Sabtu, 28 November 2009

PANDANGAN JOSEPH SCHACHT TENTANG OTENTISITAS HADIS NABI

PANDANGAN JOSEPH SCHACHT
TENTANG OTENTISITAS HADIS NABI
A. Pendahuluan
Pergulatan pemikiran kontemporer mengenai hadis, baik yang dilakukan oleh para pemikir muslim maupun para orientalis agaknya juga mengalami dinamika perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini tampak dari banyaknya para pengakji hadis khususnya dari kalangan muslim yang mencoba memekarkan dan mengkritisi pemikiran tentang hadis, seperti Fazlur Rahman, Muhammad al-ghazali, Yusuf Qardawi, M. Syahrur dan Mustafa al-Azami. Sedangkan dari kalangan non Muslim, kajian hadis antara lain dilakukan oleh Sprenger, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan lain sebaginya. Diakui atau tidak, hadis selalu menjadi kajian yang problematika dan menarik bagi pemikir muslim, baik yang mengajinya sebagai pembela maupun sebagai penentangnya.
Berdasarkan pemaparan diatas bahwa pengkaji hadis baik dari kalangan Muslim maupun non-muslim begitu banyak, maka penulis tidak akan membahas semua tokoh diatas, akan tetapi disini penulis mencoba mengkaji satu tokoh yaitu Joseph Schacht yang terkenal dengan teorinya Projecting Back (proyeksi ke belakang)1.












II. Pembahasan
A. Sekilas Biografi Joseph Schacht
Schacht lahir pada tanggal 15 Maret 1902, di Ratibor, Silesia yang dulu berada di wilayah Jerman dan sekarang masuk Polandia, hanya menyebrangi perbatasan dari Cekoslawakia. Di kota ini, ia tumbuh dan berkembang dan tinggal selama delapan belas tahun pertama dari kehidupannya. Schacht lahir dari keluarga yang agamis dan terdidik. Ayahnya Eduard Schacht adalah penganut katholik dan guru-guru anak-anak bisu dan tuli, ibunya bernama Maria Mohr. Pada tahun 1945, ia menikah dengan wanita Inggris yang bernama Louise Isabel Dorothy, anak perempuan Joseph Coleman.
Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, semitik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslaw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar doctor (D.Phil) dengan predikat summa Cum Laude dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika berumur 21 tahun. Pada tahun 1947, ia menjadi warga Negara Inggris dan bekerja di radio BBC London. Meskipun ia bekerja untuk kepentingan Inggris tidak mau memberikan imbalan apa-apa padanya. Sebagai Ilmuan yang menyandang gelar Profesor Doktor, di Inggris, ia justru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari Universitas tersebut. Pada tahun 1954, ia meninggalkan Inggris dan mengajar di Universitas Leiden Negeri Belanda sebagai guru besar samapai tahun 1959. Disini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairaha al-Ma`rifah al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1953, ia pindah ke Universitas Columbia New York dan menjadi guru besar samapai ia meninggal dunia tahun 1969.
Karya-karyanya
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karyanya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, Kajian Tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam, Kajian Tentang Ilmu Kalam, Kajian Tentang Fiqh Islam, Kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat dan lain-lain.
Adapun karya ilmiah yang paling monumental adalah The Origins of Muhammad Jurisprudence, An Introduvtion to Islamic Law, Islamic Law, Pre Islamic Background and Early Development of Jurisprudence dan karya terakhirnya adalah Theology and Law in Islam.
B. Sunnah dalam Pandangan Joseph Schacht
Menurut Schacht, konsep awal Sunnah adalah “tradisi yang hidup” dalam mazhab-mazhab fiqih klasik, yang berarti kebiasaan atau “praktek yang disepakati secara umum”(`amal, al-amr al-mujtama` `alaih). Konsep ini tidak ada hubungannya dengan Nabi. Dalam kenyataanya bahwa istilah sunnah yang berarti “kebiasaan masyarakat sebagai prinsip pembimbing moralitas yang diriwayatkan oleh periwayatan lisan, telah digunakan pada masa Arab pra-Islam. Salah satu buktinya adalah figur seorang “hakam”, yaitu seorang ‘juru tengah’ yang dipilih untuk menyelesaikan masalah antar dua atau lebih kelompok yang bertikai jika proses negoisasi mengalami kebuntan. Sedang hadis hanyalah produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi beberapa abad setelah Rasulullah Saw wafat.
