Rabu, 13 Januari 2010

PEMIKIRAN AL-QUR`AN, TAFSIR dan TA`WIL IBNU TAIMIYAH

PEMIKIRAN AL-QUR`AN, TAFSIR dan TA`WIL IBNU TAIMIYAH
Oleh: Ahmad Mubarok, S. Th. I
I. Pendahuluan
Sejarah penafsiran al-Qur`an adalah Islam sendiri. Artinya perjalanan sejarah tafsir al-Qur`an sudah sama tuanya dengan sejarah perjalanan Islam sebagai agama, sehingga antara keduanya menjadi identik dan tak terpisahkan. Aktifitas penafsiran sudah barang tentu dimulai sejak Nabi Muhammad Saw menyampaikan risalah Tuhan yang datang dalam bentuk al-Qur`an. Sebagai pembawa risalah maka Nabi Muahmmad Saw harus faham dan mengerti terlebih dahulu atas pesan wahyu yang harus disampaikan kepada umatnya, ketika sasaran wahyu (umat) menghadapi kesulitan tertentu dalam memahami teks wahyu, pasti mereka akan menanyakan langsung isi pesannya kepada Nabi sebagai intergral dari tugas risalah. Oleh karena itu maka al-Qur`an sendiri menjamin bahwa Nabi Muhammad Saw dapat mengikuti bacaan al-Qur`an, penghimpunannya dan penjelasannya karena tugas Nabi di antaranya adalah "al-bayan" yakni menjelaskan wahyu yang ia sampaikan.
Kemudian perbedaan penafsiran dalam banyak hal ditentukan oleh karakter kepribadian, kapasitas intelektual serta lingkungan mufasirnya. Dengan semakin banyaknya cabang keilmuan yang berkembang di dunia Islam dengan sendirinya menjadiakn pluralitas penafsiran dan karakternya menjadi semakin terbuka luas kemungkinannya. Dalam sejarah penafsiran al-Qur`an, pada abad kedua Hijriah, muncullah ulama besar yang keilmuannya tidak diragukan lagi yaitu yang terkenal dengan sebutan Ibnu Taimiyyah. Beliau muncul ditengah-tengah masyarakat disaat masyarakat sedang mengalami krisis keimanan yaitu dengan adanya pemujaan terhadap makam-makam yang diaggap karamat dan disaat itu juga banyak penafsiran yang mulai membela sektenya masing-masing. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan tentang pemikiran Ibnu Taimiyyah khususnya pendangannya terhadap al-Qur`an, tafsir dan ta`wil.

II. Pembahasan
A. Sekilas Tentang Ibnu Taimiyyah
Nama lengkap Ibnu Taimiyyah adalah Ahmad Taqyy al-Din Abu al-`Abbas bin Syihab al-Din Abu Halim bin Majid al-Din `Abd al-Salam. Dia lahir pada tanggal 10 Rabi` al-Awwal tahun 661 H, dikota Hiran. Kota tersebut merupakan salah satu bekas pusat peradaban Yunani, karenanya ia dikenal sebagai kota filsafat dan kota para filosof dimana perang wacana tidak pernah mereda. Ia uga merupakan pusat agama Sabi`iyyah. Keluarga ini dikenal dengan sebutan ( Bani Taimiyyah). "Ibnu Taimiyyah", sebuah nama yang sudah masyhur sejak lama, awal mula penamaan Ibnu Taimiyyah adalah berawal dari sebuah nama ibu dari Muhammad bin al-Khidir. Disebutkan juga bahwa kakeknya yang bernama Muhammad bin al-Khidir pergi ke gerbang padang Shara (Taiymah), lalu di sana ia melihat seorang anak perempuan kecil bernama Taimiyyah, kemudian ketika kembali ke rumahnya, ia mendapatkan istrinya melahirkan seorang anak perempuan, maka ia langsung menamakan anak perempuan yang baru lahir itu dengan Taimiyyah. Maka seluruh anggota keluarga ini dinisbatkan kepadanya yang kemudian dikenal dengan nama tersebut .
