Jumat, 13 Februari 2009

Tafsir Fundamentalis

  1. Pendahuluan

Aksi teroris saat ini telah menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu mendorong suatu negara untuk meningkatkan pertahanan, keamanan militernya. Peristiwa 11 September (nine eleven) merupakan suatu bukti kalau negara sebesar Amerika Serikat meski memiliki sistem pertahanan yang canggih mampu dibuat tak berdaya. Selain daripada peristiwa nine eleven, bentuk aksi lainnya yang disinyalir merupakan ulah kelompok teroris adalah peristiwa Bom Bali. Pada tanggal 12 Oktober 2002, dunia internasional tergoncang akibat terjadinya pemboman di salah satu kota pulau Bali, tepatnya di kota kecamatan Kuta. Peristiwa yang mampu menyerap perhatian dunia internasional tersebut dikarenakan banyaknya turis (warga negara asing) yang menjadi korban. Tidak lama berselang dari peristiwa Bom Bali 2002, tiga tahun kenudian di pulau yang sama kembali terjadi hal serupa. Di kenal dengan Peristiwa Bom Bali II, tepatnya terjadi pada tanggal 1 Oktober 2005, dengan tiga kali pemboman, satu di Kuta dan dua di Jimbaran. Terhadap ketiga bentuk peristiwa itu, masyarakat dunia memahami bahwa pelakunya adalah suatu jaringan kelompok teroris yang terorganisir – memiliki akses dengan organisasi-organisasi lainnya di beberapa negara – yang terkait dengan kelompok Islam fundamentalis. Dalam hal ini berarti – stereotip seperti itu – secara tidak langsung akan mendeskreditkan kalau aksi teroris hanya mungkin dan cenderung dilakukan oleh umat Islam. Doktrin bahwa aksi yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis merupakan bentuk perang suci atau jihad, yang menjadi keyakinan dan pedoman dalan bertindak, semakin memperkuat stereotip itu. Bertolak dari kondisi tersebut – teroris erat kaitannya dengan kelompok Islam fundamentalis, dan fundamentalisme identik dengan kekerasan – telah menciptakan interpretasi yang negatif terhadap umat Muslim secara keseluruhan. Meski jika dilihat dari segi historis istilah fundamentalisme tidak memiliki keterkaitan dengan agama Islam. Tetapi rasa kekhawatiran dan ketakutan terhadap pemeluk agama Islam – Islamophobia – dewasa ini sudah tidak dapat dihindari lagi. Terbukti dengan adanya tindakan-tindakan diskriminasi yang terjadi di beberapa negara di dunia Barat pada umat Islam. Seperti menjauhkannya dari lingkungan pergaulan, mempersulit dalam memperoleh akses-akses tertentu dalam memenuhi kebutuhan, dan masih banyak lainnya

  1. Pengertian Fundamentalis

1. Fundamentalisme di dunia Barat

Fundamentalisme di dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad kesembilan belas Masehi, dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu "Gerakan Millenium". Gerakan ini mengimani kembalinya Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia.

Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan "mimpi Yohana" (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal.

Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20, terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminarnya, lembaga-lembaganya, serta melalui tulisan-tulisan para pendetanya yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk sekaligus. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Oleh karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya, seperti aborsi, pembatasan kelahiran, penyimpangan seksual, dan kampanye-kampanye untuk membela "hak-hak" orang-orang yang berperilaku seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok, dansa-dansi, hingga sosialisme. Itu semua adalah "fundamentalisme" dalam terminologi Barat dan dalam visi Kristen1.

2. Ushuliyah (Fundamentalis) dalam Wacana Pemikiran Islam

Dalam Kamus Ilmiah arti fundamentalis adalah orang yang berpegang teguh pada pokok ajaran2, akan tetapi dalam visi Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, tidak ditemukan dalam kamus-kamus lama, baik kamus bahasa maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah “fundamentalisme”. Dalam Kamus al-Munawwir ditemukan kata dasar istilah yang hampir sama denganga arti fundamentalis, yaitu al-ashlu dengan makna ‘dasar atau pokok sesuatu’ dan ‘kehormatan’3. Bentuk pluralnya adalah ushūl (pokok) (QS Al-Hasyr: 5), (Ash-Shaaffat: 64). Al-ashlu juga bermakna ‘akar’ (QS Ibrahim: 24).

Al-ashlu juga disebut bagi undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan furu’ (parsial-parsial) dan masa yang telah lalu. Seperti yang diungkapkan dalam rediaksional ulama ushul fikih, “Asal segala sesuatu adalah boleh atau suci.” Dan, “ushul” adalah prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima4.

Bagi ulama ushul fikih, kata al-ashlu disebut dengan beberapa makna. Pertama, ‘dalil’. Dikatakan bahwa asal masalah ini adalah Al-Kitab dan Sunnah. Kedua,kaidah umum’. Dan ketiga, ‘yang rajih‘ atau ‘yang paling kuat’ dan ‘yang paling utama5’.

Dalam peradaban Islam telah terbangun ilmu-ilmu ushuluddin, yaitu ilmu kalam, tauhid, dan ilmu fikih akbar juga ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang dipergunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan hukum-hukum syara' praktekal dari dalil-dalil perinciannya6.

Dengan demikian, istilah ‘ushuliyah’ dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian lain yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak orang. Perbedaan pemahaman dan substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan sesuatu yang sering terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab dan kaum muslimin, serta secara bersamaan dipergunakan pula oleh karangan Barat, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam melihat istilah yang sama itu.

Sedangkan menurut intelektual muslim seperti Dr. Hamim Ilyas, seorang dosen UIN Yogyakarta mendefinisikan fundamentalisme adalah satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi, sehingga yang dikembangkan di dalamnya tidak hanya doktrin teologis, tapi juga doktrin-doktrin ideologis. Doktrin-doktrin itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh pendiri fundamentalisme modern, yakni Hasan al-Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Quthb, Ruhullah Khumaini, Muhammad Baqir al-Shadr, Abd as-Salam Faraj, Sa’id Hawa dan Juhaiman al-Utaibi7

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi. Professor filsafat Universitas Cairo ini mengatakan bahwa term ‘muslim fundamentalis’ adalah istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering digunakan peneliti Barat lalu sering digunakan oleh banyak pemikir.