Dalam bukunya Inttroduction to Islamic Law, Schacht memberikan pendapat sebagai berikut:
Sunnah dalam konteks Islam pada awalnya lebih memiliki konotasi politisi dari pada hukum. Sunnah merujuk pada kebijakan dan admistrasi dari dua khalifah yang pertama, Abu Bakar dan `Umar, harus dipandang sebagai preseden-preseden yang mengikat, muncul barangkali pada saat pengganti ‘Umar harus ditunjuk (23H/644M), dan ketidakpuasan terhadap kebijakan khalifah ketiga, `Utsman, yang mengakibatkan pembunuhannya pada tahun 35H/655M, menjadi tuduhan bahwa, dia pada gilirannya menyimpang dari kebijakan pendahulunya dan secara implicit dari al-Qur`an. Dalam kaitan ini, tampak konsep “Sunnah Nabi” belum teridentifikasi dengan seperangkat aturan positif yang manapun melainkan memberiakan adanya kaitan doctrinal antara “Sunnah Abu Bakar dan `Umar dan al-Qur`an. Bukti paling awal, tentunya yang otentik, untuk penggunaan istilah”Sunnah Nabi” adalah surat yang pernah dikirimkan oleh pemimpin Khawarij `Abdullah ibn `Ibad kepada khalifah Bani Umayyah ‘Abd al-Malik sekitar tahun 76H/695M. Istilah yang sama dengan konotasi teologis dan ditambah lagi dengan “contoh para nenek moyang” yang ada dalam risalat yang sezaman yang dikirim oleh Hasan al-Bashri kepada khalifah yang sama. Hal ini diperkenalkan ke dalam teori hukum Islam, barangkali menjelang akhir abad pertama, oleh para ulama Irak.
Untuk membuktikan anggapan tersebut , pada bagian lain ia mengajukan beberapa alasan diantaranya adalah pertama, kalau Nabi Saw. memiliki kekuasaan seperti yang diuraikan di atas, pastilah para khulafa al-Rasyidin sebagai pemimpin politik untuk umat Islam akan mengambilnya sebagai sumber hukum yang tertinggi , tetapi itu justru tidak terjadi , malahan mereka mengambil perbuatan–perbuatan mereka sendiri untuk dijadikan rujukan hukum, karena mereka berpandangan bahwa para khalifah memiliki kekuasaan hukum untuk umatnya. Kedua, bahwa hadis Nabi Saw. terutama yang berkaitan dengan hukum islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah, untuk meyakinkan itu, ia mengatakan bahwa cara terbaik untuk membuktikan bahwa suatu hadis tidak pernah ada dalam satu kurun waktu tertentu, adalah dengan menunjukan kenyataan bahwa hadis tidak pernah di gunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha sebab seandainya hadits tersebut pernah ada, pasti hal itu dijadikan refrensi, selain dari itu untuk menggambarkan sejauh mana kenyataan pemalsuan hadis. Lebih lanjut menurut Schacht, sikap aliran fiqh klasik ini semakin mendapatkan legitimasinya dengan adanya gerakkan ahl al-hadis. Sekalipun semangat awal yang dibangun adalah tidak ingin hadis-hadis yang berasal dari Nabi Saw itu dikalahkan oleh aturan-atrun aliran fiqh, namun untuk mencapai tujuan tersebut justru ahli hadis ‘terjebak’ pada sikap justifikatif terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh aliran fiqh.
C. Studi Isnad Hadis Menurut Joseph schacht
Salah satu serangan yang sering dilontarkan para orientalis, seperti Joseph Schacht, Sprenger, Goldziher-untuk meragukan, bahkan menolak keberadaan hadis nabi adalah persoalan sitem isnad. Teori isnad seringkali dituduh sebagai bikinan para ulama hadis dan tidak pernah ada pada zaman Nabi atau bahkan sahabat. Dengan kata lain, sistem isnad menurut sebagian orientalis bersifat a-historis.
Dalam mengkaji Hadis Nabawi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad (transmisi, silsilah) dari pada aspek matan. Schacht menilai bahwa sanad hadis adalah bukti adanya kesewenang-wenengan dan kecerobohan yang dilakukan para ulama pada saat itu. Sanad (sandaran) atau isnad (penyangga) yang dalam ilmu hadis dimaknai sebagai silsilah (rangkaian) dari pada penyaksi, mulai dari sumber pertama sampai sumber terakhir. Sementara kitab-kitab yang dipakai ajang penelitian adalah kitab al-Muwatta` karya Imam Malik, kitab al-Muwatta` karya Imam Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Umm dan al-Risalah karya Imam Syafi`i.