Menjelang usia tujuh tahun, Ibnu Taimiyyah bersama keluarganya pindah ke Damaskus untuk menghindari serangan pasukan Tartar. Mereka mengalami kesulitan luar biasa karena selain membawa perbekalan dan peralatan yang diperlukan juga membawa sejumlah kitab-kitab yang merupakan barang paling penting sebagai seorang keilmuan. Mereka sampai di Damaskus dengan selamat. Saat itu, Damaskus merupakan pusat peradaban Islam terpeting setelah Mesir. Keduanya menggantikan posisi Bagdad setelah diluluhlantahkan oleh pasukan Tatar. Setiba di Damaskus ayahnya diangkat sebagai guru besar dan pemimpin Madrasah Sukkariyah. Di sanalah Ibnu Taimiyyah dibesarkan dan terkenal. Keluargannya dikenal sangat berpengetahuan. Ayahnya bernama al-Syeikh Sihabuddin Abd al-Halim bin Majduddin, seorang pengikut mazhab Hambali yang memiliki sejumlah karya. Ayahnya wafat pada tahun 682 H. dan dikebumikan di pekuburan para Sufi .
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama. Beliau infak-kan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar dan menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Hal tersebut terlihat di usianya yang relatif belia sudah menghafal al-Qur`an. Disamping hafal al-Qur`an, juga mendalami hadist dan riwayat. Beliau adalah imam, Qudwah, `Alim, Zahid dan Da`ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya. Semakin bertambah usia semakin luas wawasan yang dimilikinya. Semakin lama belajar semakin haus rasanya. Ibnu Taimiyyah ketika berusia 17 tahun, telah diberi wewenang oleh Mufti al-Maqdisi untuk memberikan fatwa (keputusan hukum), akan tetapi beliau menolaknya .
Pada tahun 669 H, Ibnu Taimiyyah mulai tampil sebagai seorang tokoh politik. Kemunculannya ini sebenarnya terkondisi oleh suatu keadaan yang mendesak. Saat itu negaranya terancam agresi bangsa Tatar dari Mongolia. Dia membakar semangat umat dan penguasa untuk mengahadapi serbuan kaum Tatar yang terkenal dengan bengis dan biadab. Akhir tahun 704 H, pasukan yang dipimpinnya menyerang balik pasukan Tarta dan berhasil menghancurkan suku Kisrawani, pemeluk sekte kepercayaan sempalan Syi`ah berkalborasi dengan kaum Nasrani dan bangsa Tartar. Pada tahun 705 H ia mewakili pemerintah untuk mengadili para pembangkang menghimbau mereka sadar dan kembali taat pada pemerintah Islam.
Pada tahun itu juga ia melawat ke Mesir bersamaan dengan kepala Qadhi (hakim agama), bernama Najinuddin Ibnu Shashri yang bermazhab Syafi`i. Di negeri itu ia berdiskusi dengan tokoh-tokoh, ulama dan anggota mejelis ulama. Namun sekembalinya dari Mesir ia difitnah oleh lawan-lawannya kemudian dijebloskan ke penjara. Di penjara, Ibnu Taimiyyah tak bisa berdiam diri, bersama dua asistennya tersebut, ia menulis berjilid-jilid kitab yang justru membuat namanya semakin menjulang. Sang penguasa merasa repot menangani sepak terjang Ibnu Taimiyyah, maka penguasa memerintahkan agar ulama besar tersebut dipisahkan dengan pena dan semua bacaan. Semua kitab dan alat-alat tulis dikeluarkan dari sel tahannya. Tindakan ini merupakan pukulan berat baginya. Satu-satunya kegiatan yang dapat dilakukan adalah membaca al-Qur`an dan shalat dengan tekun, sampai ajal menjemputnya .