Adapun M. Said al-Asymawi mengatakan bahwa istilah fundamentalis awalnya berarti umat kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrim dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Hingga komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut fundamentalis, dan istilah fundamentalisme Islam pun muncul.

Fazlur Rahman, seorang tokoh yang biasa digolongkan “modernis”, menyebut fundamentalis sebagai “orang-orang yang dangkal dan superfisial”, anti intelektual” dan pemikirannya “tidak bersumberkan kepada Al-Quran dan budaya intelektual tradisional Islam”8.

C. Ideologi Kaum Fundamentalis

Meskipun Islam merupakan salah satu dari agama di dunia, namun terma “agama” tidak sepenuhnya sesuai maknaya dengan Islam. Hampir semua kamus mendefinisikan bahwa kata agama berhubungan dengan dominan supernatural, magis, ritual, kepercayaan, dogma, institusi dan lain-lain. Trimologi yang paling tepat merepresentasikan Islam adalah etika, wawasan kemanusia, ilmu sosial dan ideologi. Dengan demikian Islam adalah penggambaran manusi dalam masyarakat, kebutuhan utamanya, komitmen moralnya dan perbuatan sosialnya. Islam juga dipandang sebagai sytem of ideas yang merupakan hasil dari perjalanan panjang sejarah melewati priode-periode wahyu sebelumnya, divalidisir ke dalam realita dan disesuaikan dengan kapabilitas manusia9.

Dalam pandangan teologi, gerakan Islam radikal dikenal dengan Islam fundamentalis karena sikapnya yang menolak tatanan sosial yang ada dan berusaha menerapkan formalisasi syari`at Islam. Selain itu, gerakan Islam radikal juga dikenal dengan Islam revivalis dan Islam secara skripturalis karena pemahaman syari`at Islam secara tekstual dan penekanannya pada penerapan syari`at Islam10. Pada umumnya fundamentalis dalam Islam merujuk pada empat aspek yaitu pembaharuan (tajdid), keyakinan terhadap Islam sebagai ideologi alternatif, reaksi terhadap kaum modernis dan respon terhadap westernisasi11. Fundamentalis dalam Islam berpandangan bahwa Islam adalah agama yang kaffah (komprehensif) dan tentunya juga mengatur kehidupan bernegara dan praktik kehidupan Islam yang ideal dengan merujuk zaman pada Rasulullah Saw dan salaf as-Shalih, karenanya, segala persoalan hidup umat Islam harus dikembalikan kepada al-Qur`an dan al-Sunnah secara konsisiten. Keyakinan teologis-normatif tersebut menggiring kepada pandangan bahwa semua sistem kehidupan harus mengisi sepenuhnya pada sistem Islam, demikian pula dengan sistem kehidupan berbegara Islam harus menjadi acuannya12.

Sayyid Qutub berpendapat bahwa Islam adalah kebenaran, kebaikan dan keadilan. Dan masyrakat Imani adalah masyarakat yang menjadikan otoritas kedaulatan Allah Swt di atas segala-galanya. Sebaliknya negara yang tegak di atas otoritas kaum Tiranis (Tagut) yang mengabaikan berlakunya Syari`at Islam adalah masyarakat dan negara kafir.

Perubahan keadaan masyarakat dan negara kafir itu tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan jalan perebutan kekuasaan, baik dengan jalan kudeta maupun dengan jalan revolusi. Kemudian mengenyahkan para pemimpin kafir dengan mengangkat para pemimpin mukmin sebagai pengganti mereka. Tindakan tersebut menurut Sayyid Qutub akan dapat dilaksanakan dengan baik oleh “kaum elit mukmin” yang berpegabg teguh pada al-Qur`an seperti yang pernah terjadi pada generasi sahabat yang mampu memimpin masyarakat mukmin melawan masyarakat kafir.

Perjuangan dan tindakan mendapatkan kekuasaan politik menuju kebebasan menyeluruh dari ‘sistem Tiranis Jahili” , menurut Syyid Qutub adalah fardu `ain bagi setiap muslim dan muslimat sebagai tanggung jawab individu dan kelompok untuk dapat merubah Masyarakat Kafir yang tiranis menjadi’Masyarakat Islami” dan kebebasan. Sehingga konsep “Lailah Illallah” menjadi sistem kehidupan dan membebaskan perasaan manuasia dari ketakutan dan penyembahan terhadap sistem pemerintahan tiranis yang dzalim. Dan juga Sayyid Qutub berpendapat bahwa masyarakat modern dimana kita hidup ini adalah masyarakat Jahiliyah yang menolak “Kedaulatan Allah” dan tidak mengakui sistem dan undang-undang hukum Allah sebagai landasan kehiduapan13.

Sehingga kaum fundamentalis untuk memperkuat landasan ideologinya menciptakan slogan yang dapat diterima oleh semua rakyat yang mempunyai semangat “Islam” yang berbunyi” Al-Qur`an adalah konsititusi kita dan Rasulullah Muhammad Saw adalah panglima kita, jihad adalah jalan kita dan matai Syahid adalah cita-cita kita14.

D. Kerangka Berfikir Kaum Fundamentalis dalam Memahami al-Qur`an

Fundamentalisme dengan pengertian sebagaimana yang dipahami Barat tidak terdapat dalam Islam. Kaum fundamentalis (ushuliyin) dalam Barat adalah orang-orang kaku dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri para penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsing dalam kajian-kajian akal atau mereka adalah ahli penyimpulan hukum, istidlal (pengambilan dalil), ijtihad, dan pembaruan15.

Dalam bukunya “Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan)”, Yusril Ihza Mahendra mengartikan fundamentalisme sebagai ideologi atau aliran politik yang berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi serta bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub di dalam Al-Quran dan Sunnah itu. Namun demikian, fundamentalisme cenderung menafsirkan doktrin secara rigid dan literalis16.

Hamim Ilyas juga berpendapat bahwa ”Karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.” Dengan mengutip pendapat Azyumardi Azra dan Martin E. Marty, Hamim Ilyas kemudian melanjutkan tulisannya bahwa di antara prinsip fundamentalisme adalah penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam ”kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut17.

Sementara itu, Imam Chanafie Al-Jauhari kaum fundamentalis –atau juga ia sebut revivalis—memiliki pola pemikiran tekstualis. Menurutnya, pola pemikiran ini selalu berangkat dari bunyi teks dan pemahaman yang dimilikinya, sebagaimana teks itu mengungkapkan secara lahiriyah. Apa yang dikatakan teks, atau bagaimana yang tertera pada teks begitulah pemahamannya, dan itu pula yang dijadikan dasar pijakan (frame of reference) setiap sikap dan perilakunya. Praktek-praktek keberagamaan dan aplikasi Islam dalam kehidupan keseharian pada berbagai aspek harus sesuai dengan bunyi teks wahyu baik Al-Quran maupun Al-Hadits. Apapun yang dikatakan teks, begitu pula yang harus dilaksanakan, tanpa ada pertimbangan-pertimbangan, baik dari aspek kondisi sosio-kultural, psikologis dan lainnya. Dengan kata lain, pola pemikiran tekstual merupakan cetak biru (blue print) dari makna teks secara leterlek an sich18.

Setelah penulis memaparkan pendapat-pendapat para intelektual muslim yang pemikirannya bersebrangan dengan kaum fundamentalis maka penulis disini akan memaparkan pendapat-pendapat yang digolongkan pemikirannya dalam memahami al-Qur`an secara literal sebagaimana bunyinya.

Kaum fundamentalis beranggapan bahwa al-Qur`an bukanlah satua-satunya sumber hukum dalam penegakan syari`at, di samping al-Qur`an sunnah Saw juga merupakan sumber hukum bagi masyarakat muslim yang dapat diinterprestasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masalah sistem kenegaraan, kaum fundamentalis menginginkan suatu bentuk dalam sistem pemerintahan yang dijalankan oleh suatu lembaga yang didasari oleh syari`at Islam.

Pemikiran fundamentalis yang diwakili oleh Maududi mengacu kepada apa yang disebut dengan “Empat Istilah Asasi” dalam al-Qur`an. Keempat istilah itu menurut Maududi menjadi poros dan sentral ajaran Islam. Menurutnya hanya dengan memahami dan menghayati empat istilah itu, kaum muslimin akan dapat memahami dan menghayati “hakekat” ajaran Islam. Pemahaman terhadap empat Istilah harus dilakukan dengan ikhlas, tanpa ada tujuan tertentu yang tidak sesuai dengan misi Islam19.

Selanjutnya Maududi menyatakan, bahwa seorang yang ingin melakukan studi terhadap al-Qur`an secara benar, ia harus memahami terlebih dahulu empat istilah Asasi dalam al-Qur`an, sebab semua surat dan ayat yang berisi petunjuk, sejarah hokum dan lain-lain sebetulnya berpusat pada ungkapan di bawah ini:

Bahwa Allah itu adalah Rabb dan Illah,

Sesungguhnya tidak ada Rabb dan Illah kecuali Dia,

Hanya kepada-Nyalah manusia pantas beribadah dan hanya untuk-Nya Yang Esa itulah agama (ad-Din) ini dikhlaskan.

Jelasnya bahwa yang perlu dikaji secara mendalam dalam al-Qur`an adalah empat Istilah: al-Illah, ar-Rabb, al-Ibadah dan ad-Din. Ketika al-Qur`an diturunkan kepada masyarakat Arab Jahilyah, kemudian kepada masyarakat Islam, secara alami istilah al-Illah dan ar-Rabb dapat dipahami secara benar, sebab kedua istilah tersebut sudah biasa mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari Mereka paham betul maksud dua istilah itu dalam semua konteks yang berbeda. Jika mereka mendengar ‘Tiada Illah selain Allah dan tiada Rabb melainkan Dia, serta tiada sekutu bagi-Nya dalam keilahian dan kerabbiyan-Nya”, mereka paham sekali esensi ajaran yang terkandung dalam ungkapan itu.

Demikain juga dua istilah yang lain yakni al-Ibadah dan ad-Din sebab dua istilah terakhir ini sudah biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Mereka paham maksud al-`Abd, tindakan yang disebut al-`Ubudiyah, serta cara praktis yang disebut al-Ibadah. Mereka juga paham kedudukan dan pengertian ad-Din. Jadi setelah mereka mendengar seruan al-Qur`an “agar anda beribadah kapada Allah dan jauhilah Tagut”, dan masuklah ke dalam Din (agama) Allah dengan melepaskan semua agama (al-adyan) yang lain, mereka tidak keliru dalam memahami inti da`wah al-Qur`an itu.

Setelah beberapa waktu kaum muslimin melewati masa kejayaan, empat Istilah Asasi dalam al-Qur`an ini- menurut Maududi- mengalami perubahan dan penyempitan pengertian dengan dalalah yang tidak jelas. Semuanya bisa terjadi, karena dua factor utama. Pertama, karena semkain menipisnya rasa ke-Araban (az-Zawqul `Arabi) yang murni di kalangan kaum muslimin pada masa itu. Kedua, kaum muslimin yang dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah masyarakat Islam sudah tidak dibesarkan di tengah-tengah masyarak Islam sudah tidak mendapatkan pengartian empat Istilah Asasi dalam al-Qur`an iti seperti pengertian yang terkenal dalam masyarkat Jahiliyah ketika al-Qur`am itu diturunkan. Akibatnya, para penyusun Kamus dan para penafsir kata-kata dalam al-Qur`an mengartikan empat Istilah itu dengan pengertian yang berkembang pada masa terakhir, sebagi ganti dari pengertian aslinya. Seperti contoh:

Kata ‘al-Ilah’ diartikan pahala dan patung. Kata ‘ar-Rabb’ diartikan pendidik atau lembaga pendidikan diserahi pendidikan moral dan pengembangannya. Kata `al-`Ibadah’ diartikan penuhanan, taat dan salat dihadapan Allah SWT. Kata ‘ad-Din’ diartikan sama dengan arti Nihlah atau agama. Kata ‘at-Tagut’ ditafsiri berhala dan syetan.

Perubahan pengertian ini menurut Maududi kemudian menjadi “kebenaran” yang menjadi ‘Keyakinan” dikalangan kaum muslimin. Kekeliruan pengertian ini menjadi pangkal penyebab kelemahan akidah dan memudarnya semanggat jihad kaum muslimin, walaupun mereka menerima Islam sebagai agama mereka20.

Penjelasan Maududi tentang Empat Istilah Asasi dalamal-Qur`an adalah sebagai berikut:

  1. Al-Ilah

Maududi mengemukakan enam arti al-Ilah ditinjau segi bahasa yaitu diambil dari akar kata berikut: (الهت الى فلان ) Aku “cinta” kepada si fulan. ( اله الرجل يأله ) Jika turun sesuatu yang mengejutkan, kemudian orang me”nuhankan”nya. (اله الفصيل) jika ia mencintai ibunya. (( اله الا والوهة berarti menyembah.

Selanjutnya Maududi menjelaskan bahwa kata: ( اله الا والوهة digunakan untuk arti “ibadahاله الرجل يأله dengan pengertian Tuhan menjadi obyek ibadah ( (المعبود dengan pengertian sebagai berikut:

  1. Motivasi manusai beribadah dan menuhankan sesuatu terletak pada kepentingan dan kebutuhannya. Selamanya manusai tidak akan menuhankan dan menyembah “sesuatu” itu dapat memenuhi kebutuhannya, menolongya jika ia dalam keadaan gundah, cemas dan takut.

  2. “Sesuatu” yang diyakini sebagi penolong dan penerima permohon, jelas mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi. Lebih dari itu diyakini sebagai mempunyai “kekuatan” dan “kekuasaan”.

  3. Sudah menjadi hokum alam, jika seseorang berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhannya, menjadi penolong dan menjadi pemenang jika dalam keadaan gundah untuk menuju kepada “sesuatu” itu sebagai ungkapan rasa cinta yang membara.

Maududi berpedoman kepada beberapa ayat al-Qur`an (Q. S. Maryam:81, Yasin: 101, an-Nahl 20-22, al-Qasas: 88, al-An`am:80), dengan menyimpulkan bahwa:

  1. Masyarakat Jahiyah menjadikan tokoh dari kalangan mereka sendiri, sebagai Illah (Tuhan). Mereka mohon perlindungan kepada tokoh itu jika ada bahaya mengancam dan berdo`a kepada tokoh tersebut untuk memenuhi kebutuhannya.

  2. Yang mereka anggap sebagai Illah tidak hanya tuhan, jin, malaikat dan patung saj a, tetapi juga para tokoh manusia yang sudah mati.

  3. Seseorang yang menuruti hawa nafsu dengan keyakinan bahwa nafsunya itu sebagai kekuasaan tertinggi, berarti ia telah menjadikan nafsunya sebagi Illah (Tuhan). Mereka mengcu pendapatnya pada QS. Al-Furqan: 43.

  4. Pembuat undang-undang, aturan dan tata tertib tanpa memperhatikan perintah Allah, berarti ia telah menyamai Allah dalam keilahihan-Nya.

  5. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan mutlak dalam mengatur jagad raya ini adalah hak Allah semesta.

  6. Seseorang yang menuruti hawa nafsu dengan keyakinan bahwa nahsunya itu sebagai kekuasaan tertinggi, berarti ia telah menjadikan nafsunya sebagai kekauasaan tertinggi, berarti ia telah menjadikan nafsunya sebagai Illah (Tuhan)

Selanjutnya Maududi beranggapan bahwa ke-Ilahi-an dan kekuasaan adalah dua mata rantai yang saling melengkapi. Menurutnya tidak ada perbedaan pokok antara keilahian dan kekuasaan dalam ruh dan makna. Sesuatu yang tak punya kekausaan tidak mungkin menjadi Ilah. Sebaliknya sesuatu yang mempunyai kekuasaan dapat memjadi Ilah dan hanya Dia yang pantas untuk itu.

2. Ar-Rabb

Secara etimologi ar-Rabb mempunyai arti pendidikan. Arti ini kemudian berkembang menjadi kebebasan menjalankan sendiri, perjanjian, perbaikan dan penyempurnaan. Dari beberapa arti ini kemudian berkembang menjadi tinggi, kepemimpinan, pemilikan dan kedaulatan.

Dengan menganalisis dari segi linguistiknya terlebih dahulu kemudian kaum fundamentalis yang diwakili oleh Maududi menyimpulkan Rabb sebagi berikut:

  1. Pendidik yang diserahi pengembangan pendidikan yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan.

  2. Pemimpin yang ditaati dan mempunyai kedaulatan yang diakui ketinggian dan kekuasaanya serta mempunyai kebebasan untuk melakukan sesuatu.

  3. Pemimpin atau tokoh yang selalu dikelilingi para anggota dan pengagumnya.

  4. Penanggung jawab dan pengawas serta memperbaiki perjanjian.

  5. Raja atau tokoh yang disegani dan dihormati.

Kelima arti Rabb tersebut diambil dari pengertian beberapa ayat al-Qur`an, Yusuf: 23, asy-Syu`ara: 77-80, an-Nahl: 53-54, al-An`am: 164, al-Muzammil: 9.

Sejarah perjuangan para Rasul dengan umatnya seperti yang termaktub dalam al-Qur`an menurut Maududi adalah bukti nyata kesesatan mereka dalam memahami, mengahayati dan menyakini ke-Tuhanan sebagai pemelihara jagad raya.Umat Nabi hud, Shaleh. Ibrahim, Lut, Musa, Isa dan kaum musyrikin Arab pada hakekatnya tidak ingkar terhadap wujud Allah dan Dia-lah yang menciptkan jagad raya ini.

Atas dasar penelitian terhadap kisah-kisah kesesatan umat terdahlu kemudian Maududi menyimpulkan kesesatan tersebut dalam dua katagori. Pertama, ar-Rabb dalam arti menanggung, mengatur dan mendidik jagad raya, memenuhi kebutuhannya, memelihara dan melindungi di luar hukum kausalitas, diyakini Allah sebagai Tuhan pemelihara (ar-Rabb). Kedua, ar-Rabb, dalam arti pemegang pemerintahan dan larangan, pemegang kedaulatan tertinggi, sumber petunjuk, sumber hukum dan syari`at, penguasa negara dan kerajaan, keyakinan mereka beraneka ragam.

3. Al-Ibadah

Secara etimologi al-`ibadah, al-`ubudiyah dan al-`abdiyah berarti tunduk, patuh dan merendahkan diri secara mutlak. Ibnu Mandzur dengan menunjuk akar kata `Abada mengemukakan beberapa arti dengan penjelasan sebagai berikut;

  1. (العبد ) berarti hamba Allah yang memiliki, lawan orang merdeka. Seperti تعبد الرجل berarti hamba yang mengambilny sebagai budak atau memperlakukannya seperi budak.