Schacht dalam bukunya The origins of Muhammadan Juresprudence dan An Introduction to Islamic Low berkesimpulan bahwa hadis terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah bikinan para ulama abad kedua dan kekiga hijriah. Ia mengatakan, “we shell not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic”(kita tidak akan menemukan satu buah pun hadis hukum yang berasal dari Nabi yang dapat dipertimbangkan shahih). Kemudian untuk mendukung kesimpulannya itu, Schacht mengajukan konsep Projecting Back (proyeksi ke belakang), yaitu mengaitkan pendapat para Ahli Fikih abad kedua dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para Ahli Fiqih telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan para sahabat sampai Rasulullah Saw., sehingga membentuk sanad hadits. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak otentik berasal dari Nabi Saw.
Selanjutnya Schacht berpandangan bahwa secara keseluruhan sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama-ulama abad kedua, akan tetapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw dan para sahabat adalah palsu. Schacht berasumsi dari pendapat Ibnu Sirin (w.110 H) yang mengatakan bahwa usaha untuk mempertanyakan dan meneliti sanad sudah dimulai sejak terjadinya fitnah (musibah perang saudara), dimana semua orang sudah tidak dapat dipercaya lagi, tanpa diteliti terlebih dahulu. Dan dapat diketahui bahwa fitnah yang bermula dari terbunuhnya al-Walid bin Yazid (w 126 H) menjelang surutnya Daulah Umayyah adalah tahun yang lazim bagi akhir zaman keemasan lama yang selama itu Sunnah Nabi masih berlaku, seperti tahun yang lazim bagi wafatnya Ibnu Sirin. Schacht menyimpulkan bahwa penisbatan pernyataan ini kepadanya adalah palsu. Bagaimana pun juga, tidak ada alasan untuk beranggapan bahwa praktek penggunaan isnad secara teratur lebih tua dari pada abad kedua hijriah.
Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya`bi (w 110H). Penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya`bi. Ia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para khalifah dahulu tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Kira-kira pada akhir abad pertama Hijri (715-720) pengangkatan qadhi itu ditujukan kepada orang-orang 'spesialis' yang berasal dari kalangan yang taat beragama. Karena jumlah orang-orang spesialis ini kian bertambah, maka akhirnya mereka bberkembang menjadi kelompok aliran fiqih klasik. Hal ini terjadi pada dekade-dekade pertama abad kedua Hijri.
Dalam perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, meliankan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memilki otoritas lebih tinggi, misalnya Abdullah bin Mas`ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Muhammad Saw.
Menurut Schacht, studi isnad memungkinkan untuk membubuhi tanggal terhadap hadits-hadits itu. Banyak bukti yang diberikan Schacht untuk mengukuhkan gagasannya dan dengan demikian ia mampu menunjukkan bahwa isnad memiliki kecenderungan “mundur ke belakang” dan mengklaim otoritas yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi hingga mereka sampai kepada Nabi”. Semakin awal suatu hadits muncul, maka semakin kecil kemungkinan hadits tersebut memiliki isnad yang lengkap. Semakin lengkap isnad, semakin belakang hadits itu muncul. Dari hal tersebut menurutnya tidak ada alasan untuk menduga bahwa praktek pemakaian isnad secara teratur tidak lebih tua dari permulaan abad ke dua.
D. Isnad dalam Prespektif Islam
Sebenarnya sebelum Islam datang metode yang mirip dengan pemakaian sanad sudah dilakukan pada waktu itu dalam menyusun buku, namun tidak begitu jelas sejauh mana metode itu dipergunakan. Hal ini antara lain misalnya terdapat dalam kitab Yahudi Mishna. Selain itu, sistem isnad juga telah biasa dipakai dalam penukilan sya`ir-sya`ir Jahiliyah. Sedanngkan dalam Islam sistem isnad muncul pertama kali pada masa hidup Nabi Saw dan telah berkembang menjadi ilmu yang mapan pada akhir abad pertama hijriah. Sistem ini dimulai dari praktek para sahabat dalam meriwayatkan hadis nabi ketika mereka saling bertemu. Hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, seperti: Umar bin Khaththab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata `Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka `Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Dan juga perkataan dari al-Bara` bin `Azib al-Awsiy “ tidaklah kami semuanya (dapat langsung) mendengar hadis Rasullah Saw (karena diantara) kami ada yang tidak memilki waktu atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap hadis nabi. Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi) memberitakan (hadis itu) kepada orang yang tidak hadir”. Hadis pada zaman Nabi telah diterima oleh para sahabat dengan cara dihafal dan dicatat. Dengan demekian bahwa periwayatan hadis pada zaman Nabi telah berjalan dengan lancar.