1. Karya-Karya Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah menulis mengenai hampir setiap aspek Islam hingga mencapai 500 judul buku . Adapun diantara karya-karya beliau adalah sebagai berikut:
1. Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyha, 2. Al-Aqidah al-Wasithiyah. 3. Al-Aqidah al-Muhammdiyah al-Kubra, 4. Al-Wasilah Baina al-Kalq wa Haq, 5. Rafi`ul Malam Anil Aimmah al-A`lam, 6. Kiatab at-Tawasul wa Wasilah, 7. Al-Jawab ash-Shahih Liman Baddala Dinul Masih, 8. Al-Mas`alah an Nushairiyah, 9. Risalah al-Maraatib al-Iradah, 10. As-Siasah asy-Syari`iyyah, 11. Al-Fatawa, 12, Risalah fi Ziarah al-Qubur wal Istinjad bil Qubur, 13. Risalah al-Madzalim al-Mustarakah, 14. Risalah fi Ihtijaj bil Qadar, 16. Mufawaqah shariful Ma`qud li Shahih al-Mauqul, 17. Ar-Raddu Alal Mantiqiyyin .
Bidang Tafsir: 1, Tafsir Ibn Taimiyyah, Bomby, 1954. 2, Tafsir surah al-Ikhlas, 3. Tafsir Surah al-Kausar, 4. Muqadimah fi Usul al-Tafsir. Bidang hadis: 1, Arba`un Hadisan Riwayah Ibn Taimiyyah, 2. Al-`Abd al-`Awali, terdiri dari 31 buah hadis, 3. Risalah fi Syarah Hadis Abu Zar. Bidang Tasawuf: 1, Risalah fi al-Suluk, 2. Qaidah fi al-Sabr, 3. Qaidah fi al-Raad `Ala al-Ghazali fi Mas`alh al-Tawakkul, 4. Al-Sufiyyah wal Fuqara`. Bidang Filsafat: 1, Al-Radd `ala Falsafah Ibn Rusyd al-Hafidi, 2. Nasihah al-Iman fi al-Radd `ala Mantiq al-Yunan. Bidang Politik: 1. Al-Siyasah al-Syari`iyah fi Islah al-Ra`I war Ra`iyyah, 2. Al-Hisbah fi al-Isam, 3. Minhaj Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-Syi`ah wal Qadariyyah, 4. Al-Ikhtiyyarat al-Ilmiyyah .

B. Pemikiran Ibnu Taimiyyah
1. Al-Qur`an
Al-Qur`an ditinjau dari segi bahasa berarti membaca yang berasal dari akar kata قرأ (fi`il madi) يقرأ dan قرأة dan قرأن. Bahkan Yasu`i dalam al-Munjid memahaminya dengan membaca sesuatu yang tertulis di dalamnya . Ibnu Taimiyyah sendiri menegaskan bahwa al-Qur`an adalah kalamullah dan bukan makhluk-Nya. Allah-lah yang berfirman dengan al-Qur`an dan dari Dia al-Qur`an itu didengarkan. Allah tidak menciptakan al-Qur`an diluar zat-nya. Nas dan Sunnah rasul yang berkaitan dengan asas-asas agama bukanlah berita semata. Keduanya membimbing manusia dan menunjukkan jalan dengan dalil-dalil yang jelas .
Kemudian Ibnu Taimiyyah menyakini bahwa al-Qur`an telah mecakup semua masalah syari`ah yang harus kita ikuti. Di sana sudah disebutkan masalah-masalah ushuluddin dengan segala cabang-cabangnya, ilmu fiqih, akhlak dan lainnya yang kadang-kadang diterangkan dengan terperinci dan kadang pula diterangkan secara global dan singkat . Ibnu Taimiyyah selalu berusaha menyelaraskan antara akal dan wahyu serta menghilangkan pertentangan yang seolah-olah terjadi antara keduanya. Al-Qur`an dan sunnah merupakan pedoman untuk menghukumi perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ibnu Taimiyah juga mengakui akal sebagai unsur yang berdiri sendiri di dalam unsur aqidah dan tidak pula akal itu mempunyai kekuatan untuk mengahadapi seluruh urusaan agama, sehingga mengesampingkan nas al-Qur`an. Adapun kewajiban akal menurutnya adalah memahami apa yang teradapat dalam al-Qur`an tanpa menciptakan hal-hal yang baru. Karena agama datang secara sempurna dengan berbagai hal sudah nyata dan disertai dengan pembuktian-pembuktian yang sudah jelas pula. Maka akal hanyalah diberi wewenang untuk memikirkan bukti-bukti dan dali-dalil tesebut. Ibnu Taimiyyah memahami al-Qur`an dan mengartikan al-Qur`an sebagai sesuatu yang dibawa Rasul Saw. Menurutnya al-Qur`an dan Sunnah Rasul Saw telah menunjukkan kepada segala sesuatu yang termasuk akal dan kelak menunjukkan kepada jalan yang baik .
Selanjutnya Ibnu Taimiyyah membedakan antara al-Qur`an dan bacaan al-Qur`an. Menurutnya al-Qur`an yang biasa dibaca merupakkan firman Allah, sebagimana diterangkan dalam surat at-Taubat: 6
               •    
Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, Kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak Mengetahui .
Dan juga dikuatkan dengan hadits Rasul Saw yang berbunyi:
“Hiasilah al-Qur`an dengan suaramu”
Adapun bacaannya itu merupakan suara manusia yang dikatagorikan sebagai makhluk, seperti halnya manusia yang juga termasuk makhluk. Contoh bacaan yang tertulis dengn tinta yang terdapat dalam lembaran-lembaran itu bukan firman Allah Swt., seperti terkandung dalam (al-Kahfi:109)
                  
Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Al-Qur`an menurutnya juga merupakan "imam" (pemimpin) yang harus selalu diikuti, oleh karenaya al-Qur`an sama sekali tidak menyalahi pendapat akal, qiyas, perasaan dan instink. Orang yang menyalahi al-Qur`an baik dalam tindakan atau pun ucapan dan pendapat yang keliru akal, sudah dikatagorikan kufur. Berdasarkan konsep-konsep yang sangat keras tentang al-Qur`an, maka tak heran dengan sikapnya yang sangat keras menentang orang-orang yang dengan sengaja meremehkan al-Qur`an, diantara para filosuf yang beranggapan bahwa al-Qur`an tidak lain hanyalah berisi dalil-dalil yang tidak pasti .
2. Tafsir dan Ta’wil
Secara etimologi kata tafsir bermakna menyingkap sesuatu yang tertutup, baik sesuatu yang dapat di indera maupun berupa makna. Namun, makna yang kedua yaitu menyingkap makna lebih dominan . Menurut sebagian ulama, tafsir tidak perlu didefinisikan. Menurut mereka, tafsir cukup diartikan dengan menjelaskan firman Allah SWT atau menjelaskan teks al Qur’an dan pemahamannya. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tafsir perlu didefinisikan, karena tafsir tidak bisa berdiri sendiri. Tafsir memerlukan ilmu-ilmu bantu yang dibutuhkan dalam memahami al-Qur’an, seperti bahasa, qira’ah, nahwu dan lain-lain.
Terlepas dari perdebatan diatas, tafsir secara istilah telah banyak didefinisikan oleh para ulama. Dari sekian banyak definisi yang ada, al-Zahabi menyimpulakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang maksud (firman) Allah SWT sesuai dengan kemampuan manusia. Senada dengan definisi itu, Muhammad al-Sayyid Jibril mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang diharapkan bisa menghantarkan terhadap pemahaman maksud Allah SWT mengenai Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SAW sesuai dengan kemampuan manusia.
Ibnu Taimiyyah sendiri tidak mendefinisikan tafsir secara jelas, dia hanya mengatakan bahwa tafsir adalah sinonim kata ta`wil yang berarti menjelaskan makna pembicaraan, baik makna tersebut sesuai dengan lahiriah pembicaraan itu atau tidak. Ta`wil dan tafsir dengan pengertian itu termasuk jenis pembicaraan dalam arti menjelaskan pembicaraan dengan pembicaraan lain yang menjelaskannya dan juga termasuk jenis ilmu. Oleh karena itu ta`wil atau tafsir memilki tiga wujud yakni dalam pikiran, dalam lisan dan dalam tulisan. Ibnu Taimiyah tidak seperti ulama yang lainnya yang disibukkan dengan membedakan antara ta`wil dan tafsir tanpa pemetaan yang jelas, yang pada akhirnya mengahasilkan banyak pendapat. Dia berhasil memetakan makna ta`wil menjadi tiga makna yaitu pertama, makna al-Qur`an, kedua, maka menurut salaf dan ketiga mana menurut pasca salaf.
Kembali pada perbedaan antara dua makna ta`wil di atas, menurut Ibnu Taimiyyah ta`wil yang bemakna realitas eksternal yang ditunjukan pembicaraan jelas berbeda dengan ta`wil yang bermakna menjelaskan makna pembicaraan baik makna tersebut sesuai dengan lahiriah pembicaraan itu atau tidak. Makna yang pertama menuntut adanya upaya menghubungkan pembicaran dengan realitas eksternal yang ditunjukkannya, karena realitas eksternal tidak cukup dipahami hanya lewat pembicaran. Kemudian makna yang pertama juga berbeda dai makna yang kedua, karena makna yang kedua memiliki tiga wujud yaitu pikiran, dalam lisan dan dalam tulisan, sedangkan makna yang pertama hanya memilki satu wujud yaitu wujud eksternal itu sendiri.
Dengan demikian, tafsir menurut Ibnu Taimiyyah cukup diartikan sebagai menjelaskan makna firman Allah SWT. Makna ini adalah sama dengan makna ta’wil yang dianut oleh para mufassir awal. Makna itulah yang dimaksud mujahid ketika mengatakan: “Para ulama mengetahui ta’wilnya.” Ia juga yang dimaksud al-Tabari ketika mengatakan: “al-qaul fi ta’wili qaulihi kaza wa kaza.
Menafsirkan atau menta’wilakan al-Qur’an menurut Ibnu Taimiyah harus berorientasi dan bertujuan untuk mengetahui maksud si pembicara, dalam hal ini adalah Allah SWT. Jika sejak awal si penafsir tidak memiliki orientasi itu, maka tafsirnya termasuk penyelewengan, yang pertama disebut ta’wil maqbul dan yang kedua disebut ta’wil mardud(tertolak). Ta’wil yang tertolak menurut ibnu Taimiyyah tiada lain adalah ta’wil menurut istilah ulama pasca salaf. Menurut mereka, ta’wil adalah mengalihkan suatu kata dari makna yang kuat pada makna yang lemah, karena ada alasan atau indikasi yang menyertainya. Inilah ta’wil yang dianut ulama fiqh, ulama kalam dan ulama tasawuf. Ta’wil ini mengagendakan dua pekerjaan bagi si pen-ta’wil yaitu 1) menjelaskan kemungkinan kata tertentu dimaknai dengan makna yang lain, 2) menjelaskan argument yang mengharuskan terjadinya pemindahan dari makna lahir (makna yang kuat). Ta’wil ini yang kemudian menjadi ajang perdebatan para ulama, terutama berkenaan dengan ayat sifat. Ada yang mengharamkan dan mencelanya, ada yang membolehkan bahkan mengharuskan, dan ada pula yang pertengahan, boleh kalau ada maslahatnya dan tidak boleh kalau tidak ada maslahatnya.
Ibnu Taimiyyah dikenal juga dengan seorang yang paling gigih menentang penggunaan ta`wil (meninggalkan arti hakiki mengambil arti majazi) dalam menjelaskan sifat Tuhan, seperti penakwilannya kata yad يد)) dengan arti "kekuasaan" menurut Ibnu Taimiyyah itu tidak dapat di terimanya. Ia tetap mempertahankan arti yad يد)) dan wajh (وجه) dengan arti tangan dan wajah. Demikian pula dengan ayat-ayat mutasyabihat .
C. Prinsip-Prinsip Penafsiran Menurut Ibnu Taimiyyah
Menurut Ibnu Taimiyah menafsirkan al-Qur`an adalah suatu kemestian yang mengungguli segala bentuk penafsiran terhadap teks-teks selain al-Qur`an. Menurutnya dari setiap perkataan pemahaman makna-lah yang menjadi target utama, bukan konstruksi lafaz dan redaksi. Adat kebiasaan juga menunjukan bahwa sebuah komunitas yang membaca sebuah karya tertentu seperti kedokteran dan ilmu hitung mesti menuntut atau mencari penjelasan . Al-Qur`an jelas lebih dari itu. Pemahaman akan maknanya merupakan kebutuhan mendesak bagi umat Islam, karena, dia adalah pegangan hidup dan jalan keselamatan baik di dunia dan di akhirat sebagaimana disyaratkan dalam al-Qur`an .
Disamping itu, menurut Ibnu Taimiyyah Allah Swt telah memerintahkan dan mendorong kita utuk memikirkan dan memahami al-Qur`an. Itu berarti kita tidak boleh berpaling dari memahami dan memikirkannya. Sikap berpaling ini diistilahkan ibnu Taimiyyah sebgai tafwid dan penganutnya disebut ahl al-tafwid .
Menafsirkan al-Qur`an menurutnya meliputi seluruh ayat-ayat termasuk ayat-ayat mutasyabihat. Dia menolak pendapat orang yang menyatakan tidak boleh menafsirkan ayat mutasyabihat , karena Allah mendorong utuk memahami, memikirkan dan merenungkan al-Qur`an tanpa mengecualikan satu ayat pun .
D. Sumber Penafsiran
Ditinjau dari segi sumber, tafsir dibedakan menjadi tafsir bi al-ma’sur dan tafsir bi al-ra’ya. Tafsir yang pertama adalah tafsir yang bersumber pada empat sumber yaitu al-Qur’an, sunnah, pendapat sahabat dan pendapat tabi’in. sedangkan yang kedua adalah tafsir yang bersumber pada ijtihad.
Ibnu Taimiyyah juga menganut pembagian diatas. Menurutnya penafsiran ada yang berpijak pada naql (riwayat) dan ada juga yang berpijak pada argument rasional (isti’dlah atau ijtihad). Berarti tidak benar kalau selama ini banyak yang menilai bahwa ibnu Taimiyyah anti ra’yi dalam penafsiran. Seperti yang dituduhkan abu Zahrah dan Abu Zaid. Tafsir bi al-ma`sur menurut Ibnu Taimiyyah adalah tafsir yang bersumber pada riwayat yaitu al-Qur`an, sunnah, pendapat sahabat dan pendapat tabi`in. Al-Qur`an sebagai sumber penafsiran berarti menafsirkan ayat al-Qur`an dengan ayat al-Qur`an yang lain. Ayat al-Qur`an dalam penunjukannya terhadap makna dibatasi, ada yang umum dan khas. Karena itu, orang yang akan menafsirkan al-Qur`an hendakalah pertama merujuk pada al-Qur`an itu sendiri. Menurut Ibnu Taimiyyah, hendaklah menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dalam satu tema, selanjutnya bandingkanlah antara ayat yang satu dengan yang lainya . Ibnu Taimiyyah juga menyarankan agar orang yang akan menafsirkan al-Qur`an agar erlebih dahulu mengenali dan mencermati bahasa al-Qura`n dan penggunaanya dalam berbagai ayat. Jangan berpaling dulu pada bahasa Arab dalam konteks umum, tetapi berpaliglah pada bahasa Arab dalam konteks khusus, yaitu konteks al-Qur`an. Jangan pula menengok kitab-kitab kamus, filsafat dan kalam sebelum menengok al-Qur`an .
Contoh Ibnu Taimiyyah menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an, ketika menafsirkan surah al-Fatihah, ayat اهد نا الصراط المستقيم beliau dengan mengutip beberapa ayat yang memuat lafal hidayah, dan sirat al-Mustaqim .
•    •               
Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.(Al-An`am: 153)
Selain merujuk al-Qur`an, Ibnu Taimiyyah juga merujuk sunnah. Merujuk sunnah adalah suatu kemestian karena ada legitimasi ayat-ayat al-Qur`an. Disana ditegaskan bahwa Allah memberi manda kepada Rasulullah Saw untuk menjelaskan al-Qur`an. Dengan demikian dipahami bahwa selain menyampaikan teks al-Quran beliau juga menyampaikan makna dan pemahamannya .
Contoh penafsirannya al-Qur`an dengan Hadis, ketika menafsirkan surah al-Fatihah, اهد نا الصراط المستقيم beliau mengutip hadis Nabi Saw dari `Abdullah ibnu Mas`ud yang berbunyi: Bahwa Nabi Muhammad saw membuat sebuah garis, lalu membuat beberapa garis lagi di kanan dan dikirinya, kemudian berkata, "Ini sabillah dan yang ini jalan-jalan yang diatsnya terdapat syaitan-syaitan yang menyeru kepadanya. Siapa memenuhi panggilan Syaitan ia dilemparkan ke dalam neraka". Lalu beliau membaca ayat وان هذا الصرطى المستقيما (al-An`am: 153)
Penafsiran Ibu Taimiyyah merujuk kepada pendapat sahabat. Merujuk pendapat sahabat bukan saja kerena argument dari riwayat bahwa masa mereka adalah masa yang terbaik, tetapi juga karena argument rasional. Mereka hidup sezaman dengan Rasulullah Saw yang menyebabkan mereka menyaksikan situasi pewahyuan. Di samping itu, keilmuan mereka masih terpelihara.
Contoh penfasirannya dengan merujuk pendapat sahabat, ketika menafsirkan surat An-Nas: 6 yang berbunyi:
 • •• 
Dari (golongan) jin dan manusia.
Beliau merujuk kepada sahabat Nabi yang bernama Ma`mar dari Qatadah mengenai lafaz "minal Jinnati wannas" bahwa "Sesungguhnya di kalangan Jin terdapat syetan-syetan. Karena itu kita mohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan-syaitan golongan manusia dan golongan Jin". Selanjutnya Qotadah menjelaskan mengenai pengertian ayat diatas bahwa permohonan perlindungan dari syaitan-syaitan golongan jin dan golongan manusia.
Selanjutnya Ibnu Taimiyyah juga dalam menafsirkan al-Qur`an beliau merujuk kepada perkataan tabi`in. Ibnu Taimiyyah berasumsi bahwa tabi`in mendapatkan keterangan al-Qur`an dari para sahabat Nabi, sedangkan para sahabat telah mendapatkannya dari Rasulullah Saw. Jadi penafsiran mereka bersambung sampai ke Rasullah Saw dengan jalan yang kuat.
Diriwayatkan dari Mujahid, sesungguhnya dia pernah berkata, "saya perlihatkan suhuf (Al-Qur`an) kepada Ibn `Abbas tiga kali, dari pembukuannya samapi dengan penutupannya, setiap ayat saya berhenti dan minta keterangan tentang makna ayat tersebut".
Ibnu Taimiyyah tidak selamanya merujuk ke Penafsiran tabi`in kecuali apabila penafsiran tabi`in itu dengan penafsiran bil ma`sur. Ia berhenti menafsirkan jika tidak menemukan yang diriwayatkan para sahabat dan tabi`in . Terkadang juga Ibnu Taimiyyah dalam menafsirkan al-Qur`an menggunakan akal, beliau berasumsi bahwa antara wahyu dan akal tidak berseberang. Seperti beliau menafsirkan surat Al-Fatihah: 5, اياك نعبد و اياك نستعين, beliau menyimpulkan bahwa manusia terbagi menjadi empat golongan. Pertama, manusi yang melaksanakan `ibadah dan isti`anah. "…Mereka orang-orang yang beriman dan beramal saleh" (Qs. Al-Hujarat:7). Kedua, manusia yang melaksanakan ibadah kepada Allh, tetapi tidak meminta pertolongan dan bertawakal kepada-Nya. Ketiga, manusia yang meminta pertolongan kepa Allah, tetapi tidak beribadah kepada-Nya. Keempat, manusia yang tidak menyembah Allah dan tidak meminta pertolongan kepada-Nya, padahal Ia telah menciptakan, memberi rizki dan melimpahkan karunia kesehatan kepadanya .
III. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah dalam memahami al-Qur`an sebagai kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Ibnu juga menyakini bahwa al-Qur`an telah mencakup semua masalah syar`iah yang harus diikuti. Dia selalu berusaha menyelaraskan antara akal dan wahyu serta menghilangkan pertentangan yang seolah-olah terjadi antara keduanya. Kemudian dalam memahami tafsir dan ta`wil Ibnu Taimiyyah tidak secara jelas membedakan antara ta`wil dan tafsir, beliau beranggapan bahwa keduanya (ta`wil dan tafsir) sama-sama menjelaskan firman Allah. Perlu diketahui juga Ibnu Taimiyyah ketika menafsirkan al-Qur`an beliau memadukan antara naql dan ra`yu secara harmonis.




DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra, Muhammad, Ibnu Taimiyyah: Hayatuh wa `Asruh Ara`uh wa Fiqhuh, Ttp: Dar al-Fikr `Arabi, tth
Chirzin, Muhammad, Studi Kitab dan Tafsir Menyuaraka Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004
http://www. Saungtinta. Com. Ahmad Taqiyuddin bin Taimiyyah; Telisik Metodologi dalam Pemikiran, Didi Suryadi, 24-02-2009
Husain al-Zahabi, Muhammad, al-Tafsir wa al-Mufasirun, jilid I, Kairo: Maktabah Wahbah, 1995
al-Halim Mahmud, Mani’ ‘Abd, Manahijj al-Mufassirun Mesir: Dar al-Kutub al-Misri, 1978
Khalil Hars, Muhammad, Ibnu Taimiyyah a-Salafi, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1984
Luwis al-Yasu`I, Abu, al-Munjid fi al-Lugat wa al-A`lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1975
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
al-Sayyid Jibril, Muhammad, Madkhal ila Manahij al-Mufassirin, Kairo: al-Risalah:1987
Taimiyyah, Ibnu, al-Tafsir al-Kabir, juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1991
Taimiyyah, Ibnu, Majmu` Rasailul Kubra li Ibni Taimiyyah, Mesir: Muhammad Ali Shaghih, tth.
Taimiyyah, Ibnu, Tafsir Surat al-Ikhlas, Kairo: Dar at-Tiba`ah al-Muhammadiyah, tth

Taimiyyah, Ibnu, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, Kuwait: Dar al-Qur`an al-Karim, 1971
Taimiyyah, Ibnu, Muwafaqah Sarih al-Ma`qul li Sahih al- Manqul, juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,tth.
Taimiyyah, Ibnu, al-Iman (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1996), hlm. 96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar