juga berdoa agar dilapangkan dadanya, dimudahkan urusannya dan dilepaskan kekakuan dari lidahnya (QS. Thaha/20 : 27), sehingga ia dapat berkata dengan jelas. Menggunakan bahasa atau istilah yang tidak jelas dan tidak tepat akan mengecohkan lawan bicara sehingga sasaran dialog tidak tercapai. Al-Qur`an mengecam keras sikap sebagian kalangan Yahudi yang bermain kata-kata untuk membenarkan sikap keliru mereka yang menyelewengkan beberapa petunjuk kitab suci dan tidak mau mengikuti seruan Nabi. Allah berfirman : مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا(46) Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa`ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis (al-Nisâ/4 : 46). Para ulama Al-Azhar penyusun Tafsir al-Muntakhab menjelaskan ayat di atas dengan berkata, "Di antara orang-orang Yahudi ada sekelompok orang yang cenderung mengubah-ubah perkataan dari makna sebenarnya. Mereka berkata kepada Nabi mengenai diri mereka, “Kami mendengar ucapan dan kami melanggar perintah.” Mereka juga berkata, “Dengarlah ucapan kami,” dengan mengarahkan pembicaraan kepadamu. Mereka mengatakan pula, “Isma‘ ghayra musma‘” (dengarlah, semoga kamu tidak mendengar apa-apa). Ungkapan ini dibuat begitu rupa sehingga seolah-olah mereka mengharapkan kebaikan kepada Nabi Muhammad saw. Padahal, sebenarnya, keburukanlah yang mereka harapkan menimpa Nabi. Mereka pun mengucapkan “Râ‘inâ” (sudilah kiranya kamu memperhatikan kami) dengan cara memutar-mutar lidah. Mereka, dengan cara seperti itu, menginginkan orang lain menganggap maksudnya “undzur-nâ” (“sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”) karena dengan memutar-mutar lidah ketika menyebut “râ‘inâ”, seolah-olah mereka memang meminta agar diperhatikan. Padahal, sebenarnya, mereka tengah mencela agama dengan mencela Nabi saw., pembawa risalah, sebagai orang yang bodoh. (“Ru‘ûnah”: bentuk nomina abstrak [mash-dar] dari verba [fi‘l] ra‘ana yang berarti ‘kebodohan’). Jika saja mereka mau bersikap jujur dengan mengatakan “Sami‘nâ wa atha‘nâ” (kami dengar dan kami taati) sebagai pengganti tambahan “Sami‘nâ wa ‘ashaynâ” (kami dengar dan kami langgar), dan mengatakan “Isma‘” tanpa tambahan “ghayr musma‘”, serta mengganti ucapan “Râ‘inâ” dengan “unzhurnâ”, tentulah itu lebih baik dan lebih bijaksana bagi mereka. Akan tetapi begitulah kenyataannya, Allah menjauhkan mereka dari rahmat-Nya disebabkan oleh kemungkaran yang mereka lakukan. Dan kamu tidak mendapatkan mereka itu sebagai orang-orang yang memenuhi ajakanmu untuk beriman, kecuali sedikit saja". 6. Memilih kata-kata yang baik, lemah lembut dan tidak keras kepala Kata yang baik dan diucapkan dengan penuh lemah lembut akan membuat suasana dialog berlangsung tenang dan khidmat, jauh dari luapan emosi seperti halnya jika digunakan kata-kata keras dan kotor yang menyinggung perasaan. Dalam QS. Ibrahim/14 : 24-26 Allah membuat permisalan kalimat yang baik dan kalimat yang buruk. Dia memisalkan kalimat yang baik bagaikan pohon yang banyak manfaatnya. Pangkalnya tertanam kokoh dengan akar-akarnya di dalam tanah, sedang pucuk-pucuknya menjulang tinggi ke angkasa. Dengan kehendak penciptanya, pohon itu selalu berbuah pada waktu-waktu tertentu. Demikian juga kalimat tauhid: tertanam kokoh dalam hati orang mukmin, dan amalannya naik menuju Allah. Dia selalu mendapatkan berkah dan balasannya pada setiap waktu. Demikianlah, Allah telah menerangkan permisalan kepada manusia dengan mendekatkan makna-makna abstrak melalui benda-benda inderawi, agar mereka dapat mengambil pelajaran lalu beriman. Sedangkan kalimat yang buruk, adalah bagaikan pohon yang buruk pula. Pohon itu tercabut dari akarnya dan roboh di atas tanah karena tidak tertancap dengan kokoh. Dan begitulah kalimat yang jelek, mudah disanggah, karena tidak kuat dan tidak didukung oleh alasan yang kuat. Sikap lemah lembut dalam menyampaikan kata-kata juga merupakan pesan Allah kepada Nabi Musa ketika akan menghadap Fir`aun. Allah berfriman : اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى(44) Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (Thâha : 43-44). Yang dimaksud dengan kata-kata yang lemah lembut adalah ucapan yang menunjukkan dan menumbuhkan rasa keinginan untuk mengikuti, misalnya dengan mengatakan kepada lawan bicara bahwa dia memiliki kecerdasan untuk dapat menerima kebenaran dan membedaknanya dari kebatilan, serta menghindari kata-kata yang merendahkan atau menghinakan. Perintah Allah di atas diikuti oleh Mabi Musa, misalnya ketika ia berkata, "Adakah engkau berkeinginan untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Kami akan menunjukkan kepadamu jalan untuk mengetahui Tuhan, sehingga engkau akan takut pada-Nya" (QS. Al-Nâzi`ât/79 : 18-19). Demikian pula Nabi Muhammad diperintah oleh Allah untuk berlemah lembut dalam menghadapi kawan dan lawan. Allah berfriman : فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ(159) Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Ali Imran/3 : 159). Secara umum, perkataan yang baik dan lemah lembut mempunyai pengaruh dalam jiwa, bukan hanya bagi lawan bicara tetapi juga bagi yang berbicara. Ketika menafsirkan penggalan ayat dalam QS. Al-Baqarah/2 : 83, yang berbunyi, "waqûlû linnâsi husnâ", pakar tafsir al-Qurthubi menulis, "manusia hendaknya berlemah lembut dalam bicara, wajahnya ceria, baik kepada kawan maupun lawan, bukan sekadar basa-basi. Tentu tidak ada yang lebih utama dari Musa dan Harun, dan tidak ada yang lebih buruk dari Fair`aun, namun demikian Allah tetap menyuruh Musa dan Harun untuk menghadapi Fir`aun dengan lemah lembut". Bahkan Al-Qur`an tidak hanya menyuruh pengikutnya untuk menggunakan cara-cara yang baik, tetapi yang paling baik. Dialog atau debat yang dilakukan terhadap Ahli kitab, demikian pula dalam menyampaikan dakwah secara umum, hendaknya menggunakan cara-cara yang terbaik (billatî hiya ahsan). Perhatikan firman Allah dalam QS. Al-Nahl/ 16 : 125, Qs. Al-Isra/ : 53 dan QS Al-Ankabut/29 : 46. Ungkapan billatî hiya ahsan seperti dijelaskan pakar tafsir al-Baydhawi, adalah yang paling lembut, yaitu menghadapi kekerasan hati dengan sikap lemah lembut, menghadapi marah dengan cara menahannya, dan menghadapi kegusaran dengan ketenangan. Hendaknya anda juga mengajak orang ke jalan Allah dengan lemah lembut, dan menjelaskan argumentasi kebenaran ajaran agama tanpa paksaan atau niat mengungulinya. Dalam menolak suatu pandangan, Al-Qur`an mengajarkan untuk menggunakan kata-kata yang bernada empati, sebagai ungkapan kelemahlembutan. Perhatikan QS. Al-Zukhruf/ 42 : 81. قُلْ إِنْ كَانَ لِلرَّحْمَنِ وَلَدٌ فَأَنَا أَوَّلُ الْعَابِدِينَ(81) Katakanlah, jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu). Tuhan mempunyai anak tentu suatu hal yang mustahil. Ungkapan ini sama halnya ketika kita berkata kepada lawan bicara, "kalau apa yang anda katakan itu benar, maka akau yang akan pertama kali meyakininya". Ungkapan seperti ini biasanya digunakan untuk menyatakan hal itu tentu sulit diterima. 7. Berangkat dari common platform (titik persamaan) Meski berbeda pandangan dan keyakinan manusia memiliki beberapa persamaan yang harus dijunjung tinggi. Selama itu menjadi kesepakatan bersama, maka kesiapan hati untuk menerimanya sangatlah besar. QS. Ali Imran/3 : 64 mengajak Ahli Kitab untuk berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak diperselisihan (kalimatin sawâ`in), yaitu tidak menyembah kecuali Allah dan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak menjadikan sesuatu apapun sebagai tuhan selain Allah. Dalam proses dialog patut dicermati apa yang dikemukakan tokoh reformis di awal abad modern, M. Rasyid Ridha, yaitu : dalam berdialog pihak-pihak yang berbeda hendaknya mampu bekerjasama untuk mewujudkan hal-hal yang disepakati, dan dapat mentolerir perbedaan yang ada. Dalam dialog antar-agama, banyak hal yang disepakati oleh agama-agama antara lain yang terkait dengan nilai-nilai spiritual dan moral. Misalnya, dalam Perjanjian Lama terdapat 10 wasiat Tuhan kepada manusia, yaitu : 1) Akulah Tuhan, Allahmu, jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku; 2) Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya; 3) Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan; 4) Tetaplah ingat dan kuduskanlah hari sabat, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN. (Dalam agama Kristen hari suci itu adalah minggu, dan di kalangan umat Islam hari itu adalah jumat. Hari-hari itu ditetapkan oleh Tuhan sebagai saat istimewa untuk beribadah); 5) Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan Tuhan; 6) Jangan membunuh; 7) Jangan berzinah; 8) Jangan mencuri; 9) Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu, dan; 10) Jangan mengingini isteri sesamamu dan jangan menghasratkan rumahnya, atau ladangnya atau apa pun yang dipunyai sesamamu. Melihat kandungannya, pesan-pesan tersebut berisikan hak-hak Tuhan dan manusia yang harus dipenuhi agar terwujud kedamaian dan kebahagiaan abadi. Pesan-pesan serupa dengan di atas ditemukan juga dalam Perjanjian Baru yang menjadi pegangan umat Kristen dengan tambahan penjelasan seperti pada Injil Matius : 5. Demikian juga dalam Alquran dan hadis pesan-pesan itu ditetapkan sebagai nilai-nilai moral dan spiritual yang harus dijunjung tinggi dan dikembangkan dalam kehidupan. Perhatikan pesan-pesan Allah dalam QS. Al-An`am : 151-152 dan lainnya. Selain itu, semua agama sepakat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih sayang, dan kedamaian. Dalam kerangka dialog intern umat beragama, meski berbeda pemahaman paling tidak ada tiga hal yang menyatukan umat Islam, yaitu ; 1) kesepakatan untuk mengimani pokok-pokok akidah seperti iman kepada Allah, Rasul, malaikat dan seterusnya; 2) kesepakatan untuk mempercayai Al-Qur`an, dan ; 3) kesepakatan untuk berkomitmen melaksanakan rukun-rukun Islam. Dialog apa pun di kalangan umat Islam harus di bangun dalam kerangka tiga kesepakatan di atas. 8. Menghormati lawan bicara dan tidak merendahkannya Memulai dialog dengan penghinaan dan sikap merendahkan akan berdampak menimbulkan serangan balik dari pihak lain, sehingga dialog tidak akan kondusif dan produktif. Maka perlu ada ketenangan dan keseimbangan dalam dialog dalam situasi apa pun. Walaupun lawan bicara menggunakan cara-cara itu, pendialog yang baik tetap tidak boleh terpancing. Terkait larangan merendahkan pandangan orang lain, sampai pun itu nyata-nyata keliru, Allah berfirman : وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(108) Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan (Al-An`am/6 : 108). Dalam ayat lain Allah berfirman : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(11) Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al-Hujurat/49 : 11). Berdasarkan ayat-ayat di atas, para ulama penyusun kode etik dialog dan debat menekankan agar tidak memandang rendah lawan. Imam Juwaini menulis, "Seseorang hendaknya tidak memandang rendah lawan bicara karena kesalahan dalam pandangan atau argumentasi, sebab boleh jadi dia benar dalam hal lain. Menghinakan atau memandang remeh lawan bicara sama halnya dengan memandang remeh api kecil, yang jika dibiarkan akan merembet dan menimbulkan kobaran besar yang dapat membumihanguskan semua yang ada". Ulama lain, Fakhruddin al-Razi mengatakan, "Seseorang hendaknya tidak memandang rendah pihak lain, supaya orang itu tidak mengucapkan kata-kata hina pula, sehingga pada akhirnya ia dapat mengalahkannya". 9. Menghindari fanatisme berlebihan Sikap fanatik telah ada sejak dahulu di setiap masyarakat. Dalam dialog, sikap ini timbul karena melihat kebenaran hanya ada pada dirinya. Salah satu bentuk fantisme yang dikecam oleh Al-Qur`an adalah sikap taklid (mengikuti secara buta) tradisi nenek moyang, dan tidak mau menalarnya. Dalam QS. Al-Baqarah/2 : 170 Allah berfriman yang artinya : "Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". Ulama besar, al-Ghazali, menilai sikap fanatik sebagai salah satu penyakit yang banyak diderita para ulama yang disebutnya sebagai ulamâ al-sû`. Tidak jarang mereka memandang orang lain yang berbeda dengan pandangan yang merendahkan, sehingga menimbulkan serangan balik untuk memenangkan kebatilan. Sikap ini sekilas seperti ingin memperjuangkan Islam dan membela umat Islam, tetapi jika diteliti sebenarnya justru merusak. Demikian al-Ghazali. Salah satu cara menghilangkan fanatisme berlebihan adalah dengan melatih diri untuk bersiap menerima keragaman yang merupakan sunnatullah. Sikap merasa paling benar dan yang lain salah mengganggu keberlangsungan dialog, dan dalam banyak hal tidak realistis. Kebenaran bukan monopoli sekolompok orang. QS. Saba` : 24 menunjukkan adanya asas netralitas yang dijunjung tinggi oleh Al-Qur`an dalam dialog. Di situ tidak ada keraguan dalam hal siapa yang benar dan yang sesat, tetapi asas netralitas dalam dialog menuntut agar keduanya didudukkan dalam posisi yang sama, agar mereka yang terlibat dalam dialog dapat berpikir dan memilih apa yang benar dengan penuh kesadaran, bukan paksaan. 10. Menghindari sikap ngeyel (tidak mau mengalah dan ingin menang sendiri) Dialog sejatinya dapat menghilangkan sifat merasa lebih dari orang lain, dan ini bisa dicapai dengan cara berendah hati untuk menerima kebenaran. Karena itu sikap mengeyel hanya akan berujung pada debat kusir yang tidak bermanfaat dan hanya membuang waktu. Itulah yang disebut dengan al-mirâ seperti disebut dalam QS. Al-Kahf/18 : 22. Dalam sebuah hadis, mereka yang meninggalkan sikap mirâ meskipun ia benar dijanjikan oleh Rasulullah tempat di surga. Demikian pula yang meninggalkan dusta walau sekadar bercanda dan orang yang selalu berhias diri. Sikap ngeyel menutup pintu dialog, sebab mendorong kedua pihak yang terlibat dalam dialog untuk berpikiran salah, yaitu dialog yang mereka lakukan adalah sebuah pertandingan yang hasilnya kalah atau menang. Masing-masing tidak mencari kebenaran atau argumentasi, tetapi segala upaya dilakukan untuk menggiring lawannya ke dalam perdebatan panjang yang tidak berujung dan hanya menghabiskan waktu tanpa hasil yang kongkrit. Sikap ini juga bertolak belakang dengan perintah untuk senanatiasa melakukan dialog atau debat dengan cara-cara yang terbaik (QS. Al-Nahl : 125). Keyakinan akan kebenaran pandangan yang dimilikinya tidak sepatutnya ditunjukkan melalui cara-cara yang tidak terpuji. Penutup Demikian beberapa kode etik yang dapat disimpulkan dari gambaran sikap dialogis Al-Qur`an. Bukan hanya untuk kalangan internal umat Islam, tetapi juga dalam dialog dengan pihak lain yang berseberangan pandangan atau keyakinan. Dialog merupakan sarana yang sangat efektif dan konstruktif dalam membina masyarakat bila dilakukan sesuai etika yang digariskan Al-Qur`an. Tetapi sebaliknya ia hanya akan membuang-buang waktu dan memperuncing masalah bila dilakukan tanpa aturan yang jelas. Wallahua`lam. Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut : Dâr Ihyâ al-Turâts al-`Arabiy, cet : 3), 18/76 Sa`d Ali al-Syahrani, Al-Hiwâr fî al-Qur`ân wa al-Sunnah wa Ahdâfuhu Lihat : Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm Abbas al-Jarari, al-Hiwâr min Manzhûr Islâmiy (Rabat : ISESCO, tahun 1420 H/2000), h. 57 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Jakarta : Balai Pustaka, Cet. III, 2005), h. 261 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 242 Ibnu Faris, Mu`jam Maqâyîs fî al-Lughah, he. 2/94 Maqâyîs fî al-lughah, he 1/387 Ali M. Syarif al-Jurjani, Al-Ta`rîfât (Beirut : Dâr al-Nafâ`is, Cet. 1, 1424 H/2003 M), h. 137 Shiddiq bin Hasan Khan, Abjad al-`Ulûm (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, Cet. 1, 1320 H/ 1999 M), h. 176-177 As`ad al-Sahmirani, Al-Islâm wa al-Âkhar, (Beirut : Dâr al-Nafâ`is, Cet. 1, 2005 M), h. 17-18 Al-Sayyid Muhammad Husein Fadhlullah, Al-Hiwâr fî al-Qur`ân, (Beirut : Dâr al-Ta`âruf, Cet. 5, 1407 H/ 1987 M), h. 15 Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, he. 8/392 Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, 8/155 Muhammad Ali al-Najjar, Mu`jam Alfâzh al-Qur`an al-Karîm, (Kairo : Majma` al-Lughah al-Arabiyyah, 1996), 6/27 Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 8/356 Kamus Besar bahasa Indonesia, h. 242 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 311 Al-Fayyoumi, Al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr, he. 8/449 Muhammad Amin al-Syanqithi, Âdâb al-Bahts wal Munâzharah (Kairo : Maktabah Ibn Taymiyah, tth), h. 3 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 309 Abdurrahman Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah (Beirut : Dâr al-Qalam, tth), h. 362 Shahîh al-Bukhari, tahrîdh al-nabiyy `alâ shalâtillayli, no 1059, Ibnu Hajar, Fathul Bâri, he. 4/106 Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ `Ulûm al-Dîn, (Beirut : Dâr al-Ma`rifah, tth), 1/57 Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, he. 7/185 I`lâm al-Muwaqqi`în, 1/87 Ibnu Hisyam, al-Sîrah al-Nabawiyyah, 1/292 Deil Karneigi, Kayfa Taksib al-Ashdiqâ wa tu`atstsiru fî al-Nâs (Beirut : Al-Maktabah al-Hadîtsah, Cet 1, 1988), h. 92 Al-Qurthubi, Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân, 14/298 Ibnu Taimiyah, Dar`u Ta`ârudh al-`Aql wa al-Naql, Tahqîq : Muhammad Rasyad Salim (Riyadh : Universitas Imam Ibn Su`ud, tth), 7/173 Ahmad Muhammad Hulail, Manhaj al-Hiwâr wa Dhawâbithuh (Mekkah : Rabithah al-Alam al-Islâmiy, 2008), 183. Kumpulan makalah Konferensi Islam tentang Dialog di Mekkah, 4-6 Juni 2008 Al-Muntakhab fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm (Kairo : Kementerian Wakaf Mesir, Cet. 12, 1986), h. 186. Tafsir ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh sejumlah sarjana studi Islam di bawah supervisi Prof. Dr. M. Quraish Shihab Al-Muntakhab, 367-368 Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, he. 9/47 Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân, 2/16 Abu Said Abdullah al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl (Beirut : Dar al-Fikr, 1416 H), 4/473 Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân, 16/119 Al-Kitab, Kitab Ulangan : 5 Al-Imâm Abu al-Ma`âli al-Juwaini, Al-Kâfiyah fî al-Jadal, Tahqîq : Fawqiyah Husein Mahmud (Kairo: Maktabat al-Kulliyyah al-Azhariyyah, 1399 H/ 1979 M), 538 Abdurrasyid al-Jonggori al-Hindiy, Al-Risâlah al-Rasyîdiyyah, yang merupakan komentar atas al-Risâlah al-Syarîfah karya al-Sayyid Ali al-Jurjani, Tahqîq : Ali Musthafa al-Ghurâbi (Kairo : Maktabah Muhammad Ali Shubeih, 1369 H/ 1949 M), 541. Dikutip dari : As`ad al-Sahmirani, Al-Hiwâr fi al-Qur`ân wa al-Sunnah; al-Usus wal Munthalaqât, Makalah dalam Konferensi Islam Internasional tentang Dialog, di Mekkah, 4-6 Juni 2008 Ihyâ `Ulûm al-Dîn, 1/26 HR. Abu Daud, bâb ijtinâb al-bida` wal jadal, no 50, HR. Al-Tirmidzi, bâb mâ jâ`a fil mirâ, no 1916. Menurut al-Tirmidzi, hadis ini hukumnya hasan