Setelah Nabi wafat (11H/632H), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (w 13 H/634 M), kemudian disusul oleh `Umar bin al-Khaththab (w 23 H/644M), `Usman bin `Affan (w 35 H/656 M) dan selanjutnya di pimpin oleh `Aliy bin Abi Thalib (w 40H/ 661 M). Keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khalafa` al-Rasyidin dan priodenya biasa disebut dengan zaman sahabat besar.
Para sahabat, sesudah wafatnya Rasul sudah tidak lagi berdiam di kota Madinah. Mereka pergi ke kota-kota lain. Dengan demikian penduduk kota-kota lainpun mulai menerima hadis. Para Tabi`in mempelajari hadis dari para sahabat itu.
Menurut Muhammad bin Ahmad al-dzahabiy (w. 784 H/1347M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur`an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu`bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenem bagian. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan oleh Mughirah tersebut. Bukti lain yaitu tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadis miliknya. Putri Abu Bakar, “`Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Menjawab pertanyaan `Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar catatannya karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadis. Hal ini membuktikan bahwa Abu Bakar sangat hati sekali dalam periwayatan hadis.
Selanjutnya setelah Abu Bakar meninggal dunia kepemimpinan dipegang oleh Umar bin Khaththab. Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Terbukti dengan kebijakan `Umar yang melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa `Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Larangan `Umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan:1. agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis. 2. agar perhatian masyarakat terhadap al-Qur`an tidak terganggu.
Setelah terbunuhnya Umar bin Khattab pada tahun 24 H kepemimpinan digantikan oleh `Usman bin `Affan. Secara umum kebijakan `Usman tentang periwayatn hadis tidak berbeda jauh dengan pendahulu-pendahulunya. Dalam khutbahnya, `Usman meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan Umar. Pernyataan ini menunjukkan bahwa `Usman sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis. Begitu pula dengan khalifah selanjutnya yaitu `Ali bin Abi Thalib.
Namun setelah terbunuhnya `Usman, pemalsuan-pemalsuan hadis mulai beredar dimasyarakat, sehingga dari peristiwa tersebut, kebijakan lebih ketat dalam menerima hadis lebih kentara lagi. Kehati-hatian dalam menerima hadis menjadi tradis baru bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab moral-agama untuk menjaga keontentikan hadis. Kebijakan itu adalah dengan diterapkannya sistem Isnad. Sistem ini disampinhg untuk meminimalkan laju usaha-usaha pemalsuan terhadap hadis, juga digunakan sebagai jaminan terhadap validitas hadis.
III. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa sunnah dalam menurut Schact adalah kebiasaan masyarakat sebagai prinsip pembimbing moralitas dan kebiasaan ini telah biasa digunakan pada masa Arab pra-Islam. Selanjutnya Schacht berpandangan bahwa secara keseluruhan sistem isnad yang terdapat dalam hadis-hadis baru terbentuk pada dekade-dekade pertama abad kedua Hijri. Kemudian untuk mendukung kesimpulannya itu, Schacht mengajukan konsep Projecting Back (proyeksi ke belakang), yaitu mengaitkan pendapat para Ahli Fikih abad kedua dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Azami, M.M, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, terj. Ali Mustofa Ya`qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004
Azami, M. Mustofa, Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, terj. Mustofa Yaqub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006
Darmalaksana, Wahyudin, Hadis di Mata Oreintalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, Bandung: Benang Merah Press, 2004
Ismail, Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah kritis dan Tinjauan dengan pendekatan Ilmu sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1995
Mustaqim, Abdul, Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002.
Minhaji, Akhmad, Kontroversi pembentukan Hukum Islam; Kontribusi Joseph Schacht, terj. Ali Masrur,Yogyakarta: UII Press, 2001
Munawir, Hadis Nabi di Mata Orientalis (Telaah Terhadap Kritik Otentisitas dan Kritik sanad Joseph Schacht), America: Nawesea Press, 2007
Mustafa Yaqub, Ali, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008
Schacht, Joseph, The Origins of Muhammaden Jurisprudence, London: Oxford, 1959
Schacht, Joseph, “Law and Justic” dalam The Cambridge History of Islam, terj Jakarta: INIS, 1988
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Oxford: Clarendon Press, 1964
Www. Orientalis. Co.cc, 30 Oktober 2009