  2. العبادةtaat dengan merendahkan, misalnya menyembah عباد الطا غوتdengan rasa rendah diri kepada Tagut.

  3. عبد بهselalu berkumpul dan tidak mau berpisah.

  4. عبد هmenuhankan sesuatu, kemudian menyembahnya21.

Dari beberapa arti tersebut dapat diketahui kata `abada mempunyai konotasi pokok “kepatuhan seseorang terhadap ketinggian dan kehebatan orang lain, dengan melepaskan kebebasan dan kemerdekaannya tanpa perlawanan”

Atas dasar pemeriksaan dan penelitian terhadap pengggunaan kata `ibadah dalam ayat-ayat al-Qur`an. Kemudian Maududi menyimpulkan penggunaanya dikhususkan untuk arti menuhankan, menyembah dan patuh. Tetapi dakwah al-Qur`an mencakup “ibadah” dalam pengertian ketiga-tiganya yang secara ikhlas ditunjukan kepada Allah Swt, tanpa ada sesuatu yang disekutukan.

Keikhlasan beribadah hanya untuk Allah itu sangat erat kaitannya dengan pengakuan terhadap Allah Swt sebagi ‘Ilah” dan “Rabb”. Sebab jika seseorang dengan penuh kesadaran telah mengakuai Allah sebagai ‘Illah” yang harus disembah dan sebagai “Rabb” sebagai pemelihara dan penentu perjalanan jagad raya tanpa ada sekutu bagi-Nya, maka secara otomatis dalam dirinya akan timbul motivasi untuk beribadah hanya untuk Allah. Dan dia akan menjauhi segala bentuk penghambaan atau peribadatan selain Allah. Dan dia akan menjauhi segala bentuk penghambaan atau peribadatan selain kepada Allah, baik terhadap nafsu, Syetan, jin, malaikat maupun terhadap raja, pemerintah dan Tagut, yang oleh Maududi diartikan “Tiranis” baik perorangan, kelompok, maupun system pemerintahan yang mengingkari Allah dan Syaeriat-Syariat-Nya, bahkan mau menyamai Allah sebagai Illah dan Rabb22.

Jika seorang Muslim dengan penuh kesadaran menghayati dan mempratekkan ibadah seperti tuntunan al-Qur`an, maka ibadahnya itu akan menjadi modal dasar bagi gerak langkahnya dalam mengahadapi semua tantangan hidup yang mengitarinya. Ibadah akan menjadi alat komunikasi dengan dunia luar dalam menentukan prilaku dan mengatur kegiatan kemanusian secara umum.

Pandangan dan pengertian al-illah, ar-Rabb dan al`Ibadah menurut kaum fundamentalis seperti Syyid Qutub, Ali Syari`ati, Baqir Sadr dan lainnya disebut sebagai ‘Misi Tauhid” yang menjadi dasar pemikiran politik Islam23.

4. Ad-Din

Kata ad-Din dalam bahasa Arab digunakan dalam beberapa arti:

  1. Kekuasaan dan pemaksaan untuk taat seperti دان الناس memaksa mereka untuk taat.

  2. Taat pada seseorang dengan menerima penghinaan dan kekuatan-Nya, seperti دنهم فدنوا kupaksa mereka kemudian dia patuh.

  3. Pembalasan, hukuman atau perhitungan seperti كما تدين تدان pepatah Arab apa yang anda perbuat akan dibalas seperti perbuatan anda.

  4. Syari`at hokum, undang-undang, system, agama dan tradisi seperti دان jika sudah biasa melakukan perbuatan baik atau perbuatan tercela. Dan seperti pepatah Arab كانت قريش ومن دان بدينهم orang-orang Quraisy dan orang-orang yang mengikuti system dan tradisi mereka dan perkataan انه كان على دين قومه ia mengikuti batasan, aturanan-aturan dan tradisi yang berlaku dikalangan umatnya seperti aturan perkawinan, talak, waris dan lain-lain yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan24.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kata ad-Din digunakan dalam empat arti pokok yaitu:

  1. Kekuatan dan pemaksaan dari penguasa tertinggi.

  2. Taat dan patuh serta menghamba terhadap orang yang mempunyai kekuasaan.

  3. Aturan, undang-undang, tradisi dan system yang dianut.

  4. Pembalasan, hukuman dan siksaan25.

Arti tersebut semuanya digunakan dalam al-Qur`an baik yang berarti pemerintahan dan kekuasaan teringgi26, taat dan patuh terhadap kekuasaan dan pemerintahan itu27, system pemerintahan, maupun yang berarti “batasan” yang diberikan orang yang membangkang.

Dan juga penggunaan kata ad-Din dalam al-Qur`an dengan arti istilah yang menyeluruh yakni “sistem kehidupan”, berupa undang-undang dan hukum dari penguasa tertinggi yang mengikat gerak langkah kehidupan seseorang untuk dapat mematuhi system kehidupan itu dengan harapan mendapatkan kemulyaan dan ketinggian derajat dan rasa takut untuk melanggar. Kemudian Maududi menafsirkan bahwa istilah “Negara” hampir mencakup pengertian ad-Din, beliau merujuk pada al-Qur`an Qs. Ali `Imran: 19,85, at-Taubah: 33, al-Anfal: 39, an-Nasr: 1-4. Yaitu ad-Din dalam ayat-ayat tersebut adalah system kehidupan secara menyeluruh, baik ideologi, pemikiran moral, politik dan lain-lain. Dalam surat Ali-`Imran: 19, 85 kata ad-Din berarti system kehidupan yang diridhai Allah Swt adalah system yang ditegagkan atas dasar kepatuhan dan ketaatan mutlak kepada-Nya. Dalam Qs. At-Taubah: 33, Allah mengutus para Rasul dengan membawa system kehidupan yan benar untuk kebahagian Manusia. Dan Qs.al-Anfal: 39 menjelaskan tentang memerintahkan untuk memerangi dan membasmi system kehidupan yang berdiri atas dasar menentang Allah Swt. Kemudian Qs.an-Nasr 1-4, menjelaskan “kesuksesan perjuangan Nabi Muhammad saw melalui serangkain perjuangan dan jihad selama dua puluh tiga tahun, dengan tegaknya sitem kehidupan Islam dalam semua aspek kehidupan, meliputi pemikiran, akhlak, pendidikan, peradaban, social, politik dan ekonomi.

Kemudian empat istilah Asasi dalam al-Qur`an dalam pemikiran Maududi dapat digambarkan sebagai berikut:

Empat istilah ini oleh Maududi dijadikan pedoman dasar dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan sebagai kunci pemahaman terhadap beberapa aspek ajaran-ajaran Islam yang lain. Dari hasil studi yang mendalam terhadap empat istilah asasi tersebut kemudian ditopang dengan al-Hadits, system pemerintahan yang pernah berlaku pada masa Khulafaur Rasyidin dan khazanah intelektual yang dikembangkan oleh ulama terdahulu28.

E. Doktrin Islam Kaffah

Dr. Hamim Ilyas menyatakan bahwa doktrin sentral fundamentalisme adalah Islam kaffah. Dalam doktrin ini Islam tidak hanya diajarkan sebagai sistem agama, tetapi sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Karena itu dalam konteks dunia modern sangat ditekankan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari negara, sehingga Hasan al-Banna mendifinisikan Islam sebagai agama dan negara (ad-din wa ad-daulah).

Dalam hubungannya dengan doktrin ini, Islam dikembangkan sebagai ideologi negara yang di antaranya dirumuskan oleh Dr Mukhotim El Moekry yang mengatakan bahwa Islam sebagai ideologi memiliki makna satu-satunya jalan hidup bagi manusia yang mengharapkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Dan ideologi Islam itu hanya dapat diaplikasikan melalui kepatuhan hamba manusia atas perintah Allah dan larangan-Nya ketika sedang menghadapi hidup ini. Doktrin Islam kaffah ini didasarkan pada surat al-Baqarah, 2: 208

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)29

Agar memperoleh pemahaman yang akurat dan bisa dipertanggung-jawabkan, kita akan melihat bagaimana penafsiran para ulama terhadap konsep Islam kaffah tersebut. Allah ta’ala berfirman,

                

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)

Para ulama berselisih pendapat mengenai terhadap siapakah ayat ini diturunkan. Pendapat pertama, ayat ini diturunkan terhadap orang yang masuk Islam dari kalangan Ahli Kitab. Setelah keislamannya, mereka menjauhi daging unta dan perkara-perkara lain yang biasa dijauhi Ahli Kitab. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Shalih dari Ibnu Abbas. Pendapat kedua, ayat ini diturunkan terhadap Ahli Kitab yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Mereka diperintahkan agar masuk ke dalam Islam30. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahak. Pendapat ketiga, ayat ini diturunkan terhadap kaum Muslimin. Allah memerintahkan mereka agar masuk ke dalam seluruh syariat Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid dan Qatadah31.

Untuk menjelaskan bagaimana penafsiran Islam kaffah kami merujuk kepada penafsiran para ulama klasik yang menjadi rujukan kaum fundamentalis terhadap konsep tersebut. Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sekelompok tabi’in tentang firman Allah ta’ala, “masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan”, maksudnya adalah masuklah ke dalam Islam dan taatilah seluruh perintah-Nya semampu yang kalian kerjakan. Sementara itu, Az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa orang-orang beriman diperintahkan agar masuk ke dalam ketaatan secara keseluruhan, sedangkan mereka tidak masuk ke dalam ketaatan tanpa mengerjakan ketaatan lainnya. Atau ke dalam cabang dan syariat Islam secara keseluruhan dan tidak meninggalkan sedikit pun darinya. Penafsiran ayat 208 dari surat Al-Baqarah sebagai perintah agar menerapkan atau masuk ke dalam syariat Islam secara keseluruhan merupakan penafsiran yang banyak dikemukakan oleh para mufassir. Selain Az-Zamakhsyari, ada sekian mufassir yang menyampaikan pendapat serupa dalam kitab-kitab tafsir mereka. Di antaranya dalam tafsir Al-Baghawy, Al-Alûsi, Zâdul Masîr, Ar-Râzy, As-Samarqandy, Al-Jalâlain, Muqatil, Ibnu ‘Ajibah, Ibnu Abdis Salam, tafsir Ibnu Abbas, Sayyid Tanthawy, Aysarut Tafâsîr, As-Sa’dy, Al-Wajîz, Haumad, Al-Masîr, dan sebagainya32.

Dengan melihat banyaknya pendapat mufassir yang menyatakan bahwa konsep Islam kaffah adalah menjalankan atau masuk ke dalam syariat Islam secara keseluruhan, maka pendapat yang memandang Islam sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.

F. Doktrin Kedaulatan Tuhan (al-Hakimiyah al-Ilahiyah)

Selain Islam kaffah, menurut Hamim Ilyas, doktrin sentral fundamentalisme Islam lainnya adalah kedaulatan atau supremasi hukum Tuhan. Hamim Ilyas menulis,

“…Kaum fundamentalis, sebagaimana digambarkan secara tepat oleh Khaled Abu El-Fadl, berkeyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan hidup dan harus ditegakkan tanpa mempertibangkan pengaruhnya terhadap hak-hak dan kesejateraan kelompok lain. Jalan lurus (as-Shirat al-Mustaqim) telah dipastikan, kata mereka, oleh sistem hukum Tuhan (syari’ah) yang menghapus semua pertimbangan moral atau nilai-nilai etis yang sepenuhnya tidak terdapat dalam hukum…”33

Selanjutnya, Hamim Ilyas menyatakan bahwa dengan doktrin kedaulatan hukum Tuhan, fundamentalisme menolak negara bangsa dengan sistem demokrasinya yang meletakkan legitimasi negara pada kemauan rakyat, bukan pada agama atau etnis34.

Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra menyimpulkan sejumlah ciri kaum fundamentalis Islam, di antaranya adalah (1) ingin menegakkan negara Islam yang sebenarnya, dan (2) ingin menerapkan syariah Islam secara kaffah35.

Untuk lebih jelasnya penulis paparkan pendapat-pendapat yang yang menjadi landasan kaum fundamentalis. Al-Quran sebenarnya telah menegaskan otoritas Allah dalam menetapkan hukum dan kewajiban umat manusia untuk berhukum dengan hukum-Nya. Selain surat Al-Baqarah: 208 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masih banyak ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah ini. Allah ta’ala berfirman,

                              

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa’: 59)

Mengenai tafsir ayat, ” Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul”, Ibnu Katsir berkata, “Yaitu kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Ini adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa setiap perkara yang diperselisihkan oleh umat manusia dari prinsip-prinsip (ushul) maupun cabang-cabang (furu’) agama, maka perselisihan tersebut harus dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala, ‘Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.’ (QS Asy-Syura: 10) Perkara yang telah diputuskan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah sementara keduanya menyatakan keshahihannya, maka itulah kebenaran. Apalagi setelah kebenaran kalau bukan kesesatan?”

Ibnu Katsir melanjutkan tafsirnya, “Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman, ‘ jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.’ Maksudnya, kembalikanlah segala pertikaian dan ketidaktahuan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Putuskanlah hukum dengan keduanya dalam perkara-perkara yang kalian perselisihkan. Ayat ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang tidak memutuskan hukum ketika terjadi perselisihan pendapat kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta tidak mengembalikan kepada keduanya dalam hal itu, maka ia bukanlah orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. ‘Yang demikian itu lebih utama (bagimu).’ Yaitu, berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta kembali kepada keduanya dalam memutuskan perselisihan pandapat adalah lebih baik. ‘Dan lebih baik akibatnya.’ Yaitu, lebih baik akibat, kesudahan, dan pahalanya.”

Allah juga berfirman,

                                               

Dan hendaklah kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah: 49-50)

Dalam menjelaskan kandungan tafsir ayat ini, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz mengatakan, “Sesungguhnya orang yang membaca dan mentaabburi ayat ini akan mengetahui bahwa perintah memutuskan hukum dengan hukum yang diturunkan Allah ditegaskan dengan delapan bentuk penegasan, Pertama, perintah untuk berhukum dengan hukum Allah dalam firman-Nya, ” Dan hendaklah kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”. Kedua, jangan sampai hawa nafsu dan kecenderungan selera mereka menjadi penghalang dari berhukum dengan hukum Allah dalam kondisi apa pun. Hal itu dalam firman-Nya, “ dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”Ketiga, perintah agar berhati-hati kalau tidak menerapkan hukum syariat Allah baik sedikit maupun banyak, juga yang kecil maupun yang besar, dengan firman-Nya, ” dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu.” Keempat, berpaling dari hukum Allah dan menolak sebagiannya adalah dosa besar yang mengharuskan siksa pedih. Allah ta’ala berfirman, ” jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka.” Kelima, perintah untuk berhati-hati agar tidak terpedaya dengan banyaknya orang yang menolak hukum Allah karena hanya sedikit hamba Allah yang mau bersyukur. Allah berfirman, ” dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” Keenam, menyifati hukum selain dengan hukum yang ditrurunkan Allah sebagai hukum jahiliyah. Allah berfirman, ” Apakah hukum Jahiliyah.” Ketujuh, penetapan makna agung bahwa hukum Allah adalah hukum paling baik dan paling adil. Allah berfirman, “(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah.” Kedelapan, konsekuensi dari keyakinan adalah mengetahui bahwa hukum Allah adalah hukum paling baik, paling sempurna, dan paling adil. Kita wajib untuk tunduk dan ridha kepadanya serta menerimanya. Allah berfirman, “ dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” 36

Selain kedua ayat tadi, Allah juga menyatakan kewajiban manusia untuk berhukum dengan hukum-Nya dalam Al-Quran surat An-Nisa’: 60 dan 65 dan surat Yusuf: 40. Bahkan, Allah sendiri menyatakan kafir, zhalim, dan fasik terhadap orang yang tidak mau berhukum dengan hukum-Nya dalam surat Al-Maidah: 44, 45, dan 47.

Sehingga Maududi menanggapi ayat diatas berpendapat bahwa pada intinya konsep kedaulatan secara otomatis terkandung pengertian bahwa kekuasaan kedaulatan tidak boleh dibatasi oleh kekuatan apa pun selain oleh kehendak bebasnya sendiri dan tidak boleh dibatasi oleh apapun yang dipaksakan dari luar. Allah-lah penguasa mutlak yang keputusan jelek atau baik yang telah ditetapkannya tidak dipertanyakan. Jadi, jika sebuah negara menagakui bahwa perintah Allah dan Rasul-Nya tidak boleh disangsikan, serta eksekutif tidak dapat mengesahkan hukum dan yudikatif tidak dapat memberi keputusan yang bertentangan dengan perintah-perintah tersebut, berarti negara itu telah melepaskan tuntutannya akan kedaulatan sesuai kehendak Allah dan Rasul-Nya. Sehingga Maududi berpendapat bahwa konsep al-Hakimiyah akan menjadi teoari yang tidak dapat dipraktekan selama tidak terkait dengan kekuatan politik yang bersifat manusiawi37.

G. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa istilah fundamentalis awalnya dari umat kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrim dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Hingga komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut fundamentalis, dan istilah fundamentalisme Islam pun muncul.

Kemudian kaum fundamentalis dalam Islam berpandangan bahwa Islam adalah agama yang kaffah (komprehensif) dan tentunya juga mengatur kehidupan bernegara dan praktik kehidupan Islam yang ideal dengan merujuk zaman pada Rasulullah Saw dan salaf as-Shalih, karenanya, segala persoalan hidup umat Islam harus dikembalikan kepada al-Qur`an dan al-Sunnah secara konsisiten. Dan Islam dijadikan sebagai ideologinya. Ada pun kaum fundamentalis dalam memahami al-Qur`an , selalu berangkat dari bunyi teks dan pemahaman yang dimilikinya, sebagaimana teks itu mengungkapkan secara lahiriyah. Praktek-praktek keberagamaan dan aplikasi Islam dalam kehidupan keseharian pada berbagai aspek harus sesuai dengan bunyi teks wahyu baik Al-Quran maupun Al-Hadits.

































DAFTAR PUSTAKA

Ahmad al-Mahali, Jalalludin Muhammad bin, Tafsir al-Qur`an al-`Adim ( Indonesia: Dar al-Ihya, tth)


Asfar, Muhammad, Islam Lunak dan Islam Radikal: Pesantren, Terorisme dan Bom Bali ( Surabaya: Pusdeham dan JP. Press, 2003)


Al-Maududim Abul A`la, Tafsir Tafhimu al-Qur`an ( Kuwait: Dar al-Qalam, 1980)

Chanafie Al-Jauhari, Imam, Hermeneutika Islam; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global (Yogyakarta: Ittaqa Press,1999)

Dahlan al-Barry, M., Kamus Ilmiah Populer ( Surabya: Arloka, 1994)


Ghazali Said, Imam, Ideologi Kaum Fundamentalis ( Surabaya: Diantama, 2003)


Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1996)


Hanafi, Hasan, Islamogi dari Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih (Yogyakarta: LKIS, 2003)


Hamzah, Muchotob, dkk, Tafsir Maudhu`i al-Muntaha ( Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004)


Hanafi, Hassan, Agama Kekerasan dan Islam Kontemporer ( Yogyakarta: Jendela Grafika, 2001)


http//www. Google.com, Wacana Fundamentalis dalam Islam, 21 desember 2008

Ilyas, Hamim, Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Kahfi, 2007)

Imarah, Muhammad, Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam Jakarta: Gema Insani Press,1999)


Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan) (Jakarta: Paramadina, 1999).


Manzdur, Ibnu, Lisan al-`Arab ( Beirut: Dar al-Fikr, 1983)


Muslih, Muhammad, Mendirikan Negara Syari`ah (Jakarta: Jurnal Istiqro, 2004)


Warson Munawwir Ahmad, , Kamus al-Munawwir (.Surabaya: Pustaka Progresif, 2002)








1Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ’at-i-Islâmî (Pakistan) (Jakarta: Paramadina, 1999).hlm. 29-32

2 M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer ( Surabya: Arloka, 1994), hlm. 189.


3 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (.Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm. 27


4 Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, ( Kairo : Darul Ma’arif


5 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1996), hlm. 1


6 Hasan Hanafi, Islamogi dari Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih (Yogyakarta: LKIS, 2003), hlm.1

7 Hamim Ilyas, Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Kahfi, 2007). hlm17.


8 http//www. Google.com, Wacana Fundamentalis dalam Islam, 21 desember 2008


9 Hassan Hanafi, Agama Kekerasan dan Islam Kontemporer ( Yogyakarta: Jendela Grafika, 2001), hlm. 88-89


10 Muhammad Muslih, Mendirikan Negara Syari`ah (Jakarta: Jurnal Istiqro, 2004), hlm. 216


11 Muhammad Asfar, Islam Lunak dan Islam Radikal: Pesantren, Terorisme dan Bom Bali ( Surabaya: Pusdeham dan JP. Press, 2003), hlm. 51.


12 Muhammad Muslih, Mendirikan…, hlm 216-217

13 Imam Ghazali Said, Ideologi Kaum…, hlm. 193-194


14 Ibid, hlm. 157

15 Muhammad Imarah, Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam Jakarta: Gema Insani Press,1999). hlm.21

16 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme...,hlm. 29


17 Hamim Ilyas, Akar Fundamentalisme..., hlm.18-19

18Imam Chanafie Al-Jauhari, Hermeneutika Islam; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global (Yogyakarta: Ittaqa Press,1999). hlm.61-62


19 Abul A`la al-Maududi, Tafsir Tafhimu al-Qur`an ( Kuwait: Dar al-Qalam, 1980), hlm.2.

20 Imam Ghazali Said, Ideologi Kaum Fundamentalis ( Surabaya: Diantama, 2003), hlm. 62-64

21Ibnu Manzdur, Lisan al-`Arab ( Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Jilid, III, hlm. 270.


22 Maududi, Tafhimmu.., hlm. 98-100


23 Imam Ghazali Said, Pemikiran…, hlm73-74


24 Ibnu Manzdur, Lisan…, hlm. 282


25 Imam Ghazali Said, Pemikiran…, hlm. 75


26 Disini Maududi menafsirkan dengan merujuk kepada surat Gafir:64-65, az-Zumar: 11-12,17-,2-3, an-Nahl: 52, Ali `Imran : 82, al-Bayyinah: 5. Dalam ayat-ayat tersebut kata ad-Din berarti kekuasaan tertinggi dan loyal terhadap kekuasaan itu dengan penghambaan. Yang dimaksud “agama untuk Allah” adalah hendaknya seseorang tidak menyerahkan diri kepada siapa pun dalam urusan kedaulatan dan pemerintahan, dengan mengikhlaskan pengabdian dan kepatuhannya hanya kepada Allah Swt.


27 Dan juga Maududi ketika menjelaskan pengertian itu beliau menunjuk al-Qur`an Qs. Yunus: 104-105, Yusuf:40, ar-Rum: 26,28-30, an-Nur: 2, at-Taubah; 36, Yusuf: 76, al-an`am: 137. Yang dimaksud dengan “mengaburkan agama” adalah para pemimpin yang menciptakan aturan sendiri, kemudian mereka menghubungkan aturan itu dengan perintah agama, agar raktyat berkeyakinan bahwa aturan itu adalah bagian dari agama. Dan juga beliau merujuk pada surat Qs. Asy-Syura: 21, al-Kafirun: 6. kata ad-din dalam dua ayat terakhir berarti undang-undang, batasan-batasan, syari`at metode dan system berfikir yang mengikat seseorang untuk mematuhi. Jika sumber hukum dan undang-undang berasal dari Allah, ia berarti mengikuti agama (ad-Din) Allah. Tetapi, jika kedaulatan, hokum dan undang-undangyang ada tidakbersumberdari Allah, berarti ia telah mengikuti agama selain Allah, mungkin saja taat kepada penguasa lain.

28 Ibid, hlm. 77


29 Hamim Ilyas, Akar Fundamentalisme..., hlm.17


30 Muchotob Hamzah, dkk, Tafsir Maudhu`i al-Muntaha ( Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hlm 213


31 Jalalludin Muhammad bin Ahmad al-Mahali, Tafsir al-Qur`an al-`Adim ( Indonesia: Dar al-Ihya, tth), hlm. 31

32 Muchotob Hamzah, dkk, Tafsir Maudhu`i…, hlm 216-217


33 Hamim Ilyas, Akar Fundamentalisme..., hlm. 22


34 Ibid, hlm 33.


35 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., hlm.49

36 http//www.google.com, Ideolgi Fundamentalisme Islam, 21 Desember 2008


37 Imam Ghazali Said, Ideologi Kaum…, hlm 80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar